Monday, 28 November 2016

Ada Ya, Orang Begitu?

| |





Percakapan dalam sebuah group kali ini perlu diabadikan dalam catatan. Biar jadi pelajaran di masa depan. Aku tak akan menyebut nama, walau kau tahu siapa yang masuk dalam cerita ini. Tidak, ini hanya perlu dicatat supaya kita lebih waspada menanggapi pribadi yang berbeda.


Ada yang mau baso?
Ada yang mau jamur crispy?

Mau dong...

Ambil sendiri kesini ya kak...

Alamatnya dimana?

Hihi... *emot nyengir

Aku nanya alamat, bukan minta emoticon. Karena emot ngga bisa bawa aku kesana

Ahahaha... *Emot cemas
Lupakan soal alamat, ya kakak

Okey. Gampang... Asal jangan nawarin sesuatu yang akhirnya suruh ambil sendiri ya... *nada slow, ngga ada tanda seru, apalagi full huruf kapital. Lalu kutinggal mandi, hp di kamar.

Setelah mandi....buka chat group lagi

Ih kakak sinis sama aku....kenapa mesti kalau aku ngomong ditanggapi sinis gitu? Sama yang lain engga. Aku kan ngga mau cari musuh. Nyebelin ah.  (versi aslinya dapat dibaca dengan kalimat yang lebih *Nylekit* dihati. Sempat heran sih, apanya yang sinis? Perasaan itu kalimat biasa aja).

Sepahamku, sebuah kalimat bisa menjadi sinis, kasar, menyebalkan adalah ketika diucapkan dengan intonasi yang menyentak, tidak enak didengar, dan penuh kebencian. Sedangkan pada tulisan, bisa ditandai dengan adanya tanda seru, huruf kapital, atau titik-titik panjang diiringi dengan banyak tanda seru. Tapi kalimat yang kutulis tadi, jelas tidak ada indikasi bisa dibaca dengan nada keras. Hanya prasangka yang bisa mengubah intonasinya ketika membaca.

Sampai disini, ada Wapri masuk, tanya: Dek itu mau dibiarin atau diterusin sekalian? Lalu kujawab singkat : ah udah terlanjur basah mbak, mandi sekalian aja deh *emot tertawa*. Lalu kuketik balasan di group:

Astaghfirullah.. ehm, bolehkah kujelaskan pelan-pelan? Sama sekali ngga ada maksud sinis loh. Cuma kalau ditawari makanan terus aku pengen beneran lalu kamu jawab suruh ambil sendiri, aku mau ke situ. Kalau aku bener-bener pengen makanan itu sekaligus ketemu kamu, terus aku harus gimana? Kalau kamu bilang sekalian, “jangan kesini”, gitu kan jelas. Ngga ada yang pengen cari musuh, apa untungnya coba? Ini cuma beda gaya bahasa aja. Maaf kalau sudah bikin salah sangka. *masih berusaha slow

Lalu kutinggalkan chatroom sampai sekitar satu jam kemudian.

Unread chat : 438 chat!
Private chat : 4

Aku memilih buka privat chat dulu, salah satunya kabar kalau “dia” yang menyangka kalimatku sinis tadi sudah keluar group. Ada yang mengingatkan untuk tidak mengambil hati teks yang dituliskan nanti jika baca di group, anggap saja angin lalu katanya.

Hah? Apa karena aku?

Setelah kutelusuri chat memang dia beberapa kali mengetiks teks dengan bahasa tuduhan padaku berdasarkan perasaannya semata, lalu ketemu chat dia sendiri yang mengancam keluar group kalau terus-terusan dibuat merasa tidak nyaman di group (padahal tidak seorangpun bermaksud begitu, ah prasangka memang bisa saja meraja). Kemudian ancaman itu diamini oleh anggota lain, beliau bilang, “silahkan saja kalau mau keluar. Ngga ada yang mencegah...” bla..bla bla.. lalu dia keluar, ah ya sudahlah.

Padahal masih ada beberapa hal yang ingin kusampaikan dalam setiap percakapanku di group dengannya. Entah dia akan membaca tulisan ini atau tidak, entah kapan akan terbaca. Aku tidak akan mengirimnya link cerita ini, tidak akan menandainya di link yang kubagi di FB, tidak akan menyuruhnya membaca. Biarkan saja jika memang takdirnya untuk membaca, semoga mengerti akhirnya. Atau jika ada yang berkenan mengirim link cerita ini kepadanya, silahkan saja.

Kalau akhirnya ngga paham juga, ya sudahlah. Yang penting sudah berusaha, semoga dia berkenan untuk bertanya perihal catatan kecil ini kepada orang yang dianggapnya bijak. Siapa tahu bisa membantu.

