Sebagai muslim, berapa kali
sudah kita ucap kalimat syahadat?
Dalam sehari saja, coba
dihitung. Saat shalat, dzikir, atau membaca doa tertentu, sangat lazim diawali
dengan syahadat. Tapi sudahkah kita sadari apa maknanya?
Seorang Abu Thalib, paman
yang sangat menyayangi Rasulullah, rela meninggalkan dunia tanpa sekalipun
mengucapkannya. Kenapa? Padahal Rasulullah adalah keponakan yang paling di
sayang, paling dipercaya masyarakat satu suku bahkan terkenal di berbagai kota
(saat itu), sebagai Nabi pembawa kebenaran. Apa yang membuat Abu Thalib tak mau
memenuhi permintaan Rasulullah untuk mengucap syahadat?
Bahkan di akhir hidupnya,
Rasulullah memohon dengan sangat kepada sang paman untuk mengucap dua kalimat
syahadat. Air mata permohonan itu tak meluluhkan hati Abu Thalib, ia tetap
bergeming dan enggan mengucapkannya. Kenapa?
Orang-orang Quraisy terkenal
sebagai orang-orang yang memiliki karakter kuat, teguh pendirian, dan sangat
menepati janji. Apa yang dikatakan, itulah yang jadi kenyataan. Pantang bagi
mereka mengucap kebohongan. Dan soal syahadat, mereka menyadari benar
konsekwensi dari dua kalimat sebagai tiket masuk islam tersebut.
Dalam sebuah kajian, seorang
ustadzah menyampaikan ada tiga hal utama yang terkandung dalam kalimat
syahadat:
1.
Ikrar.
2.
Sumpah
3.
Janji
Ketiga kata tersebut berarti
bahwa seorang yang mengucapkan syahadat, ia bersumpah bahwa hanya akan mengakui
Allah sebagai “ilaah” (Sesembahan, Tuhan, sesuatu yang paling diagungkan). Sumpah yang tidak hanya sekedar ucapan, tapi
juga janji dalam hati untuk bisa menepati, ikrar yang menegaskan diri akan
menjaga sikap sesuai dengan apa yang sudah dijanjikan.
Sehingga jelas, syahadat
merupakan pernyataan keimanan. Sedangkan dalam banyak literatur disebutkan
bahwa iman adalah apa yang diucapkan, sesuai dengan apa yang diyakini dalam
hati dan apa yang dilakukan dalam perbuatan sehari-hari.
Iman akan cacat dalam
pengertiannya, jika hanya sebatas diucapkan, tapi tidak diyakini, apalagi tidak
tercermin dalam sikap sehari-hari. Maka, tidak bisa disebut benar-benar beriman
jika seseorang yang mengucapkan syahadat, tidak yakin bahwa Allah adalah
satu-satunya yang hars diutamakan dari segala hal lain, lalu ketika mendengar
adzan pura-pura tidak dengar atau bahkan mengabaikan.
Paman Nabi, juga orang-orang
kafir pada masa itu sadar benar apa yang disebut dengan iman. Mereka memahami
sepenuhnya konsekwensi dari pernyataan keimanan, dari dua kalimat syahadat.
Bagaimana dengan kita?
Atau orang tua kita?
Saudara-saudara kita?
Tetangga kita?
Orang-orang yang kita sayangi
dan menyayangi kita?
Mereka semua, ketika sudah
memilih untuk menjadi muslim, maka seharusnya tau tentang konsekwensi ini. Mengucapkan
dua kalimat syahadat, berarti menyatakan ketundukan pada aturan Allah dan
RasulNya. Bersedia memenuhi setiap perintah dan menjauhi laranganNya. Termasuk menutup aurat, menjauhi riba, berkata
jujur, menjaga hubungan baik, bersikap sopan, menjaga shalat, berpuasa, dan
sebagainya.
Termasuk konsekwensi iman,
diantaranya adalah berani bersikap benar, optimis, dan tenang dalam menghadapi
situasi apapun. Para alim ulama banyak memberi contoh dalam hal ini, bagaimana
sikap tenang dan rasa optimis mengantarkan mereka untuk menjadi orang-orang
yang dipilih Allah terjaga dalam kebijaksanaan dan ilmu.
Jika kita belum sanggup
menetapi apa yang seharusnya sudah menjadi konsekwensi, lalu dimana seharusnya
kita posisikan diri dihadapan illahi?
#Onedayonepost
0 comments:
Post a Comment