Bagi yang belum tau cerita awalnya...bisa dibaca dulu
Biar nyambung sama cerita yang sekarang...
Tentang Surat Buat Hasna
Begini, surat itu memang ditulis...
berlembar-lembar kertas (akhirnya) kakak habiskan bersama puluhan tetes tinta
dalam batang-batang pena. Ia simpan rapi dalam amplop masing-masing. Setiap
kali menerima surat, Hasna hanya berhak untuk satu amplop. Surat berikutnya
harus diberikan sesuai tanggal yang dia rencanakan. Aku membayangkan, isi surat
itu akan sesuai dengan usia hasna saat menerima. Akan ada nasehat dan curahan
perasaan ayah untuk anaknya. Bukankah mengharukan membaca tulisan tangan
seseorang yang berarti, namun ia telah tiada?
Hari terus berganti. Kini genap sebulan sejak vonis sakit itu. Kakak masih menjalani cuci darah rutin, masih
merasa lemas sekujur tubuhnya tiap selesai menjalani perawatan rutin. Tidak ada
banyak perubahan yang dirasakannya. Meski dengan menjaga pola makan, kegiatan,
dan olahraga sesuai kebutuhan ia masih merasa semuanya stabil.
Ia bisa melakukan kegiatan layaknya
orang normal, mengecek BMT peninggalan kakakya, memastikan semua berjalan
seperti seharusnya. Ia masih bisa menengok Hasna disekolah (oh ya, Hasna sudah
masuk Baby Class sejak usia setahun, karena bundanya sering mengeluh kelelahan
jika Hasna hanya dirumah sementara ia harus bekerja sebagai guru Honorer di
sekolah dekat rumahnya). Ia masih bisa memasak, menyiapkan makanannya sendiri,
dan membersihkan rumah. Asal jika sudah merasa mulai lelah, ia harus segera
istirahat. Dan jika terpaksa, kakak biasa memanggil Mak Inah, tetangga dekat
rumah yang juga pengasuhnya sejak kecil untuk membantu.
Hanya mak Inah yang tau banyak soal
sakitnya. Tetangga lain tak perlu tau. Untuk apa? Mengundang simpati dan
kasihani mereka? Tidak. Selama kakak masih bisa bertahan, ia akan bertahan.
Sifat tak mau merepotkan orang lain, sudah melekat erat dalam pribadinya sejak
pertama kali ku kenal di SMA dulu. Bahkan “mantan” istrinya juga belum tahu
soal penyakit ini.
Kenapa pula dokter itu menyarankan
cuci darah sesering ini? Kakak mulai bosan, sepertinya. Cuci darah rutin itu
tak hanya menguras energi, tapi juga finansial dan kesempatannya untuk berbuat
lebih banyak. Iya, karena beberapa hari sebelum dan sesudahnya tak banyak
aktifitas yang boleh dilakukannya. Dan kembali, ia harus merepotkan mak Inah.
Meski mak Inah senang membantunya.
Semua masih berjalan seperti yang ia
inginkan. Sampai suatu hari, ia menerima surat penggilan dari Pengadilan Agama,
sidang cerai pertama. Tertegun sejenak ia membaca surat itu, ia tahu tak
mungkin lagi mengubah keputusan. Toh tak akan ada yang berubah jika ia
mengurungkan niat cerai. Bahkan mungkin, bundanya Hasna... entah apa yang akan
dia lakukan jika sampai rencana perceraian itu gagal.
Sebelumnnya beberapa surat panggilan
untuk pembinaan juga sudah melayang kerumah, yah prosedur orang mau cerai kan
ngga bisa langsung cerai gitu aja. KUA dan pengadilan agama akan
mempertimbangkan setiap kasus pengajuan cerai itu layak dilanjutkan atau tidak.
Kalau masih bisa dikembalikan, mereka akan menyaraknak perceraian tidak
dilakukan. Tapi tak sekalipun kakak menanggapi. Ia sudah tak ingin peduli,
disamping memang harus sering check
kesehatan ketempat dokter Farid.
