Friday 2 September 2016

Terima kasih dalam diam (RP)

| |



“Kok pucat?” Pukan yang entah datang dari mana, tiba-tiba sudah duduk manis di depan Risaki. Gadis itu sedang melamun di salah satu bangku kantin SMA. Ia terlonjak saat menyadari ada makhluk tak asing di depannya.

“Eh? Engga kok, biasa aja.” Ujarnya sambil mengalihkan pandangan. Malu sudah kedapatan melamun di hadapan sahabatnya itu.

“Halah, ngga usah boong. Udah makan belum?” Pukan masih duduk di depannya, sambil tersenyum. Mungkin ia sudah tahu arti setiap ekspresi Risaki.

“Nanti aja di kos aku makan” Jawab Risaki lirih.

Pukan pergi begitu saja. Risaki tak ingin peduli. Pikirannya sedang entah dimana, mungkin sejenak sedang berpisah dengan raga. Ia memikirkan nasib sekolahnya. Uang SPP bulan ini belum dibayar. Ibunya belum mengirim uang. Sementara ujian semester tinggal menghitung hari, Risaki tidak bisa mengikuti ujian jika belum berhasil melunasi.

“Nih, dimakan. Sekarang.” Pukan masih dengan senyumnya, kembali membawa semangkok soto ayam di tangan kanan dan segelas es jeruk di tangan kiri, perlahan meletakkan semua di atas meja depan Risaki.

“Hah?? Ngapain kamu.....” Risaki kaget, menatap Pukan bingung.

“Udah, dimakan gih....” Pukan duduk di depannya. Risaki salah tingkah. Kepalanya menggeleng lemah, ia ingin menolak.

“EH, ngga baik nolak rejeki. Dimakan sekarang. Atau mau kusuapi?” Ujar Pukan menggoda, seketika mencairkan hati Risaki yang sejak tadi membeku.

“Hah??? Ogah, ga sudi!! Makan sendiri aja. Siapa suruh ngambilin aku makan?” Balasnya sengit, tapi tak urung pipinya bersemu merah.

“Hemm, ni bocah. Suruh makan aja susah!! Udah cepetan dimakan, udah kubayar kok... tenang aja. Mumpung aku lagi baik hati nih. Yah?? Aku udah makan tadi. Jadi ga mungkin makan lagi. Nih, beneran kusuapi loh kalau ngga mau?” Ancamnya sambil menyendok nasi di dalam mangkok itu.

“Ehh...iya iya, ngga pake acara suap!! Aku bisa makan sendiri!” Risaki mendelik sengit, pukan tersenyum puas. Pelan ia mendekatkan mangkok itu, menyendoknya pelan dan memasukkan suap pertama ke mulutnya sendiri.

Suasana kantin sudah lengang. Tinggal mereka dan beberapa anak lain yang nongkrong di kantin. Para pedagang sudah banyak yang pulang. Tinggal pak No yang merangkap sebagai penjaga sekolah biasa berjualan sampai waktu ashar tiba. Risaki dan Pukan, serta beberapa teman lain langganan nongkrong disana sepulang sekolah. Seperti saat itu.

Risaki menghabiskan makannya, tapi segelas es jeruk itu terlalu banyak untuk memenuhi ruang di perut. Pukan tersenyum puas, “Minumnya dihabisin lah?”

Risaki menggeleng, “Kenyang...makasih ya. Tumben nraktir?”

“Iya abis dikasih umi uang. Tau ngga kenapa?” Mata Pukan berbinar, Risaki hanya menatapnya tak paham. Merekam wajah ceria sahabatnya di relung hati terdalam.

“Mana ku tau, kamu kan belum cerita.” Risaki menjawab enteng. Mungkin saja karena uminya baru dapat uang, jadi anaknya dikasih lebih? Atau itu memang jatah uang saku tambahan? Prasangka yang hanya tersimpan rapi di hatinya, tertahan di tenggorokan.

“Aku abis kerja,” Ujar Pukan masih dengan wajah antusiasnya.

“Kerja apaan? Bukannya kamu kerjaannya ngaco mulu ya kalau dirumah?” Risaki berseloroh, kemudian cekikikan. Ia menatap tak percaya Pukan mau bekerja sampai Umi kasih uang saku lebih.

“Enak aja, capek tau...kemarin sore aku disuruh nguras kolam sendirian....” Kenangya sedih. Risaki makin tertawa terbahak mendengarnya.

“Haha...jangan bilang kamu renang di kolam ikan?!” Di sela tawa Risaki bertanya, ia tak sanggup membayangkan tubuh Pukan di dalam kolam ikan yang bercampur lumut dan lumpur. Keluarga Pukan memang peternak ikan. Setelah di panen, biasanya kolam itu harus dibersihkan sebelum diisi air dan bibit yang baru.

Sementara Pukan, memasang tampang cemberut. Memaksa Risaki untuk berhenti tertawa. Ia tak tega melihat sahabatnya menderita karena tingkahnya. “Hahaha...sorry...sorry. iyadeh.. kamu kerja. Terus dikasih uang umi. Terus mau buat apa duitnya, selain traktir aku?” Risaki mulai serius.

Pukan meletakkan selembar uang warna biru dan selembar lagi warna hijau di hadapan Risaki.

“Nitip ya, bawain. Nanti kalau aku butuh tak ambil. Bisa, kan?” Tampang Pukan serius.

“Eh, emang percaya sama aku? Ntar habis loh dipegang anak kos. Lagi bokek nih...” Risaki menjawab asal. Berharap Pukan percaya dan menarik kembali uangnya.

“Aku mau beli hardware komputer biar bisa buat maen game. Hehe, makanya jagain uangnya ya? Ntar kalau kupegang sendiri malah ga karuan. Plis, ya?” Katanya memelas.

“Oh, jadi tadi nraktir sebagai biaya administrasi suruh jagain duit ini? Sampai kapan?” Risaki merespon tak kalah serius, meski sesungguhnya ia menahan tawa melihat tampang lucu sahabatnya.

“Umm, belum tau. Kalau kamu mau pakai uangnya gapapa pakai aja dulu. Asal besok kalau aku butuh udah ada. Gimana?”

“Hah? Serius?” Risaki ganti tak percaya. Apa uang ini bisa dipinjam dulu buat bayar SPP ya? Batinnya.

“Kenapa, butuh uang ya?” Pukan menatap penuh selidik.

“Eh? Engga. Yaudah kujagain. Tapi kalau sewaktu-waktu aku butuh boleh pakai dulu ya? Semoga pas kamu butuh udah ada.” Risaki menatap Pukan, memastikan tak ada yang salah dari kalimatnya.

Pukan tersenyum, mengangguk. Risaki tak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih, karena tak ingin Pukan tahu yang sebenarnya. Ah, setidaknya ia tak khawatir lagi saat ini.

#oneDayOnePost
#Risaki-Pukan

2 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Pukan golden memories in my mind

Wiwid Nurwidayati said...

Pukan golden memories in my mind

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©