Thursday 28 February 2019

Jakarta Dalam Kacamata Willard A. Hanna

| |


Sebuah buku berjudul “Hikayat Jakarta” menceritakan tentang perkembangan kota Jakarta sejak abad 15 hingga Indonesia merdeka pada abad 19. Sejak Jakarta dikenal dengan nama sunda kelapa, berubah menjadi Batavia, dikenal sebagai oud Batavia kemudian menjadi new Batavia, selanjutnya dikenal sebagai Jayakarta dan hingga sekarang memiliki nama tetap: Jakarta.


Buku ini membawa saya bisa menjelajah ke lima abad sebelum saya dilahirkan, membayangkan Jakarta yang masih minim penduduk, pepohonan bertebaran dimana-mana, kali Ciliwung masih bersih dan bening. Belum ada gedung pencakar langit, banjir bandang tahunan, apalagi sistem resapan air seperti sekarang.

Kota Jakarta jaman dahulu kala, ternyata memang sudah didatangi oleh bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia. Mungkin karena letaknya yang strategis, sehingga para pelaut dan penjelajah bumi menemukannya sebagai tanah yang berpotensi untuk ditinggali. Penduduk asli yang hanya sedikit dan belum memiliki sistem pemerintahan yang kuat tidak kuasa menolak pengaruh asing yang masuk. Menjadikan kota Jakarta sedikit demi sedikit berubah, menyesuaikan dengan cita rasa para pendatang yang beraneka ragam. Kota ini semakin kumuh, karena tidak ada pihak yang merasa harus bertanggungjawab menata kota dengan baik.

Ketika Inggris belum lama menguasai perdagangan wilayah Sunda Kelapa, VOC datang dan merebut kekuasaan perdagangan. Sikap serakah mendukung mereka menguasai tidak hanya perdagangan, tapi juga lahan pertanian, bahkan mengendalikan sistem keamanan dengan mendatangkan tentara dari negerinya. Lambat tapi pasti, mereka sah menjadi penjajah negeri ini. Pemimpin mereka datang silih berganti, dan rakyat mulai melawan dengan segenap kekuatan yang mereka miliki.

Jujur, membaca baris-baris sejarah bagi saya adalah perjuangan yang membuat lelah. Mungkin bukan salah bukunya, tapi karena minat saya yang buruk dalam proses menyelaminya. Membaca sejarah yang serupa mungkin pernah saat duduk di bangku sekolah. Tapi seingat saya hanya di rentang waktu beberapa tahun sebelum dan setelah Indonesia merdeka.

Sisi lain yang menarik dari buku ini, yang tidak saya temukan di buku sejarah manapun sebelumnya, adalah adanya fakta bahwa zaman dahulu, sebelum tercipta tembok anti peluru (apakah sekarang sudah ada tembok anti peluru?) orang-orang kaya di Jakarta (baik pendatang atau kaum bangsawan) menggunakan pohon kelapa, palem, sebagai pagar rumah, kemudian sela-selanya dirapatkan dengan tanah liat. Entah bagaimana gambaran aslinya seperti apa. Saya hanya mampu membayangkan. Apa fungsi tanah liat itu? Tepat. Untuk meredam peluru agar tidak tembus masuk ke rumah. Cerdas, kan?

Fakta lain, adalah pemetaan penduduk Jakarta yang sudah ditata sedemikian rupa sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Ada wilayah untuk para tantara, ada wilayah untuk kaum bangsawan belanda, pegawai pemerintah, para pedagang, dan sebagainya. Meskipun sistem drainase dan tata kota belum canggih, sehingga penulis sempat beranggapan kota ini tidak bisa berkembang dengan cepat. Sampah masih banyak dibuang sembarangan, seolah karakter masyarakat kota ini belum terdidik dengan baik untuk menggunakan fasilitas publik.

Tentu saja tata kota itu sangat berbeda dengan fakta saat ini. Meskipun di beberapa tempat masih tampak sisa peradaban masa silam. Setidaknya, membaca buku ini membuat saya menikmati setiap perjalanan yang harus saya alami selama tinggal di Jakarta. Membandingkan keadaan kota dengan suasana masa silam ternyata cukup menyenangkan sembari menunggu macetnya jalanan, meski hanya dalam angan.

 #Readingchallengeodop #Level3 #Tantangan2

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©