Sunday, 30 October 2016

Bunga dan riba (1)

| |





Walaupun bank syariah di Indonesia sudah berdiri lebih dari dua dekade, saya masih sering mendengar pertanyaan, “kenapa sih bunga bank itu haram? Emang bunga bank sama dengan riba? Apanya yang sama sih? Perasaan beda deh...”. sering, berarti tidak hanya sekali atau dua kali. Tapi berkali kali.

Lalu saya bingung hendak menjelaskan, berdasarkan dalil atau teori?

Baik, saya coba dari keduanya ya. Tapi pelan-pelan saja. Semoga mudah di pahami. Kalaupun kurnag jelas, bolehlah tinggalkan pertanyaan di kolom komentar nanti. Untuk dalil, saya letakkan di akhir saja ya. Bukan apa-apa, manusia jaman sekarang lebih paham dijelaskan pakai contoh nyata dibanding dalil yang berbaris-baris jumlahnya. Walaupun yah, akan sulit menjelaskan karena riba ini berhubungan langsung dengan hukum agama. Baik, saya coba pakai analogi saja ya.

Begini, riba itu berarti “tambahan” yang diperoleh tanpa alasan syar’i. Alasan syar’i maksudnya, alasan yang bisa dibenarkan secara syari’at. Jaman dahulu (sampai sekarang juga masih banyak sebenarnya) manusia banyak bertransaksi dengan manusia lain, karena kebutuhan tentu saja. Nah, riba ini bisa uncul dari dua transaksi utama sebagai penyebabnya : jual beli dan hutang.

Riba dalam jual beli, adalah ketika seseorang bertukar barang yang sejenis tapi tidak sama kualitasnya. Misal, tukar menukar kurma basah dengan kurma kering, kurma kualitas baik dengan kualitas rendah, beras sembako dengan beras organik, jagung kualitas rendah (sudah dimakan bubuk sebagian, mungkin) dengan jagung kualitas tinggi. Tukar menukar seperti ini tidak benar menurut syari’at. Kenapa? Karena tukar menukar semacam ini sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua pihak, apalagi ukurannya tidak ada standar yang jelas. Lalu solusinya? Jika transaksi semacam ini memang dibutuhkan, maka Rasulullah memberi solusi dengan mengukurnya sesuai harga. Jadi kurma, jagung, beras, ataubahan yang ingin ditukar tadi dihitung sesuai harga pasar saat itu, berapa? lalu jika dibelikan kurma, jagug, beras atau lainnya yang kualitas baik, dapat seberapa?

Ini akan lebih adil bagi semua pihak, bukan? beginilah riba dalam jual beli, berupa “tambahan” yang dapat merugikan pihak lain.

Lalu riba dalam bentuk hutang, bagaimana?

Ini yang sering sekali kita jumpai prakteknya di masyarakat. Jika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain, maka kreditur atau pemberi pinjamna ini “mensyaratkan” kelebihan kembaliannya nanti. Misal seseorang pinjam satu juta, orang yang memberi pinjaman bisa saja berkata, “ nanti kembalinya satu juta seratus ribu rupiah, ya?” dan hal ini dimaklumi sekali oleh si peminjam. Yang kemudian mengembalikan dengan sukarela sesuai permintaan. Dari pada ngga boleh pinjem, iya kan?

Nah, sebenarnya jika “tambahan” ini tidak di syaratkan di awal, Rasulullah sudah menganjurkan orang yang meminjam untuk memberi kelebihan saat mengembalikan. Iya, tanpa syarat harus berapa, tentu saja. Tapi apa semua peminjam mau begini? Tentu saja, terserah peminjam mau mengembalikan pas atau lebih, ini hak peminjam. Kalau tidak lebih juga tidak apa-apa.

Menurut teori ekonomi klasik, uang yang di pinjam itu bernilai lebih rendah setelah melewati sekian waktu. Nilai 100 ribu sekarang dapat membeli 10 mangkok bakso, mungkin hanya akan dapat 8 mangkok saja tahun depan. Penurunan ini dianggap sebagai akibat dari inflasi dan hilangnga kesempatan si peminjam memanfaatkan uang. Kalau saja uang itu tidak dipinjamkan, si pemilik bisa memanfaatkan uang itu untuk usaha atau investasi lain, yang berarti bisa bernilai lebih setelah satu tahun. Seratus ribu setelah dijadikan investasi bisa jadi 200 ribu setahun lagi. Itulah kenapa teori ekonomi ini membenarkan adanya syarat pengembalian lebih dari nominal pinjaman. Dan inilah yang dianggap riba. Tambahan yang tidak dibenrkan secara syari’at.

Kenapa?

Karena teori ini mengabaikan kemungkinan investasi bisa juga mengalami kerugian. Belum pasti uang 100 ribu akan menjadi 200 ribu tahun depan, kan? Bisa jadi malah habis karena rugi, atau kembali impas tetap seratus ribu. Maka kelebihan yang di syaratkan di awal ini dianggap sebagai riba, haram hukumnya.

Dalam islam jika seseorang meminjam 100 ribu, ya harus kembali 100 ribu itu. Tapi jika 100 ribu di niatkan untuk investasi usaha, maka jika ada keuntungan bisa dibagi dengan pemberi pinjaman, dan jika mengalami kerugian  pemilik modal juga harus siap menanggungnya. Harus siap dengan risiko, dong.

Nah sekarang, apa beda atau persamaannya dengan bunga bank?

Perhatikan, dalam sistem bank berbasis bunga, pinjaman yang diberikan selalu mensyaratkan “bunga” sekian persen dari nominal pinjaman. Jika mau pinjam ke bank konven, ya syaratnya begitu. Kalau ngga mau bayar bunga, ya jangan pinjam. Begitu kan?

Disinilah, konsep bunga sama dengan riba. Mensyaratkan kelebihan dalam pengembalian pinjaman tanpa mempertimbangkan kerugian. Tanpa peduli pinjaman itu mau digunakan untuk usaha atau kepentingan konsumsi. Lalu apa bedanya dengan konsep riba? Tidak ada.

Inilah alasan kenapa bunga dinilai sama dengan riba. Lalu jelas, haram hukumnya.

Dan kau pasti tau, dari mana bank bisa memberi pinjaman dan mendapat bunga? Yah, tentu saja dari dana nasabah penabung. Kan fungsi bank hana sebagai lembaga intermediary, yaitu sebagai perantara mereka yang punya dana (menitipkan uang di bank lewat tabungan, giro, atau deposito) lalu menyalurkannya kepada mereka yang butuh pinjaman. Bank mendapat keuntungan dari selisih bunga-nya tadi. Mau tau berapa besar keuntungan bank? Yah.. lihat saja bagaimana bank berbasis bunga bisa membangun gedung,membayr gaji karyawan, membuat ATM, berbagai fasiilitas dan sistem perbankan, itu semua adalah wujud betapa menguntungkannya bisnis berbasis bunga (riba).

 Jelas kan?

Jadi, siapapun anda, jika punya rekening si bank konvensional, maka tak bisa dipungkiri bahwa anda adalah pendukung transaksi berbasis bunga (riba).

Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al Baqoroh ayat 275)

Inilah ayat terakhir yang mempertegas bahwa riba adalah haram. Lain waktu akan saya coba jelaskan kenapa riba dianggap sama dengan jual beli. See u soon, insya Allah.

#OneDayOnePost


1 comments:

Na said...

Jadi solusi untuk pinjam meminjam yang tidak termasuk riba, gimana ya mba?

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©