Wednesday 30 May 2018

Yang Terbaik

| |

Edited by canva


"Iya Ki, insya Allah kamu dapat yang terbaik."


Kalimat kakak mengingatkanku pada kalimat banyak orang sebelumnya. Orang tua, saudara, kerabat, bahkan teman-teman dan sahabat yang kupercaya untuk tahu siapa dan bagaimana aku. Memang, aku bukan type introvert sepenuhnya. Ada orang-orang, tidak semua orang yang mengenalku -tentu saja-, sering menyuntikkan kalimat positif itu di benakku. Alhamdulillah, dikelilingi orang-orang baik adalah anugerah.

Yang terbaik, tentu saja ini urusan jodoh. Sudahlah, tak perlu menebak atau menduga. Aku bisa membaca pikiranmu. #Eh, tapi aku bukan dukun. Frase "yang terbaik" membuatku berpikir banyak, sebenarnya seperti apa sih sosok "jodoh yang terbaik" itu? Jangankan kamu (yang mungkin mengenalku), bahkan diriku sendiri tak tahu apa sebenarnya kriteria seseorang bisa jadi jodoh terbaik itu.

Orang mengira, jenjang pendidikan yang baru kuselesaikan tahun lalu, latar belakang pribadi, dan sebagainya, dan seterusnya, membuat mereka berpikir aku memasang banyak kriteria untuk masalah jodoh ini. Harus setara pendidikannya, se-se-se- apalah, entah, aku tak selalu paham cara berpikir mereka. Dan memang tak harus paham, kan?

Kembali pada frase "yang terbaik". Bagiku, tak ada jodoh yang sempurna. Siapakah aku, yang masih banyak dosa, banyak kekurangan, banyak cela, menuntut Allah menghadirkan lelaki dengan selaksa cinta dan rupa penghuni surga untuk memelukku di dunia? Anggap saja itu khayalan tingkat dewa.

Ah, jadi pengen tanya balik, jodoh terbaik itu apa sih kak?

Apa lelaki dengan celana cingkrang, berjenggot, pakai jubah tiap hari, yang menyapa dengan kata akhy wa ukhty?

Atau seorang lulusan magister, orang kantoran, minimal dosen barangkali? Biasa pakai setelan jas dan sepatu?

Umm, mungkin juga seorang hafidz, lulusan pondok, anak kyai, pewaris tunggal tahta keluarga, sekaligus bawa mobil kemana-mana?

Mungkin juga, jodoh terbaik itu orang biasa, penampilan biasa, dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya? Eh, semoga senyum tanpa henti bukan berarti gila ya.

Ah, entahlah kak. Semakin dipikir, semakin rumit. Urusan jodoh memang rahasiaNya kan ya? Kita, eh aku (sebagai wanita) hanya perlu menunggu dengan terus memperbaiki diri sendiri, menyiapkan hati dan segala tentang diri, untuk menyambut suami, eh si jodoh terbaik itu, nanti.

Pasti ada yang pengen nyeletuk, "Jodoh kok cuma ditunggu, jemput dong.." atau begini, "Jodoh itu di tangan Allah, kalau ngga diambil ya di tangan Allah terus..." Atau senada dengan itulah. Ada, kan? Ehm, gitu ya? Seriusan? Masa sih?

Hehe, pernah baca kalimat berikut, mungkin?

Jodoh itu rahasia Tuhan.

Yang namanya rahasia, kita mampu merobohkan gunung sekalipun, mengeringkan lautan, kalau tidak berjodoh, tidak akan pernah terjadi. Sebaliknya, mau benci setinggi bulan, mau menghindar ke ujung dunia, kalau memang berjodoh, tetap akan terjadi, ada saja jalannya.

Banyak sekali yg paham dan manggut-manggut membaca kalimat ini. Sayangnya, lebih banyak yang cuma manggut-manggut doang, di dunia nyata tetaaap saja galau, memaksakan cerita, tidak sabaran dan sekian banyak kelakuan lainnya. Kenapa nggak ditunggu saja sih? Sambil terus belajar banyak hal.

Repost dari FP resmi *Tere Liye

Percayalah, jodoh selalu bisa nenemukan jalan. Cinta tak akan tersesat untuk sampai di hati tujuan. Tuhan selalu punya cara untuk menyampaikan pesan hati dua insan, apalagi membuat mereka bersatu dalam ikatan pernikahan. Tak peduli berapa jauh jarak terbentang, atau berapa lama perbedaan waktu yang jadi penghalang. Cinta selalu menemukan jalan.

Dan aku, memilih menunggu cinta itu datang menjelang, menjemput sepenuh rencana masa depan, menawarkan perjalanan panjang hingga ujung kehidupan. Aku siap, meski mungkin kehidupan tak memiliki ujung. Hanya ada tepi, yang mengantar pada tepi yang lain, perjalanan yang berbeda. Masih dalam lingkup kehidupan

Pusing ya? Udah jangan dipikirin. Soal jodoh terbaik, aku hanya ingin seorang yang bisa dan mau menjadi imanku dunia akhirat. Dalam pernikahan, kita tak bisa melakukannya hanya atas dasar suka atau rasa nyaman, kan? Ada komitmen dan tanggung jawab yang harus diutamakan. Wanita itu dipilih, bukan memilih. Wanita itu dinikahi, bukan menikahi. Dan sebaik-baik wanita adalah yang baik imannya, bukan? Maka biarkan aku terus berusaha memperbaiki iman. Sampai kapan?