Seperti dia yang berharap dimengerti lewat bahasa kiasan, sebenarnya aku dan teman-teman lain juga ingin dimengerti lewat apa yang kami ucap lewat tulisan, tapi sadarkah dia? Entah, semoga waktu memberi jawaban terbaiknya.

Teman adalah representasi diri, cermin yang lebih jujur dari kaca benggala milik para putri raja. Dari teman kita bisa tahu siapa kita sebenarnya, orang seperti apa yang akan merasa nyaman bersama kita, maka sesungguhnya pribadi kita tidak jauh dari itu.

Teman adalah investasi, awalnya mungkin kenal biasa saja, tapi semakin lama akan ada kebutuhan hidup yang muncul begitu saja, lalu kita membutuhkan teman untuk memenuhi kebutuhan itu. Entah butuh bantuan tenaga, pikiran, materi, sampai ajang curhat. Itulah kenapa sesungguhnya teman itu tak ternilai harganya, apalagi teman hidup tempat berbagi segalanya #eaa.

Kita bisa menjadi saling akrab, meski belum pernah bersua sekalipun, adalah karena merasa saling cocok. Kecocokan itu bisa disebabkan banyak hal, hobi yang sama, perasaan yang saling terbuka, atau nyaman karena bisa menjadi penampungan cerita. Nah kalau ngga bisa terbuka, mau dapat teman dekat yang seperti apa?

Sedikit yang ku tahu tentang dia, adalah gadis dengan label “syar’i” yang ingin di sandangnya. Kami tergabung dalam satu group lebih dari setengah tahun yang lalu. Sepertinya dia bercadar, tapi pernah bilang beberapa kali lepas juga. Menurut penuturan beberapa teman dekat, dia berusia 24 tahun. Sudah cukup dewasa ya? Tapi rasanya tidak seimbang dengan tingkat kedewasaan yang ditampakkan dalam percakapan, bukan hanya menurutku, banyak yang bilang ia masih kekanakan. Sedikit-sedikit, merasa dicuekin. Inginnya diperhatikan, disayang-sayang, tidak suka ada yang bicara tegas padanya (dalam versi dia, “tegas” tidak jauh beda dengan keras atau kasar, mungkin dia belum tahu bedanya. Termasuk bedanya kritis dan sinis, dimatanya selalu tampak sama, soal ini aku sedih mengenangnya).

Beberapa hal yang aneh adalah, dia mengaku tinggal dan dibesarkan di kota X, salah satu kota di pulau jawa, tapi tidak paham bahasa daerahnya sendiri. Berbagai jenis makanan lokal yang familiar seperti duwet/juwet, nama-nama daerah sekitar yang masih satu kabupaten, bahkan bahasa sehari-hari sering tidak dia pahami. Kenapa?

Soal bahasa, jika dia benar-benar tinggal dan di besarkan di salah satu kota di Indonesia, kenapa bahasa tulisannya tidak menggunakan kaidah bahasa indonesia yang baik dan benar? Aksen dan susunan kata yang digunakan cenderung ke bahasa melayu. Tapi menurut teman-teman yang paham bahasa melayu-pun, tidak seperti itu seharusnya. Jadi sebenarnya dia orang mana?

Okelah, kalau memang itu gaya bahasa tulisannya, untuk menunjukkan ciri khas dirinya sebagai penulis, adakah penulis yang ingin membuat pembaca merasa “tersesat” ketika membaca tulisannya? Pertama kali membaca hasil tulisannya di blog, aku sempat berfikir mungkin memang masih proses belajar menyusun kalimat yang baik. Tapi lama kelamaan, membaca cerpen yang dikirim untuk proyek antologi aku merasa bingung dengan alur, tokoh, dan gaya bahasanya. Ketika kuberi kritik atas karya itu, dia banyak sekali bertanya kenapa dan bagaimana bisa aku menilai begitu? Loh, kan aku hanya menilai berdasarkan apa yang kubaca dan pengetahuan saja? Kalau diterima silahkan, engga juga ngga maksa. Tapi dia keburu salah sangka, ya sudahlah.

Selanjutnya, beberapa kali terlibat percakapan dalam group. Aku yang dasarnya biasa bicara apa adanya, tidak terlalu banyak basa basi, hanya ingin berteman dengan “apa adanya diriku”, bukan “apa yang sebaiknya orang tahu tentang aku”. Berharap bahwa siapapun yang menjadi temanku, menunjukkan pula siapa dirinya. Aku tidak anti berteman dengan golongan tertentu. Bagiku semua bisa jadi teman yang baik, eh ini beda kriteria sama teman hidup ya #ops.

