“Kok pucat?”
Pukan yang entah datang dari mana, tiba-tiba sudah duduk manis di depan Risaki.
Gadis itu sedang melamun di salah satu bangku kantin SMA. Ia terlonjak saat
menyadari ada makhluk tak asing di depannya.
“Eh? Engga kok,
biasa aja.” Ujarnya sambil mengalihkan pandangan. Malu sudah kedapatan melamun
di hadapan sahabatnya itu.
“Halah, ngga
usah boong. Udah makan belum?” Pukan masih duduk di depannya, sambil tersenyum.
Mungkin ia sudah tahu arti setiap ekspresi Risaki.
“Nanti aja di
kos aku makan” Jawab Risaki lirih.
Pukan pergi
begitu saja. Risaki tak ingin peduli. Pikirannya sedang entah dimana, mungkin
sejenak sedang berpisah dengan raga. Ia memikirkan nasib sekolahnya. Uang SPP
bulan ini belum dibayar. Ibunya belum mengirim uang. Sementara ujian semester
tinggal menghitung hari, Risaki tidak bisa mengikuti ujian jika belum berhasil
melunasi.
“Nih, dimakan.
Sekarang.” Pukan masih dengan senyumnya, kembali membawa semangkok soto ayam di
tangan kanan dan segelas es jeruk di tangan kiri, perlahan meletakkan semua di
atas meja depan Risaki.
“Hah?? Ngapain
kamu.....” Risaki kaget, menatap Pukan bingung.
“Udah, dimakan
gih....” Pukan duduk di depannya. Risaki salah tingkah. Kepalanya menggeleng
lemah, ia ingin menolak.
“EH, ngga baik
nolak rejeki. Dimakan sekarang. Atau mau kusuapi?” Ujar Pukan menggoda,
seketika mencairkan hati Risaki yang sejak tadi membeku.
“Hah??? Ogah,
ga sudi!! Makan sendiri aja. Siapa suruh ngambilin aku makan?” Balasnya sengit,
tapi tak urung pipinya bersemu merah.
“Hemm, ni
bocah. Suruh makan aja susah!! Udah cepetan dimakan, udah kubayar kok... tenang
aja. Mumpung aku lagi baik hati nih. Yah?? Aku udah makan tadi. Jadi ga mungkin
makan lagi. Nih, beneran kusuapi loh kalau ngga mau?” Ancamnya sambil menyendok
nasi di dalam mangkok itu.
“Ehh...iya iya,
ngga pake acara suap!! Aku bisa makan sendiri!” Risaki mendelik sengit, pukan
tersenyum puas. Pelan ia mendekatkan mangkok itu, menyendoknya pelan dan
memasukkan suap pertama ke mulutnya sendiri.
Suasana kantin
sudah lengang. Tinggal mereka dan beberapa anak lain yang nongkrong di kantin.
Para pedagang sudah banyak yang pulang. Tinggal pak No yang merangkap sebagai
penjaga sekolah biasa berjualan sampai waktu ashar tiba. Risaki dan Pukan,
serta beberapa teman lain langganan nongkrong disana sepulang sekolah. Seperti
saat itu.
Risaki
menghabiskan makannya, tapi segelas es jeruk itu terlalu banyak untuk memenuhi
ruang di perut. Pukan
tersenyum puas, “Minumnya dihabisin lah?”
Risaki
menggeleng, “Kenyang...makasih ya. Tumben nraktir?”
“Iya abis
dikasih umi uang. Tau ngga kenapa?” Mata Pukan berbinar, Risaki hanya
menatapnya tak paham. Merekam wajah ceria sahabatnya di relung hati terdalam.
“Mana ku tau,
kamu kan belum cerita.” Risaki menjawab enteng. Mungkin saja karena uminya baru
dapat uang, jadi anaknya dikasih lebih? Atau itu memang jatah uang saku
tambahan? Prasangka yang hanya tersimpan rapi di hatinya, tertahan di
tenggorokan.
“Aku abis
kerja,” Ujar Pukan masih dengan wajah antusiasnya.
“Kerja apaan?
Bukannya kamu kerjaannya ngaco mulu ya kalau dirumah?” Risaki berseloroh, kemudian
cekikikan. Ia menatap tak percaya Pukan mau bekerja sampai Umi kasih uang saku
lebih.
“Enak aja,
capek tau...kemarin sore aku disuruh nguras kolam sendirian....” Kenangya
sedih. Risaki makin tertawa terbahak mendengarnya.
“Haha...jangan
bilang kamu renang di kolam ikan?!” Di sela tawa Risaki bertanya, ia tak
sanggup membayangkan tubuh Pukan di dalam kolam ikan yang bercampur lumut dan
lumpur. Keluarga Pukan memang peternak ikan. Setelah di panen, biasanya kolam
itu harus dibersihkan sebelum diisi air dan bibit yang baru.
Sementara
Pukan, memasang tampang cemberut. Memaksa Risaki untuk berhenti tertawa. Ia tak
tega melihat sahabatnya menderita karena tingkahnya. “Hahaha...sorry...sorry.
iyadeh.. kamu kerja. Terus dikasih uang umi. Terus mau buat apa duitnya, selain
traktir aku?” Risaki mulai serius.
Pukan
meletakkan selembar uang warna biru dan selembar lagi warna hijau di hadapan
Risaki.
“Nitip ya,
bawain. Nanti kalau aku butuh tak ambil. Bisa, kan?” Tampang Pukan serius.
“Eh, emang
percaya sama aku? Ntar habis loh dipegang anak kos. Lagi bokek nih...” Risaki
menjawab asal. Berharap Pukan percaya dan menarik kembali uangnya.
“Aku mau beli
hardware komputer biar bisa buat maen game. Hehe, makanya jagain uangnya ya?
Ntar kalau kupegang sendiri malah ga karuan. Plis, ya?” Katanya memelas.
“Oh, jadi tadi
nraktir sebagai biaya administrasi suruh jagain duit ini? Sampai kapan?”
Risaki merespon tak kalah serius, meski sesungguhnya ia menahan tawa melihat
tampang lucu sahabatnya.
“Umm, belum
tau. Kalau kamu mau pakai uangnya gapapa pakai aja dulu. Asal besok kalau aku
butuh udah ada. Gimana?”
“Hah? Serius?”
Risaki ganti tak percaya. Apa uang ini bisa dipinjam dulu buat bayar SPP ya?
Batinnya.
“Kenapa, butuh
uang ya?” Pukan menatap penuh selidik.
“Eh? Engga.
Yaudah kujagain. Tapi kalau sewaktu-waktu aku butuh boleh pakai dulu ya? Semoga
pas kamu butuh udah ada.” Risaki menatap Pukan, memastikan tak ada yang salah
dari kalimatnya.
Pukan
tersenyum, mengangguk. Risaki tak tahu bagaimana harus mengucapkan terima
kasih, karena tak ingin Pukan tahu yang sebenarnya. Ah, setidaknya ia tak
khawatir lagi saat ini.
#oneDayOnePost
#Risaki-Pukan
2 comments:
Pukan golden memories in my mind
Pukan golden memories in my mind
Post a Comment