Pernah dicuekin?
Ngerasa ngga dianggap?
Atau asing ditengah kerumunan?
Siapapun, sepertinya pernah.
Aku juga pernah.
Tiba-tiba teman menghilang, bicara tak di dengar, atau merasa sendiri
ditengah keramaian?
Tapi ku rasa, itu bukan salah mereka. Iya, mereka tak salah.
Berapa kali dicuekin? Sekali? Dua kali? Ah, seingatku sudah
berkali-kali.
Sedih? Bukan, itu malah membuatku banyak berfikir. Dimana salahku?
Apa yang membuat mereka belum bisa menerimaku? Anehkah diriku di mata mereka?
Atau, kenapa mereka merasa bahwa aku tak ada?
Saat kecil, kita sering diajari oleh orang tua dan guru, jangan
pilih-pilih teman. Semua teman itu baik, jadi bersikap baiklah dengan semua.
Tapi pada level tertentu, aku memilih teman. Karena aku tak bisa berbagi banyak
hal pada banyak orang. Hanya dengan orang tertentu, aku bisa berbagi tentang
kepenulisan, film, buku, karya seni, dan sebagainya. Sebagian yang lain bisa
kuajak berbagi tentang mata kuliah, diskusi ekonomi, politik, atau berita
terbaru. Sebagian yang lain hanya terasa nyaman saat berjalan menikmati
indahnya alam. Iya, mereka semua tak sama dengan karakter dan sifatnya.
Lalu, mana mungkin aku bisa menjadi baik bagi mereka semua? Tentu
saja, aku tak bisa, dan mungkin tak akan pernah bisa. Akan selalu ada orang
yang menilai salahku, kekuranganku, bahkan buruknya sikapku. Baik itu relatif
bukan? kita tak mungkin menjadi baik bagi semua orang. karena diantara semua
orang itu, akan selalu ada orang-orang yang menemukan cela. Ngga percaya?
Buktiin aja.
Maka percayalah, akan sangat sulit membuat semua orang menyukai sifat
dan kelakuan kita. Begitu juga dengan tulisan. Siapa bisa memaksa pembaca untuk
suka? Siapa bisa menyuruh pembaca untuk tertawa? Mereka melakukan sendiri jika
memang merasa tertarik dengan tulisannya, bukan semata karena kita. Ini masalah
selera.
Begitu juga dengan teman, tergantung selera. Jika dalam satu
komunitas kita belum merasa nyaman di dalamnya, jangan salahkan mereka semua.
Emang kita siapa? Bagiku, alangkah ruginya jika menyalahkan mereka tanpa
melihat kesalahan sendiri. Atau, betapa egoisnya diri kala tak mau dianggap
salah, sudah merasa terasing padahal tak seorangpun mengasingkan?
Mungkin aku yang belum bisa berbaur, menanggapi cara mereka
berbicara, mengatur bahasa, mengundang tawa, sehingga dapat duduk bersama
sebagai saudara? Mungkin aku yang terlalu egois, memaksa mereka menerima,
menginginkan mereka mengerti tentang kita. Emang kita siapa dimata mereka?
Ah sudahlah, hentikan saja semua prasangka. Kembali ke alam nyata.
Bukankah jiwa manusia itu punya semacam magnet, yang akan saling
mendekat antara jiwa yang punya gelombang sama? maka hobi atau kegiatan
tertentu bisa menjalin komunitas, kesolidan, dan kerjasama kemudian. Jangan
heran.
Bukankah siapa dan bagaimana sebuah pribadi itu bisa dinilai dari
siapa temannya? Maka jika ingin jadi orang baik, bergaullah dengan orang baik
agar menjadi baik.
Ini pengalamanku, tak satu kalimatpun ingin mengajarimu bagaimana
mencari teman. Ini hanya bagian dari perjalananku, yang boleh kau nilai baik,
atau sebaliknya. Yang boleh kau nilai benar, atau tunjukkan dimana salahnya.
Selama ini, begitu banyak tawaran komunitas yang bisa kuikuti.
Berdasarkan kegiatan yang kusuka, tentu saja. Tapi buktinya, tidak semua
menjadi “dekat” pada akhirnya. Dan dari beberapa komunitas itu pula, tak jarang
aku menemukan saudara, yang seolah sudah kenal begitu lama, padahal baru saja
bersua, lewat dunia maya pula.
Entah bagaimana awalnya, ketika gabung dalam satu komunitas, akan ada
“orang-orang yang se-aliran jiwa” berbaur dalam berbagai cerita. Lalu semakin
dekat secara personal... dan, akhirnya semakin dekat layaknya saudara.
Ada pula yang sering berbagi cerita, kemudian begitu menyenangkan
saat bercanda.
Ada yang bercakap pun tak “nyambung” rasanya, hingga akhirnya aku
memilih mundur saja. Menghindari forum cerita. Daripada meletupkan emosi
akhirnya? Lebih baik membaca buku atau belajar yang lain.
Ada yang membaca bahasa percakapannya saja diam-diam meletupkan
inspirasi. Aku memilih mendoakannya dalam diam, agar ia selalu dalam kebaikan.
Ah, kamu mau jadi temanku yang seperti apa?
Seperti apa yang pernah seseorang sampaikan, “semoga pertemuan kita dari awal hingga akhirnya selalu dalam kebaikan,
biar hidup kita menjadi rangkaian kebaikan”. Apapun yang terjadi, anggaplah
sebagai pelajaran bagi diri sendiri. Supaya bisa bersikap lebih baik nanti.
#OneDayOnePost
#Renungan
2 comments:
setuju sekali dengan paragraph terakhir
Kalau Ainayya, memilih teman itu perlu. Yang tak boleh dilakukan itu membeda-bedakan teman. Hehehe
Post a Comment