“Dek, baiknya aku datang engga ya ke
sidang cerai?” ia bertanya padaku di hari yang sama surat itu datang.
“Umm, terserah kakak sih.... tapi
kalau menurutku engga usah aja kak..”
“kenapa?”
“engga kenapa-kenapa.... cuma buat
apa juga kakak dateng?”
“maksudnya?”
“iya buat apa.... kakak dateng
kesana buat dengerin alasan dia minta cerai, yang menurut versinya itu sudah
keputusan terbaik. Tentu ia akan menyampaikan alasan-nya kan?
“Iya sih,... tapi emang salah kalau
kakak dateng?”
“Duh, gimana ya kak...” aku tak enak
menyampaikan apa yang lewat di otak.
“hmm...?” ia memaksa
“Aku khawatir aja,... kalau kakak
dengarkan alasannya.... nanti kakak jadinya pengen bantah karena mungkin saja
kan dia salah?”
“Terus..?” aku tahu dia tak akan
puas sampai paham alur pikiranku.
“Terus,.... kakak marahi dia
disana..”
....
Hening.
Aku tak berani lagi meneruskan.
“Terus...?” beberapa menit kemudian
ia membalas.
“Terus,,...teruss.... nabrak!!”
berikutnya kukirim sticker tertawa lepas.
“Dekkk..... seriuussss”
Ahay, sejujurnya kadang aku senang
membuatnya kesal dan penasaran. *Opssss
“Kakak, coba kalau kakak marah
disana, apa gunanya?”
“hmm...?” tak ada kata lain, tapi
aku membayangkannya sedang mengernyitkan dahi saking inginnya mengerti maksudku
dalam kalimat sebelumnya.
“Umm,, emang kakak masih pengen
balikan sama dia?”
“Kok bisa adek mikir gitu? Setelah
dia yang habiskan ratusan juta tabungan kakak, sering marah-marah dan
membanting barang dirumah, lari dari tanggungjawabnya sebagai istri dan
bundanya anak, dan memilih pulang kerumah...... kakak ngga pengen balik lah
dek, cukup. Cukup sudah pengorbanan dan upaya kakak untuk menyadarkan
kesalahannya. Kakak yakin bundanya Hasna ngga akan berubah sifat meskipun ngga
jadi cerai. Kan adek yang bilang, manusia diatas usia 25 tahun itu sulit
berubah dari sifat atau karakter aslinya?”
“hmm..kakak masih ingat ternyata.
Iya itu maksudku” aku tak bermaksud membuatnya bengong disana setelah membaca
kalimatku.
“Dek, maksudnya gimanaaa....” disusul
dengan sticker gregetan....
Oh,, aku belum berhasil membuatnya
mengerti ya?? #TepokJidat
“Kak, kalau kakak engga mau balik
sama dia, kenapa mesti dateng ke sidangnya? Yang otomatis akan menguras energi,
dan mungkin juga emosi kakak..”
“Oh....” semoga ia tak gagal paham,
batinku.
“tapi dek, aku penasaran lihat dia
gimana di dalam sidang. Pengen tau alasannya, pengen aja dateng..”
“oh, ya tersrah kakak sih...kali
kakak sekalian kangen, pengen ketemu dan mengembalikan cinta..*eh” aku asal
berseloroh
“tapi hati-hati...jaga kodisi kakak
yaa....jangan sampai drop” aku meneruskan
“iya...tenang ajaa.... “ disusul
emoticon senyum.
Aku memang bukan siapa-siapanya.
Pantas jika tak mengerti isi hatinya. Tapi salahkah jika aku khawatir?
#Masih lanjut ke part 4
#MenulisSetiapHari
#OneDayOnePost
1 comments:
Bener ya manusia di atas usia 25 itu Susah atau brubah dari karakter aslinya?
Post a Comment