Hai,..
Adakah yang merindukanku?
Maaf, berbagai alasan cukup
kuat membuatku harus mengesampingkan posting di blog ini untuk dua minggu
terakhir. Dan sekarang, alhamdulillah bisa muncul lagi. Maafkan aku...
Sebentar ya, biar
kubersihkan rumah ini dari debu atau virus yang mungkin mampir setelah sekian
lama kutinggalkan. Biar kalian enak duduknya. Nanti bolehlah kubuatkan kopi
sama pisang goreng kalau ada yang mau?
Mungkin jika ini adalah
rumah nyata, sudah banyak sarang laba-laba berseliweran membentuk dekorasi
memenuhi setuap sudut ruang. Oke, bersihkan dulu kif... jangan ngomong mulu
dari tadi....
Iya..iya...
.
.
Fu fu fu...
Baik, semoga sudah bersih. Silahkan
duduk manis dan menanti kopi. Hehehe
Posting kali ini, dan
mungkin beberapa yang akan muncul selanjutnya, adalah rangkaian ulang kata yang pernah kuabadikan dalam lembar-lembar
catatan harian saat masih menempuh pendidikan S1. Rasanya sangat perlu ditulis
ulang, agar semakin meluas manfaatnya. Daripada disimpen aja kan kasian, ilmu
ngga bisa berkembang kalau ngga di bagi. Iya kan?
Nah, untuk mengawali
posting setelah liburan ini, aku ingin sampaikan sedikit tentang ruhiyah yang
ringkih.
Ruh, jiwa manusia. Ruh atau
jiwa manusia beragam jenisnya. Ada diantara kita yang kuat iman, tak mudah
goyah dengan cobaan, tak mudah rapuh dengan prasangka, apalagi suara orang yang
sebenarnya bukan siapa-siapa. Namun tak sedikit diantara manusia, yang ruh atau
jiwanya begitu rapuh. Sehingga mudah sekali menyimpulkan cerita tanpa menelaah
fakta, tanpa tabayyun dengan bahasa yang mudah di cerna. Lalu sendiri menikmati
sakit hati. Menyangka orang lain sudah sengaja tak peduli. Bahasa gaulnya,
labil. Iya, labil imannya. Siapakah mereka?
Ada beberapa tanda yang
dapat kita kenali dari jiwa manusia yang rapuh. Akan menunjukkan tanda sebagai
berikut:
1. Keras hati.
Biasanya orang yang keras
hati cenderung merasa benar sendiri. Situasi sekitar yang membuat dirinya tidak
nyaman dianggap salah. Orang lain dituntut untuk mengerti, bukan dirinya yang
berusaha memahami orang lain. Orang yang keras hati mudah menyalahkan orang
lain tanpa pertimbangan.
Keras hati berbeda dengan
tegas. Beda pula antara menyalahkan dengan menilai salah. Menyalahkan tanpa
dasar, itu tidak benar. Sedangkan menilai salah, tentu berdasarkan standar
penilaian tertentu. Situasi di sebuah kelas mungkin bisa menjelaskan perbedaan
menyalahkan dan menilai salah. Jika dalam satu kelas, pada pelajaran tertentu,
saat sang guru mengadakan ujian, ulangan, atau semacam tes yang berlangsung
dengan jujur, dengan asumsi semua soal dibuat dari materi sudah diberikan
sebelumnya.
Hasil tes tersebut akan
menunjukkan hasil, dimana jika dalam kumpulan nilai semua siswa tersebut ada
diantara mereka yang mendapat nilai sempurna, beberapa mendapat nilai bagus,
dan sedikit saja dari semua murid yang mendapat nilai dibawah rata-rata, maka
ini wajar. Guru bisa menyalahkan murid yang mendapat nilai rendah, karena
berbagai faktor. Bisa jadi murid tersebut memang lemah kemampuan menyerap pelajaran
yang dimaksud, bisa jadi murid tersebut malas belajar, atau karena sebab lain,
dan selama yang mendapat nilai rendah masih dalam skala kecil, ini wajar.
Karena kemampuan murid untuk menyerap pelajaran memang berbeda.
Namun jika yang terjadi
adalah, mayoritas murid mendapat nilai rendah, atau sangat sedikit yang
memperoleh nilai baik, maka guru tidak bisa menyalahkan murid. Karena kesalahan
sebenarnya ada pada guru tersebut yang tidak bisa menyampaikan materi pelajaran
sehingga para murid tidak bisa memahami pelajaran dengan baik.
