Pemindahan
ibukota negara Indonesia resmi diumumkan. Tanah borneo menjadi tujuan. Pulau
terbesar di Indonesia ini yang sekaligus berperan sebagai paru-paru dunia,
harus segera bertransformasi. Dari kawasan hutan menjadi perkotaan. Dari
penebangan hutan untuk lahan perkebunan, menjadi hutan bangunan.
Tidak hanya
ibukota tujuan yang perlu bertransformasi, menyesuaikan dengan citra ibukota
baru. Pun calon penghuni baru, para pejabat, pemegang tampuk pemerintahan,
serta seluruh perangkat dan, tentu saja, anggota keluarga mereka harus bersiap
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sebaik apapun pemerintah dan seluruh
elemen masyarakat menyiapkan pemindahan ibukota, Jakarta berbeda dengan
Samarinda dan sekitarnya.
Mereka yang
hidup di Jakarta terbiasa dengan sapaan Lu-Gue, pergi kemanapun dimanjakan
dengan fasilitas publik baik transportasi, mall, gedung tinggi, rekreasi, beragam
karakter dan budaya menyatu seolah tanpa sekat. Penajem Paser Utara, Kutai
Kartanegara dan sekitarnya, menawarkan sapaan Ulun-Ikam, wilayah yang minim
potensi bencana alam seperti gempa dan gunung meletus, juga kelengangan karena
sedikitnya penduduk dibanding luasnya wilayah.
Banyak pro dan
kontra terkait keputusan pemindahan ibukota oleh pemerintah. Sisi negatif yang
banyak dibahas media adalah soal pendanaan. Pembangunan wilayah baru sebagai
ibukota negara tentu tidak membutuhkan dana yang sedikit. Infrastruktur,
fasilitas publik, akomodasi para pejabat negara, termasuk jaminan sosial setelah
pemindahan tentu perlu dipertimbangkan dan masuk dalam rencana anggaran.
Sementara sumber terbesar yang direncanakan oleh Bapenas, dana yang akan
digunakan berasal dari APBN sebesar 19%, investasi dari swasta sebesar 26 %,
sedangkan sisanya sekitar 56% berasal dari kerjasama pemerintah dengan badan
usaha (KPBU).
Masyarakat awam
menilai, skema pendanaan tersebut meski diatasnamakan sebagai kerjasama, baik
dengan pihak swasta maupun badan usaha, intinya adalah pendanaan yang berasal
dari utang. Sementara sampai saat ini, utang negara terus bertambah dan belum
ada tanda-tanda akan berkurang. Namun atas dasar kepercayaan rakyat kepada
pemgang tampuk pemerintahan, mari kita lihat bersama bagaimana utang-utang
tersebut “bekerja” dengan baik demi kemajuan negara Indonesia di mata dunia.
Mengenai potensi
bencana. Secara geografis Penajem Paser Utara dan Kutai Kartanegara tidak
berbatasan langsung dengan negara tetangga, baik di darat maupun laut. Hal ini
dapat menjadi pertahanan yang baik. Secara geologi, wilayah ini juga tidak
masuk dalam jalur gempa dan tidak pula dekat dengan gunung berapi. Sehingga
kemungkinan terjadi gempa atau terdampak gunung meletus sangat kecil. Namun
bencana adalah bencana, sesuatu yang bahkan tidak bisa masuk dalam logika dan
seringkali tidak dapat diprediksi kehadirannya.
Tanpa gempa bumi
atau letusan gunung berapi, bencana tetap bisa datang dan menyiksa. Seperti
saat ini contohnya, melalui asap kebakaran hutan hampir di seluruh wilayah
Kalimantan. Penduduk di sana tidak dapat beraktivitas normal bukan karena
gangguan fisik atau hilangnya harta benda, namun karena tidak dapat bernapas
lega.
Maka wacana
pemindahan ibukota jika didasarkan untuk menghindari bencana gempa, atau banjir
Jakarta, adalah seperti menghindari satu takdir, untuk menemui takdir lain yang
sudah disiapkanNya.
Hidup di dunia
ini hanya sementara, dan penuh dengan ujian. Selesai dengan satu ujian, kita
harus bersiap dengan ujian berikutnya. Pun jika kita berusaha menghindari satu
ujian, tetap akan bertemu ujian serupa di tempat dan kesempatan yang lain.
3 comments:
Setuju, Kak. Lepas dari satu bencana, bukan berarti terbebas dari bencana. Bencana bisa datang dari segala sisi. Tapi semoga pemindahan ibukota adalah keputusan yg terbaik.
Jadi atau tidak jadi aku pingin ke Borneo
Sayang ya, Kalimantan yang ikut menyumbang begitu banyak oksigen ke Indonesia akan berubah jadi ibukota
Post a Comment