Gilang, adalah salah satu makhluk adam paling eksis di kos-an ODOP.
Ramah, hobi #eh anti galau, humoris, baik hati, dan tentu saja: berisi (red:
sinonim tidak ditemukan, hentikan pencarian). Asalnya dari Bandung, urang Sunda,
sundanese.
Ciri khususnya adalah dia paling bisa nulis komedi. Mau seserius
atau sehoror apapun niat awalnya, toh akhirnya lucu juga. Entahlah, sepertinya
dia bakal jadi penerus Raditya Dika, maklum fans beratnya. Yah, dia berpotensi
lah jadi penerus Bang Dika, secara tulisannya kadang lebih keren dari pada
tulisan Bang Dika, suer! Setidaknya bagiku sih, kadang. Meskipun jelas, fans
Bang Dika lebih banyak dari pada Aa Gilang. Tapi bisa jadi, dua puluh tahun
lagi Bang Dika kalah saingan sama teman kita yang satu ini.
Nah, karena penduduk di Kos ODOP ini sudah kenalan dan saling kenal
selama hampir setahun, wajar kalau kami jadi tahu karakter masing-masing
pribadi. Mulai dari karakter sifat sampai tulisan, hampir setiap penduduk punya
ciri khas, termsuk Aa Gilang yang spesialis komedi sekaligus pecinta sejati.
Emang sih, “katanya” Aa Gilang statusnya jomblo, saking jujurnya
dengan status ini si Aa sering sekali mengeluh saat malam minggu tiba. Bercerita
sibuk dngan koreksian dan rekap nilai siswanya, sibuk ngantar mamanya ke mana,
atau jika tidak ada kegiatan dia sibuk berdo’a agar malam minggu itu hujan
turun dengan deras, biar para jomblo bahagia katanya. Yah, walapun tidak
bahagia karena punya kekasih yang bisa digandeng kemana-mana, toh tetap bisa
bahagia melihat para pasangan itu ngga bisa ke mana-mana saat malam minggu
tiba.
Meski jomblo bahagia, bukan berarti Aa Gilang selalu bahagia dengan
statusnya. Buktinya, dia sering mengeluh pengen punya kekasih layaknya mereka.
Pucuk dicinta ulam tiba, keluhannya di kos-an ODOP mendapat
tanggapan dari gadis manis berkacamata. Sebut saja namanya CiLi. Ingat ya,
huruf L di tengah itu harus ditulis kapital, jangan sampai lowercase karena akan berbeda maknanya!
CiLi adalah gadis lembut, baik hati, cantik, berhijab, dan
berkacamata pula. Type perempuan yang “Aa Gilang banget” deh pokoknya. Apa yang
harus dilakukan oleh seorang lelaki yang mengagumi sosok perempuan selain mahromnya?
Tepat!
Halalkan atau tinggakan!
Berbekal tekad, restu mamah dan segenap keluarga, ijazah sarjana,
dan segunung cinta, pada minggu yang mendung di bulan Januari 2017 Aa Gilang
berangkat ke Solo untuk menemui pujaan hati, De’ CiLi. Begitu dia biasa memanggilnya.
Kereta Pasundan berangkat dari Stasiun Kiaracondong pukul 05.20
pagi. Aa Gilang mengenakan jaket tebal karena cuaca bulan Januari masih
berselimut kabut saat pagi. Menurut jadwal, kereta ini akan sampai di Stasiun
Purwosari yang paling dekat dengan rumah De’ CiLi sekitar pukul 15.30 sore
nanti.
***
“Aa sudah sampai mana? Kenapa tadi ade’ telpon ngga diangkat? Aa
ngga kebablasan kan? Sekarang nyampe mana?” Suara panik CiLi memenuhi gendang
telinga Aa Gilang sedetik setelah panggilannya di angkat.
“Umm....nyampe mana ya ini de? Maaf tadi Aa ketiduran.” Jawabnya
sambil melirik arloji di tangan kiri, masih 15.00, berarti setengah jam lagi.
Kenapa De’ CiLi sudah panik begitu? Padahal kan masih lama. Ah, pasti cinta
yang membuatnya demikian gugup menyambut pertemuan pertama.
Setengah jam kemudian, mereka bertemu di stasiun dan makan
tengkleng di rumah makan dekat stasiun. Tentu saja Aa lapar setelah perjalanan
seharian dan nerveous yang menyiksa selama berada di dalam kereta, namun dia
tetap tidak bisa makan banyak, masih sungkan dengan gadis manis di depannya
yang juga hanya berhasil menyuapkan beberapa sendok nasi.
Setelah makan, mereka naik angkot sekali untuk menuju rumah CiLi. “Biar
ngga maksiyat jadi naik angkot aja aman,” kata CiLi. Disambut wajah masam
Gilang yang awalnya ingin memuaskan diri melihat wajah CiLi di alam nyata. Meski
akhirnya terpaksa juga dia terima, daripada ditelantarkan di tanah jawa yang
belum pernah dia arungi sebelumnya?