Selama seseorang itu bisa menerimaku apa adanya, ya aku harus bisa menerima dirinya juga. Sebaik atau seburuk apapun pribadi seseorang, rasanya masih layak diterima sebagai teman selama dia jujur, memang seperti itulah dirinya. Toh tak ada manusia sempurna yang masih hidup di dunia ini kan?

Tidak ada yang salah dengan keburukan seorang teman. Setiap orang pernah melakukan salah, setiap orang punya kekurangan, selama dia sadar dan berusaha menjadi lebih baik, maka selalu ada kesempatan untuk memperbaiki masa depan.

Tapi dia? Tampaknya ingin sekali pribadinya tidak dikenali, tapi ingin selalu dimengerti, aneh ngga sih? Pertama tidak ingin berbagi foto, kita semua menghormati. Mungkin akan lebih mudah kita terima jika sejak awal dia bilang, “maaf aku tidak bisa berbagi foto karena ideologiku yang seperti ini....” jika di jelaskan, akan lebih mudah dimengerti. Bukan dengan balas senyum dan tertawa, tapi tak ada kejelasan ujungnya. Membuat orang menerka-nerka, lalu jika tak sesuai, disalahkan pula! Oh, hampir lupa! Dia ingin dimengerti ya? Menuntut kita semua untuk mengerti tanpa penjelasan? Ehm, sejujurnya itu bukan cara berteman yang baik menurutku. Karena jika seseorang itu ingin dimengerti orang lain, maka dia sendiri juga harus mengerti orang lain.

Saat diajak ketemuan, dia bilang iya iya, tapi tidak pernah ada kelanjutannya. Termasuk soal alamat tadi, tidak hanya sekali dua kali kutanyakan hal yang sama dan dia terus menghindar. Awalnya aku menyangka dia benar-benar tidak ingin ditemui, tapi dalam beberapa percakapan dia mengelak, bilang kalau mau berteman, mau ketemu, tapi ditanya alamat atau ketemu dimana ngga mau jawab. Bilangnya sih mau berteman, tapi ngga bisa ngerti teman. Ada ya, orang model begini?

Maunya apa sebenarnya? Aku sering gagal paham dengan bahasa dan setiap ucapannya. Maka lebih memilih diam ketika dia muncul dalam percakapan, cari aman. Dari pada dianggap salah kan? Eh, tapi tetap salah juga. Ketika ngga ada yang nanggapi dia merasa diasingkan, seperti hantu yang ada tapi dirasa tidak ada, kehadirannya sebagai anak bawang atau bayangan semata. Nah jadi sebenarnya kami harus bagaimana?

Jangankan bicara sebagai teman, mengalirkan percakapan sesuai topik yang sedang dibicarakan, sering dia anggap tidak sesuai keinginannya. Ini yang salah orang banyak, atau hatinya yang terlalu banyak berprasangka? Oh, wajar jika kita sebagai manusia biasa dibantahnya. Tapi kasus dia memang beda, percaya atau tidak, ilmu pengetahuan juga sempat dinafikannya.

Seorang teman pernah menegur, jika seseorang itu cenderung menggunakan kata ganti namanya sendiri dalam sebuah percakapan yang sudah akrab, maka secara ilmu psikologi orang tersebut sedang mencari perhatian, ada kecenderungan sifat kekanakan, childist dan masih belum benar-benar “dewasa” (Catatan: dia selalu menyebut namanya sendiri untuk mengucapkan “aku” dalam percakapan sehari-hari di group). Karena orang yang cukup dewasa cenderung menggunakan kata “aku” atau “saya” untuk forum yang formal, ini secara psikologi ya, bukan pendapat pribadi.

Kemudian kau tahu apa jawabannya? Ah, yang pernah baca blognya pasti paham. Dia merasa tidak benar begitu, kata ganti nama biasa dia gunakan karena merasa sudah akrab saja. Menurutnya tidak benar bahwa dia suka cari perhatian, bahkan merasa aneh dituduh mencari perhatian dengan selalu menyebut nama begitu.

Mungkin dia tidak atau belum sadar bahwa caranya merajuk, minta dibalas setiap chatnya, juga diajak ngobrol dengan bahasa yang hanya sesuai menurut dia adalah bentuk-bentuk strategi manusia mencari perhatian. Masih mau mengelak? Silahkan saja, tapi jangan lupa bahwa ilmu pengetahuan mengandung kebenaran lebih banyak dibanding prasangka manusia yang berjalan tanpa pertimbangan logika.