Sampai kutemukan seorang teman, yang rela mendengar dan menyimak setiap cerita ngga pentingku, mau menganggapku sebagai wanita biasa yang tak sempurna, mau menjadikanku sahabat terbaik dalam hidupnya, mau bermimpi bersama hingga mungkin jika orang lain tau mereka menganggap gila, mau bahagia bersama hingga usia senja, mau menjadi tumpuan kasih sayang dan pengabdian terbaik dariku, menjadikanku ibu dari anak-anak dengan cita-cita luar biasa mereka. Ah, mau..

Aku hanya mau bahagia. Meski orang bilang, hidup itu penuh suka dan duka. Mana ada mau sukanya saja? Eits, maksudku meskipun nanti harus menghadapi duka, kita bisa melakukannya dengan tetap merasa bahagia, kan? Jangan lupa, setiap peristiwa itu terjadi atas izinNya. Kalau “pas” yang harus terjadi itu ujian, ya tetap saja kita berhak berbahagia atas ujian itu, kan tanda akan segera naik kelas? Au ah Ki, puyeng. Ya sudah, ga usah dipikirin.

Kak,…

Wanita memang bisa jadi sumber fitnah dunia. Aku tak menyangkalnya. Allah sendiri sudah menegaskan dalam Q.S. Ali Imron ayat 14, bahwa wanita dan anak-anak dijadikan indah dalam pandangan manusia (laki-laki), meski, tentu saja, “indah” disini bersifat relative. Seperti kala kita menerjemahkan kata “cantik, ganteng, menarik, dsb”. Meskipun ada orang yang mengatakan bahwa terjemah kata “jelek” bersifat mutlak. Uhuks

Jadi, ketika seorang lelaki tertarik karena fisik semata, itu biasa. Keinginan untuk memiliki, bersama, menikahi, jika alasannya adalah karena rupa, sungguh dangkal sekali dan tak akan bisa bertahan lama. Karena, ya, tentu saja. Pesona fisik akan memudar. Kecantikan bisa hilang, segala sesuatu bisa menggores luka tubuh dan menyemai luka, bahkan meninggalkan bekasnya. Tentu kita tidak menginginkan pernikahan yang demikian, bukan?

Kak, cinta selalu memiliki sebab, dan akan hilang bersama hilangnya sebab. Aku lupa baca dimana kalimat itu. Hanya ingat, kukutip dari kalimat Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, dari kitabnya: taman orang-orang jatuh cinta. Sedangkan Rasulullah teladan kita berpesan: “Wanita dinikahi karena empat perkara: Nasab, harta, kecantikan, dan agamanya….” Kakak pasti paham lanjutan hadits itu. Kenapa cinta tidak termasuk dalam alasan wanita dinikahi?

Aku sering berpikir, menjadikan cinta sebagai alasan pernikahan adalah kebohongan paling indah yang diterima oleh manusia. Karena faktanya, cinta itu sendiri lahir dari kecenderungan manusia memberi perhatian pada dirinya sendiri. maksudku, seorang lelaki yang perhatian pada harta, tertarik pada kemilau dunia, pada rupa-rupa benda, akan dengan mudah jatuh cinta pada gadis kaya atau pewaris tahta keluarga. Begitu pula lelaki yang memberi perhatian lebih pada pangkat, jabatan, status sosial, akan sangat mudah jatuh cinta pada gadis dengan kedudukan terpandang, anggun membawa diri dalam lingkungan sosial,dan sebagainya, dan seterusnya. Kiranya akan sangat mudah membaca kelajutan kalimat ini, maka izinkan aku sampaikan hal yang lain lagi.

Kembali soal jodoh terbaik, adalah yang Allah hadirkan saat aku siap, saat dia juga siap dengan kehidupan penikahan. Ibadah terpanjang ummat Rasulullah, pengabdian terbaik seorang wanita sebagai istri dan ibu. Perjuangan terindah seorang lelaki sebagai suami dan ayah. Juga sebagai wujud ketaatan dua anak manusia dihadapan Allah dan para orang tua.

Dikisahkan dari hadits riwayat Ibnu Majah, dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah lalu dia berkata, “Kami memelihara seorang anak perempuan yatim, ia dilamar oleh seorang laki-laki yang miskin dan seorang laki-laki yang kaya. Sedangkan anak itu suka kepada yang miskin tetapi kami suka kepada yang kaya.” Maka Rasulullah bersabda, “Tidak terlihat diantara dua orang yang saling mencintai (sesuatu yang sangat menyenangkan) seperti pernikahan.” Kupikir saat itu, Rasulullah lebih setuju si gadis yatim menikah dengan lelaki yang disukainya, bukan yang disukai pengasuhnya. 

Kita mungkin sama-sama belum tahu, wujud jodoh terbaik itu siapa, Kak. Tapi aku yakin, Allah akan menetapkan hati kita untuk memilih yang paling tepat ketika saatnya tiba. Memberi keyakinan pada kita dan kemudahan demi kemudahan menuju pernikahan. Sampai saat itu, kita hanya perlu terus saling memantaskan diri dan berdo’a memohon petunjukNya. Karena kita hanya manusia biasa, bukan malaikat yang dicptakan sempurna. Maka wajarlah jika sifat-sifat manusiawi melekat erat. Bersabarlah wahai diri, dengan kesabaran yang baik. Tetaplah teguh, dengan keteguhan sebagai muslim sejati.


#NasehatDiri

1 comments:

Putria Lexiana said...

Amin, keep spirit 😍😘

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©