Tuesday 19 March 2019

Mengapa Memilih Albert Camus?

| |

Sumber: Google


Sebelum tugas RCO level 5 diumumkan, sudah ada indikasi kuat bahwa di level 5 akan ada kewajiban membaca karya penulis penerima nobel sastra. Meski begitu, setelah pengumuman tantangan itu saya tetap kelabakan karena belum menyiapkan bahan bacaan, “Buku apa yang bisa saya baca di level ini?” Pencarian akhirnya harus dilakukan. Berburu novel karya penerima nobel sastra ternyata tidak semudah menemukan buku Tere Liye di rak perpustakaan SMA.

Saya sudah menekuri rak buku dari satu Lorong ke Lorong yang lain, dari satu rak ke rak berikutnya. Tapi sayang, tidak ada nama Kazuo Ishiguro, Bob Dylan, Svetlana Alexievich,  Patrick Modiano, Alice Munro, Mo Yan, Tomas Transtromer, apalagi Mario Vargas Llosa. Yang ada hanya Ernest Hemingway dengan Lelaki Tua dan Laut. Novel ini, menurut Wikipedia mendapat menghargaan untuk kehandalannya dari seni rupa naratif, yang terkini didemonstrasikan, dan untuk pengaruh yang ia sematkan pada gaya kontemporer. Novel ini mendapat penghargaan nobel sastra pada tahun 1954. Sayang, buku ini sudah saya baca beberapa kali. Mau ulang lagi? Oh tidak, terima kasih. Saya bukan type pengulang yang baik. Apalagi mengulang kesalahan yang sama. *Loh, membaca memang bukan sebuah kesalahan, tapi mengulang bacaan yang sama hanya mungkin saya lakukan dalam dua keadaan: terpaksa, atau sangat ingin. Dan kali ini, saya tidak dalam kondisi tersebut.

Baik, setelah bertualang di perpustakaan yang tidak seberapa dan belum menemukan jodoh buku yang ingin dibaca, pilihan beralih ke beberapa file pdf yang hadir di layar gawai. Rezeki anak shalihah, dapatlah novel Albert Camus, sang penerima nobel sastra tahun 1957. Wikipedia tidak menyebutkan detail karya Camus yang mendapat penghargaan nobel sastra. Hanya di kolom keterangan tabel sajian Wikipedia ditulis bahwa Camus mendapat nobel untuk produksi kesusastraan berpengaruhnya, yang dengan kesungguhan yang tampak jelas mengiluminasikan masalah-masalah hati nurani manusiapada masa itu.

Saya membaca karya Camus berjudul “Orang Asing” yang merupakan terjemahan dari bahasa Perancis L’Etranger. Novel ini ditulis tahun 1942 dengan latar Al Jazair tempat Camus lahir. Bagi pecinta tulisan petualangan, novel ini mungkin dapat menimbulkan rasa bosan saat membaca. Karena hampir tidak ada konflik yang meledak-ledak atau intrik yang penuh misteri. Alur yang disajikan terkesan “flat” namun sarat dengan muatan filsafat dan sukses membuat kening berkerut-kerut untuk memahami maksudnya. Absurditas yang ditawarkan Camus dalam novel ini menuntut pembaca untuk menyelami karakter dan pemikiran setiap tokoh yang hadir.

Novel ini, menurut beberapa sumber juga merupakan kritik terhadap pelaksanaan hukuman mati yang dijalankan saat itu. Di sisi lain, efek dari karya Camus adalah anggapan publik akan teori absurditas yang dikampanyekan lewat sastra. Soal ini, saya perlu membaca karya Camus yang lain untuk memastikan. Tapi dari pengalaman pertama membaca “Orang Asing’, memang aroma absurd tercium kuat dalam novel ini.

1 comments:

Unknown said...

Memang Camus terkenal sebagai penulis absurditas, tetapi aku lebih menggolongkan eksistensialisme, karena solusi yang diberikan adalah memberontak pada absurditas, dan pernyataannya Aku memberontak maka aku ada membuktikan hal itu

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©