Friday 18 May 2018

Diary Ramadhan #2 Semua Karena Allah

| |




Masih jam 10 pagi. Aku menikmati lembar demi lembar buku berjudul “Why I Became a Muslim” karya Ian Nisbet, seorang muallaf dari Inggris yang memilih memeluk Islam setelah perjalanan panjangnya mencari keyakinan dan ideologi yang paling logis. Dulu, ia adalah remaja yang egosentris, menyukai music rap dan hip hop yang banyak meyuarakan ketidakadilan sosial dan cenderung rasis. Namun hidupnya terasa hampa, sementara keluarga dan para pendeta yang ditemuinya tak mampu memberi penjelasan yang memuaskan logikanya dari banyak pertanyaan yang timbul tentang agama. Buku ini bukan sekedar perjalanan spiritual penulisnya, tapi juga sebuah proses penerimaan dan pelaksanaan ideologi yang diabadikan. Bahasanya agak berat, membahas berbagai ideologi dan begitu banyak pertanyaan tantang politik, kepentingan sosial, juga keyakinan dan perdebatan yang tak berujung di kalangan pemeluk agama asalnya. Sampai ia menemukan islam, mendalaminya, kemudian meyakininya sebagai agama paripurna. Sungguh, buku ini membawaku pada perjalanan hidup penulisnya.

Naskah buku ini, pertama kali ditulis oleh Ian Nisbet di penjara Mesir saat menjadi Tapol (Tahanan Politik), dalam bentuk surat yang ditujukan kepada anak semata wayangnya. Agar anaknya yang saat itu masih kecil, kelak tahu bahwa sang ayah memeluk islam setelah perjalanan panjang dan bukan tanpa alasan yang kuat. Ayahnya memeluk islam dengan penuh kesadaran, dan rela mati demi agama yang dicintainya itu. Ia takt ahu kapan akan bebas dari penjara, entah masih punya kesempatan bertemu lagi atau tidak dengan anaknya. Maka surat itulah satu-satunya perantara dengan sang anak, sebagai warisan pengetahuan dan ideologi yang sungguh, layak diabadikan.

Belum sampai pada halaman akhir buku ini, aku tak begitu menyadari ayah yang masuk kamar dan duduk di belakangku. “Lagi nulis, atau baca apa?” Sapanya membuatku sedikit kaget. “Eh, Cuma buku.” Karena ngga tanya buku apa atau dari siapa, kuteruskan saja membaca. Beberapa detik kemudian baru kusadari, kalau ayah sampai masuk kamar dan duduk, pasti ada sesuatu yang ingin beliau bicarakan denganku. “Ada apa, yah?” Tanyaku sambil memutar tubuh.

“Carikan ayah tiket. Bisa?” Aku mengernyitkan dahi. Rupanya sudah tiba waktu ayah harus benar-benar melakukan perjalanan panjang lagi. “Jadi? Sekarang?” Tanyaku meyakinkan. Aku sudah biasa ditinggal ayah pergi jauh, lama, entah ke luar kota atau keluar pulau, bahkan ke luar negeri, sejak kecil. Jadi moment seperti ini, tak lagi membuatku ingin menangis. Hehe, kan sudah gede? Ah, baginya aku selalu anak kecil kok.

“Iya. Berapa?” aku mengambil gawai yang tergeletak agak di tengah kasur. “Buat besok?” Tanyaku sambil membuka aplikasi. Ayah hanya menggumam mengiyakan. “920, 926, 1.114, pilih mana?” Tanyaku sambil mengutak atik gawai. “Batik air jam berapa?” Aku mengecek jadwal. “Umm… 15.50, sampai sana malam, transit dulu.”

“Sebentar, ayah tanya teman dulu.” Kudengar ayah melakukan panggilan dan berdiskusi dengan temannya. “Coba cek kalau jadwal hari ini?” aku kembali mengubah jadwal, melakukan pencarian sesuai permintaan. “850, jam 16.20, malah lebih murah ya?” gumamku. Diskusi mereka terus berlanjut, sampai beberapa detik kemudian, “Oke, ambil yang hari ini.”

Eh?

Rencana berangkat hari sabtu berubah cepat. Aku tahu, ayah adalah orang yang selalu siap dengan perubahan, sikapnya selalu berusaha tenang, segmenting apapun keadaannya. Langkahnya penuh perhitungan, terutama soal estimasi waktu. Kami masih berdiskusi menentukan jadwal berangkat sampai beberap amenit kemudian.

“Oke, kiki antar. Tapi mandi dulu, bentar ya?” Ayah hanya tertawa mengetahui anak gadisnya belum mandi hingga matahari tinggi begini. Padahal biasanya sudah rapi sejak pagi. Aku bergegas menyambar handuk dan membasuh diri. Tahu, ayah tak suka menunggu. Beberapa menit kemudian,aku sudah rapi lengkap dengan kerudung, mengambil jaket, sementara ayah juga hampir selesai berkemas.

Kami selesai persiapan bersama. Lalu kucari ibu untuk berpamitan. Rencana awal, kuantar ayah ke bandara. Khawatir kalau jalanan macet dan terlambat sampai bandara juanda, pakai motor kan lebih mudah nyelip. Meski awalnya ayah agak meragukanku, khawatir aku sakit karena puasa begini motoran sendiri nanti pulangnya, kan lumayan jauh dari bandara ke rumah. Tapi kuyakinkan, aku baik-baik saja.

Di tengah jalan, rupanya ayah berubah pikiran. “Sampai Tjiwi aja, ya. Nanti ayah ngebis. Kamu biar ngga kesorean juga sampai rumah.” Aku hanya meggumam. Terserah ayah, deh. Tak aka nada gunanya berdebat kalau ayah sudah ambil keputusan. Lagipula, kan enak aku tetap bisa tarawih malam ini.

Otomatis, rencana bertemu seseorang di Surabaya gagal. Tak masalah, lagipula dia bilang, “Aku malu ketemu Kifah.” Jadi, baiklah. Mungkin memang belum waktunya, atau ngga nasibnya ketemu. Hehehe..  begitu mudah Allah merealisasikan sebuah rencana, maka aku yakin, mudah pula bagi Allah mengganti satu rencana dengan rencana lain sesuai kehendakNya.

Sepanjang jalan pulang, setelah mampir membeli pesanan ayah untuk nenek, aku terus menghitung harapan dan merantai do’a. mumpung puasa, kesempatan safar, semoga do’a demi do’a diijabahNya. Mau tau do’anya apa saja? Rahasia, ah. Biarlah jadi nyata setiap yang terbaik dariNya untukku. Untuk kita semua juga. ingat, semua terjadi karena Allah . Segala sesuatu bisa datang dengan tiba-tiba, bisa juga pergi dengan tiba-tiba. Kita harus selalu siap sedia.


Sementara kutulis catatan ini, ayah sedang transit ke penerbangan berikutnya dan adzan isya’ berkumandang. Saatnya tarawih, dan ingat target tilawahku hari ini masih menanti untuk diselesaikan. Hiks, semoga bisa selesai nanti. Amminn..

#Ramadhan
#Story

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©