Ah, hampir saja aku berandai-andai jika dia masih ada di group. Apa? Rindu? Padanya? Ehm, seharusnya kau bilang perasaan ini wajar, aku baru saja kehilangan “calon teman baik”. Yah, memang sekarang belum jadi teman yang baik. Tapi siapa tahu nanti suatu hari dia kan mengerti? Ah semoga dia punya kesempatan untuk memiliki teman yang benar-benar baik untuknya nanti, bukan yang selalu membenarkan, tapi yang menunjukkannya pada kebenaran.

Satu hal penting yang ingin kusampaikan adalah, bahwa jika dia ingin merahasiakan identitasnya, maka gunakanlah kamuflase yang sempurna. Jangan setengah-setengah karena akhirnya bukan kami, tapi hatinya sendiri yang terluka karena prasangka.

Semoga dia tidak lupa bahwa sebagian dari prasangka adalah dosa. Semoga dia mengerti bahwa dewasa memang tidak terpaut pada usia, mengerti bahwa tidak seorangpun di group yang ingin melukai hatinya, semoga dia bisa berdamai dengan prasangka yang selalu menemaninya kemana-mana. Semoga diluar sana, dia temukan teman yang bisa mengerti dan memahami apa yang dia mau, sekaligus menjadi perantara agar dia memahami kesalahannya sendiri. Semoga.

Sekali lagi, tidak kusebutkan satupun nama dalam cerita ini. tidak pula inisial atau petunjuk yang akan membawamu menemui sang tokoh utama, karena memang tidak perlu. Tapi jika nanti, atau suatu hari nanti ada yang meninggalkan komentar mengaku sebagai pemeran utama dalam cerita ini, maka cukuplah kita tahu siapa dan bagaimana dia sebenarnya. Oke, semoga langkah kita selalu berpijak pada kebenaran dan kebaikan.

Aamiin

Adakah teman-teman yang ingin ikut menyampaikan pesan? Boleh sertakan di kolom komentar ya, hehe

#OneDayOnePost

15 comments:

Ciani Limaran said...

Kak, nasehati aku juga jika kelewat batas yah :)

Sakif said...

bisa diatur. asal kau mau juga menegurku kalau memang salah, ok

Sasmitha A. Lia said...

Analisisnya puanjang ya mbak kif.. 😂😂😂 keren...

Na said...

Wow.. Panjang banget, mba. Ini sudah mewakili, lah ya. Tambahan doa semoga bisa lbh baik aja kedepannya. Karena setahu saya (ini bukan bentuk prasangka, kalau prasangka, bahasanya di mulai dengan:perasaan saya) Jika tidak berhasil menyelesaikan satu masalah lantas lari dari permasalahan tersebut, maka Tuhan akan memberikan masalah (biar lebih enak dibaca:ujian) yang sama dengan versi berbeda.

Jadi, selama hambanya tidak lulus, ujiannya akan berulang terus.
Mudah-mudahan setelah ini, teman kita itu dapat memetik hikmah dari masalah yang dihadapinya tentunya juga jadi lebih dewasa.

Untuk Mba Saki, caranya sudah sangat Indah sekali, mba.

Dan saudara (panggilan untuk dia) jika suatu waktu dapat membaca tulisan ini. Banyak harapan dan doa dari teman-teman dan tentu juga saya, agar saudara bisa lebih baik dan lebih baik lagi nanti. Aamiin.

Sakif said...

Aamiinn...
makasih kakak tambahan nasehatnya, semoga doa yang baik dr kita semua berbuah kebaikan pula

Na said...

Aamiin aamiin aamiin
Setiap kita, pengen yg baik2. Jd harapan dan doa jg harus yg baik2.

Dewie dean said...

Untuk dia... ia dia semoga bisa lebih baik ya di luar sana

COTTON CANDY said...

Mmmm... Aku juga Pernah merasakan pengalaman seperti itu -_-.

Lisa Lestari said...

Aamiin
Perasaan pagi td komen. Lom ada yaaa..

Sakif said...

tak sepanjang jalan kenangan kak ^_^

Sakif said...

ngga enak ya kak -_-

Sakif said...

ini udah ada mba ^_^

Unknown said...

Semoga hal ini bisa menjadi renungan untuk si dia. Tidak hanya dirinya yang ingin diperhatikan kita juga lhoh. Hehehe

Gadielok said...

Untuk kamu yang selalu merasa diperlakukan tidak baik "perlakukan orang lain seperti apa kamu ingin diperlakukan". Jangan hanya berharap lebih banyak jika memberi sedikit aja tak mampu.....

Unknown said...

Mudah mudahan satu saat yang bersangkutan bisa membaca ini dan bisa menanggapi nya dengan lebih baik bukan malah makin ngambek..

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©