September ceria, milik kita bersama...
Penggalan lagu itu begitu gempita mewarnai salah
satu stasiun TV Indonesia. Iya, saya masih kecil saat itu, masih terpesona
ketika melihat TV memukau penuh warna dan musik yang meramaikan gemuruh dalam
dada.
Saat itu, musim masih berjalan begitu teratur.
Guru bisa memberi pemahaman kepada kami, “Musim hujan itu biasa terjadi pada
bulan Oktober-Maret ya anak-anak... sedangkan musim kemarau biasa
terjadi saat bulan April hingga September”.
Tak heran, setiap bulan oktober pertengahan angin
berhembus lebih kencang, awan berarak kesana kemari, lalu beberapa hari
kemudian gumpalan awan menggantung siap memuntahkan kandungannya. Mengusir
penat dan debu yang ditinggalkan dalam gersang selama enam bulan belakangan.
Lalu bulan berikutnya, hujan lebih sering turun dan cuaca semakin menyejukkan. Hingga saat penghujung
tahun tiba, udara menjadi lebih sejuk. Hujan turun semakin sering, tak peduli
siang atau malam. Kata orang jawa, Desember berarti gede gedene sumber alias
“besar-besarnya sumber air” yang tercurah dari langit.
Iya, sekitar lima belas tahun yang lalu atau lebih
sedikit, musim di Indonesia masih berjalan begitu teratur. Para petani dapat
pergi ke sawah dan ladang sesuai musim. Hasil panen dapat diperkirakan, dan
kerugian dapat di hindari seiring pertanda musim yang datang.
Tapi kini?
Rasanya tahun ini begitu berbeda. Tak ada hawa
panas pertanda kemarau tiba. Iya, cuaca ekstrim sering datang tiba-tiba.
Matahari seolah menyengat kepala. Namun tak lama kemudian hujan deras turun
tiba-tiba. Musim apa ini sebenarnya?
Penghujung September, seharusnya (atau menurut
ritme musim di Indonesia) kita masih merasakan hawa panas kemarau hingga
pertengahan oktober tiba. Tapi nyatanya?
Berita banjir begitu sering menghias layar kaca,
tanah longsor baru saja merenggut beberapa nyawa dan kebahagiaan saudara kita
sebangsa, dan di sini, di tanah kelahiran yang dulu terkenal gersang, hampir
tak bisa kutemui pohon jati yang meranggas. Bahkan aku tak sempat menemui perubahan warna di Taman Hutan Rakyat (TAHURA), biasanya dedaunan berubah warna menjadi merah, kuning coklat, jingg, dan sebagian tetap berwarna hijau saat bulan September tiba. Dengan latar langit berwarna biru, pemandangan itu selalu berhasil menyihir sejenak hati dan pikiranku setiap kali melintasi jalanan sekitarnya, cantik sekali. tapi September ini, mereka berwarna hijau semua. Apalagi penyebabnya, selain hujan
yang masih sering turun dengan deras?
Allah kariim...
Dingin begitu menusuk tulang saat malam tiba,
hujan bisa datang tanpa diundang (iyalah, emang sejak kapan hujan perlu
undangan? Meski kadang perlu dipanggil lewat do’a saat ia lama tak menunjukkan
aksinya). Dan saat pagi menjelang, berat sekali rasanya membuka mata, di sini.
Desa kelahiranku yang damai ini. Kabut tebal menyelimuti pagi setelah hujan
deras yang turun malam tadi.
Penghujung September yang terasa seperti Desember.
Semoga jiwa dan tubuh ini tak lelah bersyukur, untuk setiap nikmat yang
melimpah. Dan untuk alam yang seolah “tak ramah”, sejatinya hatiku ingin
meminta maaf, atas segala khilaf. Kami manusia memang tak semua bisa menjaga,
bagaimana seharusnya semua berjalan seimbang seperti rencanaNya. Lahan resapan
air banyak berubah fungsi jadi bangunan, hutan banyak gundul dan terbakar,
tambang dikuras terus tanpa mengenal lelah, belum lagi sikap dan laku yang tak
jarang mengotori bumi.
Semoga setiap apa yang terjadi menjadi pelajaran
bagi diri. Untuk lebih hati-hati menyikapi, mengambil sikap dan mungkin
termasuk rasa di hati.
#OneDayOnePost
#AlamKita
2 comments:
September, Asat-asate sumber (habis-habisnya sumber air)
Januari (huJAN turun sehARI-hARI)
=D
Inilah knpa selimut dipagi hari terasa teman sejati
Post a Comment