Aku, kamu, atau siapa saja,
mungkin pernah merasa benar sendiri, bukan? ayolah, akui saja. Tak masalah,
semua orang pernah melakukan salah. Tapi yang pasti, mari berusaha menjadi
lebih baik lagi dan lagi.
Kita mungkin benar, tapi
orang lain juga mungkin tidak salah. Kita boleh memandang dari sudut pandang
pribadi, tapi jangan lupa memandang sudut pandang orang lain juga agar tak
sempit menatap dunia.
2. Perangai yang tersumbat, dada terasa sempit, sulit memaafkan.
Ini salah satu ciri
rapuhnya pribadi. Layaknya garam sesendok, jika dituang ke dalam segelas air,
terbayang betapa asin rasa air dalam gelas tersebut. Tapi jika sesendok garam
itu dituang ke dalam air di danau, diaduk seperti apapun tak akan terasa asin,
bahkan sama sekali tak terasa pernah ada garm yang larut. Maka segelas air
terlalu sempit menampung sesendok garam.
Sama halnya dengan masalah,
jika dituang ke dalam hati yang sempit akan terasa sakitnya masalah itu. Namun
jika berhasil meluaskan hati, maka masalah itu tak akan terasa “asin”nya.
3. Tidak terpengaruh ayat Allah
Iya, bagi muslim, ayat
Allah bukan sekedar ayat. Yang membuat nyaman hati saat dibaca. Ayat-ayat Allah
ada berua kabar gembira, aturan yang didalamnya ada pula ancaman, dan ada pula
kisah-kisah. Peringatan dan kabar
gembira selayaknya mempengaruhi suasana hati pembacanya. Namun jika tidak ada
“rasa” yang tercipta ketika membaca, maka mungkin ada sesuatu yang “salah” di
dalam hati.
4. Kematian tidak menjadi peringatan
Kehidupan ini mau tidak
mau, suka tidak suka, harus berujung pada kematian. Maka mungkin saja hati
manusia menganggap bahwa kematian adalah sesuatu yang “biasa”, tanpa ada
perasaan untuk mempersiapkan bagaimana jika kematian itu datang pada diri
sendiri. Tanpa ingat bahwa ada kehidupan yang lebih abadi harus dipersiapkan
sejak dini. Maka hal ini bisa jadi pertanda bahwa hati seseorang tak peka lagi
dengan apa yang akan terjadi.
Bukankah Rasul kita sudah
menganjurkan agar hati kita banyak mengingat tentang kematian? Iya, hati kita
harus banyak mengingat mati agar tidak terlena dengan kehidupan dunia.
5. Senang pada dunia
Jika sudah “lupa” dengan
kematian, hati terasa sempit, maka ciri berikutnya orang-orang yang hatinya
rapuh adalah begitu mencintai dunia. Hal ini akan berakibat pada perasaan
kikir, sulit berbagi, mau menang dan memiliki sendiri tanpa peduli orang lain
atau bagaimana cara memperolehnya.
6. Malas beribadah
Nah, kalu sudah merasa
“ogah” berangkat menunaikan kewajiban, perlu diwaspadai sebagai pertanda
rapuhnya iman. Orang yang berada dalam kondisi iman baik, akan selalu semangat
beribadah, menjaga kedekatan hubungan dengan Tuhan. Karena mereka merasa bahwa
ibadah adalah kebutuhan, bukan sekedar menunaikan kewajiban.
7. Lupa/keterlaluan kepada Allah
Bagaimana mungkin? Ah,
betapa banyak manusia yang pernah merasa bahwa Allah tidak adil? Berapa banyak
diantara kita yang menuntut Allah untuk memenuhi harapan, sementara ibadah
masih jauh dari sempurna? Dan tidak sedikit pula yang ketika sudah mendapat apa
yang diinginkan, lupa dari mana semua itu berasal.
Tidak, tulisan ini tidak
bermaksud menggurui. Hanya berharap agar catatan kecil ini menjadi peringatan
bagi diri sendiri. Agar mewaspadai apa yang sedang terjadi pada hati. Dan jika
ada diantara tanda diatas yang sedang dirasakan, mari kita usir baik-baik.
Fu fu fu!
#OneDayOnePost
#i’mBack
3 comments:
Diingatkan kembali..terimakasih de
Diingatkan kembali..terimakasih de
Tulisan INI bisa buat Ku bercermin seperti apa aku
Post a Comment