Sebuah buku berjudul “Hikayat Jakarta” menceritakan tentang
perkembangan kota Jakarta sejak abad 15 hingga Indonesia merdeka pada abad 19. Sejak
Jakarta dikenal dengan nama sunda kelapa, berubah menjadi Batavia, dikenal
sebagai oud Batavia kemudian menjadi new Batavia, selanjutnya dikenal sebagai
Jayakarta dan hingga sekarang memiliki nama tetap: Jakarta.
Buku ini membawa saya bisa menjelajah ke lima abad sebelum
saya dilahirkan, membayangkan Jakarta yang masih minim penduduk, pepohonan bertebaran
dimana-mana, kali Ciliwung masih bersih dan bening. Belum ada gedung pencakar
langit, banjir bandang tahunan, apalagi sistem resapan air seperti sekarang.
Kota Jakarta jaman dahulu kala, ternyata memang sudah didatangi
oleh bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia. Mungkin karena letaknya yang
strategis, sehingga para pelaut dan penjelajah bumi menemukannya sebagai tanah
yang berpotensi untuk ditinggali. Penduduk asli yang hanya sedikit dan belum
memiliki sistem pemerintahan yang kuat tidak kuasa menolak pengaruh asing yang
masuk. Menjadikan kota Jakarta sedikit demi sedikit berubah, menyesuaikan
dengan cita rasa para pendatang yang beraneka ragam. Kota ini semakin kumuh,
karena tidak ada pihak yang merasa harus bertanggungjawab menata kota dengan
baik.
Ketika Inggris belum lama menguasai perdagangan wilayah Sunda
Kelapa, VOC datang dan merebut kekuasaan perdagangan. Sikap serakah mendukung
mereka menguasai tidak hanya perdagangan, tapi juga lahan pertanian, bahkan mengendalikan
sistem keamanan dengan mendatangkan tentara dari negerinya. Lambat tapi pasti,
mereka sah menjadi penjajah negeri ini. Pemimpin mereka datang silih berganti, dan
rakyat mulai melawan dengan segenap kekuatan yang mereka miliki.
Jujur, membaca baris-baris sejarah bagi saya adalah perjuangan
yang membuat lelah. Mungkin bukan salah bukunya, tapi karena minat saya yang
buruk dalam proses menyelaminya. Membaca sejarah yang serupa mungkin pernah
saat duduk di bangku sekolah. Tapi seingat saya hanya di rentang waktu beberapa
tahun sebelum dan setelah Indonesia merdeka.
Sisi lain yang menarik dari buku ini, yang tidak saya
temukan di buku sejarah manapun sebelumnya, adalah adanya fakta bahwa zaman
dahulu, sebelum tercipta tembok anti peluru (apakah sekarang sudah ada tembok
anti peluru?) orang-orang kaya di Jakarta (baik pendatang atau kaum bangsawan)
menggunakan pohon kelapa, palem, sebagai pagar rumah, kemudian sela-selanya
dirapatkan dengan tanah liat. Entah bagaimana gambaran aslinya seperti apa. Saya
hanya mampu membayangkan. Apa fungsi tanah liat itu? Tepat. Untuk meredam
peluru agar tidak tembus masuk ke rumah. Cerdas, kan?
Fakta lain, adalah pemetaan penduduk Jakarta yang sudah
ditata sedemikian rupa sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Ada wilayah untuk
para tantara, ada wilayah untuk kaum bangsawan belanda, pegawai pemerintah,
para pedagang, dan sebagainya. Meskipun sistem drainase dan tata kota belum
canggih, sehingga penulis sempat beranggapan kota ini tidak bisa berkembang
dengan cepat. Sampah masih banyak dibuang sembarangan, seolah karakter
masyarakat kota ini belum terdidik dengan baik untuk menggunakan fasilitas publik.
Tentu saja tata kota itu sangat berbeda dengan
fakta saat ini. Meskipun di beberapa tempat masih tampak sisa peradaban masa
silam. Setidaknya, membaca buku ini membuat saya menikmati setiap perjalanan
yang harus saya alami selama tinggal di Jakarta. Membandingkan keadaan kota
dengan suasana masa silam ternyata cukup menyenangkan sembari menunggu macetnya
jalanan, meski hanya dalam angan.
#Readingchallengeodop #Level3 #Tantangan2
0 comments:
Post a Comment