Zaman kita berdiri, duduk, makan, dan melakukan segala
aktivitas saat ini, adalah zaman dimana kebebasan begitu didengungkan, mewarnai
setiap pola pikir dan gerak manusia, bebas, seolah menjadi kosa kata paling
dijunjung tinggi disamping kata: merdeka.
Sayang, kebebasan itu bisa berujung pada petaka. Begitu juga
kata merdeka. Sebenarnya, kita ini bebas dalam hal apa? Atau merdeka dengan
bentuk seperti apa? Jawabannya bisa membuat suara dengung seperti jutaan tawon,
riuh. Karena setiap orang bisa jadi memiliki jawaban yang berbeda. Orang bicara berdasarkan pendapat, bisa dianggap makar.
Perang bisa dianggap biasa. Bahkan genosida bisa dianggap wujud dari kebebasan
itu sendiri. Mengerikan!
Ketika kita melihat fenomena berita lewat media sosial atau
televisi, mungkin kita dihadapkan pada kekhawatiran tentang apa yang akan
terjadi. Negeri ini terancam, baik secara politik, ekonomi, bahkan agama. Kita
tidak perlu memperpanjang bagian ini. Toh banyaknya berita yang menjelaskan hal
serupa. Sedangkan di sini, saya tidak sedang ingin memicu konflik. Karena di
sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa negeri ini masih aman sentosa.
Buktinya? Aksi damai jutaan orang beberapa minggu yang lalu bisa terlaksana
tanpa sampah yang harus berhamburan, taman tetap rapi, bahkan faktanya: setiap
sudut yang ditinggalkan tersisa kebersihan dan kenyamanan.
Dalam hal ini, umat Islam patut diandalkan.
Namun kemudian, beberapa hari ini kita kembali dikejutkan
dengan berita media sosial terkait konflik di Suriah, Aleppo. Betapa mengerikan
gambar, video, dan berita yang berseliweran di beranda. Siapa yang tak merasa
miris melihat darah berceceran dan manusia serupa dengan reruntuhan bangunan,
berdebu, dengan kondisi yang sangat menyedihkan.
Sebagian dari kita ada yang tidak tahan dengan membagi
ulang, menyebarluaskan seluas-luasnya. Agar dunia tahu. Agar tak seorangpun bis
amenutup mata dari fakta, sebagai wujud kebebasan ber-media sosial. Benarkah
ini wujud kebebasan?
Bagaimana jika yang terjadi di sana adalah sebaliknya?
Kita sama-sama tidak tahu karena yang terjadi di sana, jauh
dari pandangan langsung mata kita.
Ada banyak kepentingan yang bermain, masing-masing pihak
bisa menempuh segala cara untuk mencuri perhatian dunia. Lalu kita bisa apa?
Apakah membagi tulisan dan menyebarkan berita bisa menolong
mereka?
Tanpa tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya, itu malah
bisa jadi sumber petaka. Banyaknya kepentingan yang bermain, ketika kita
melibatkan diri maka itu seperti mengikuti pusaran arus, berputar dan tak bisa
keluar, minimal dari dalam kepala. Atau malah bisa jadi masuk penjara, kena UU
ITE. Haha
Lalu sebaiknya?
Kita tetap perlu membaca situasi, memahami apa yang
sebenarnya sedang terjadi. Konflik yang sedang terjadi di luar sana, jangan
sampai terbawa kemari. Kita boleh berdebat, merasa diri paling benar, bahkan
sampai berbusa sekalipun. Tapi ingat, jangan sampai saling bunuh karena
kepentingan yang sama sekali tidak penting. Ya, nyawa kita jauh lebih berharga
daripada terlibat dalam konflik yang bukan untuk kepentingan kita sesungguhnya.
Bukankah sebagai muslim, ada lima dimensi utama dari
maqashid al syariah yaitu menjaga diri (nafs), iman (din), kecerdasan (aql),
keturunan (nasl) dan kekayaan (mal)?
Dalam terminologi muslim, adanya syari’at atau aturan dan
ajaran islam tujuannya jelas, untuk menjaga kelima hal tersebut. Realitanya,
penjagaan terhadap kelima dimensi utama tersebut membutuhkan payung hukum,
pemerintah, dan berbagai perangkat termasuk teknologi.
Sekarang begini, ketika kita berada pada situasi yang
“kacau” meski kekacauan itu baru terjadi dalam “pikiran” karena perang
pemikiran yang sudah mengguncang kehidupan kita jauh sebelum disadari banyak
orang, kita harus apa dan bagaimana?
Percayalah, kita tidak perlu banyak risau dengan riuhnya
pemberitaan media. Bukan apa-apa, membaca boleh, mencerna berita itu penting.
Tapi yang pasti, kita tidak boleh terbawa emosi. Mau jadi apa anak-anak kita
nanti jika sekarang, orang tuanya riuh membicarakan berita tanpa bersiap
bagaimana harus menghadapinya?
Hal terpenting saat ini bukanlah zaman seperti apa yang harus
dihadapi, tapi dimana kita, dan anak cucu harus berdiri, di atas kebenarankah,
atau sebaliknya?
Maka jangan ajari mereka membeo terhadap berita, karena yang
lebih penting, ajari mereka siapa yang bisa dipercaya, belajar langsung dari
sumbernya. Mereka harus bisa melihat dari banyak sisi, dan mengambil sikap
pribadi berdasarkan kebenaran, bukan pendapat dan pandangan yang bisa jadi
menyesatkan. Dan semua itu dimulai dari: kita.
0 comments:
Post a Comment