“Kiri bang...” teriak Aa Gilang tiba-tiba.
“Loh? Kita kan belum sampai a? Sepuluh menit lagi?” Tidak dijawab
oleh lelaki “berisi” itu, tapi CiLi ikut turun juga, mengekor dibelakangnya.
Mereka melanjutkan langkah dalam diam, lalu Gilang belok kiri, masuk di sebuah
gedung tinggi.
Kenapa Aa ke sini?
Emang ada keluarga? Katanya?.... Pikiran CiLi mulai
tak karuan. Setelah masuk, Aa Gilang meminta CiLi menunggu di salah satu kursi.
Jangan-jangan.. Pikiran CiLi kembali
bermain sendiri.
“Ade tunggu di sini sebentar ya, Aa mandi dulu. Ngga enak ketemu
calon mertua kalau kucel gini.” CiLi hanya mengernyitkan dahi, kemudian
mengangguk. Ia tak sanggup bertanya ketika kekasihnya menghilang di balik
pintu.
Oh My God...
Astaghfirullah.... Ujarnya lirih.
Tatapan matanya terpaku pada plang besar di tembok sebelah kiri bangunan :
Penginapan Melati, Bersih dan Syar’i. Pantas!
***
“Ini rumah Ade, a’... maaf ya mewah, cuma mepet sawah. Anggap aja rumah sendiri. Toh mau jadi rumah Aa juga
kan nantinya?” CiLi membuka suara ketika mereka sampai di halaman. Aa Gilang
hanya tersenyum bahagia. Ah, ini sih
beneran mewah. Kata hati Aa Gilang bersuara.
Rumah itu memang jika diperhatikan tampak biasa saja, khas bangunan
jawa dengan halaman yang cukup luas, teras, tembok berwarna putih dan atapnya
genting. Namun jika diperhatikan lebih rinci, ada beberapa tanaman bunga yang
tertata rapi, serumpun tanaman obat, dan sebatang pohon jambu biji yang siap
berbuah di tengah halaman sebelah kanan. Teras dihiasi dengan beberapa bunga
yang ditanam dalam pot tanah, beberapa sedang berbunga cantik. Merah, putih,
kuning, entah bunga apa saja namanya. Mama CiLi memang penggemar tanaman. Gilang
menunggu dengan sabar di teras sambil menikmati semua pemandangan indah itu,
sementara CiLi sudah sejak tadi menghilang di balik pintu.
“Assalamu’alaikum..... Oh ini yang namanya Aa Gilang? Selamat
datang di rumah kami yang sederhana ini. Anggap saja rumah sendiri ya nak...
Mari sini duduk di ruang dalam saja. Ngga pantas dilihat orang lewat kalau di
teras.” Suara perempuan setengah baya membuyarkan lamunan Gilang, ia menoleh
dan segera berdiri, “Wa’alaikum salam, iya bu, saya Gilang. Teman CiLi yang
baru pertama ke sini.” Jawabnya ramah sambil menyambut uluran tangan dan
menciumya, seperti biasa ia lakukan pada mama di rumah.
Di Belakang Ibu, ada seorang lelaki separuh baya yang tersenyum
meski agak kaku. Ini pasti bapaknya.
Batin Gilang memberi tahu. CiLi belum kelihatan juga. Gilang jadi kikuk
dibuatnya.
“Monggo pinarak, nak....”
Sikap tubuh bapak mempersilahkan. Gilang menurut, masuk ke ruang tamu dan duduk
bersama mereka, lalu menatap keduanya, tersenyum dan mengangguk.
“Kaleh sinten wau saking
Bandung?” Bapak membuka percakapan.
Hah? Artinya apa?
Duh... Tadi bapak bilang Bandung. Pasti maksudnya bertanya soal perjalanan
tadi. Bismillah... Gilang sempat menark nafas sebelum menjawab.
“Tadi pagi pak, dari Bandung. Naik kereta.” Sang Bapak hanya
manggut-manggut.
“Sudah makan belum, nak?” Kali ini ibu yang bertanya, lega rasanya
tidak menggunakan bahasa yang “aneh” di telinganya.
“Eh? Sudah bu.. tadi di dekat stasiun De’ CiLi ngajak mampir beli
apa itu yang dari daging kambing tapi ada kuahnya... enak.” Kalau bahasa Indonesia gini kan enak,
Gilang hanya berani membatin kalimat terakhir.
“Oh tengkleng... iya emang enak di situ. Kita sering juga makan di
sana ya pak?” Ibu beralih bertanya kepada suaminya, yang kemudian hanya di
jawab dengan anggukan.
“Nak, CiLi sudah banyak cerita tentang kami?” Ibunya kembali
mengalihkan pandangan kepada Gilang.
“Alhamdulillah sudah bu, kami sudah banyak bertukar cerita tentang
keluarga masing-masing. Karena itulah saya bertekad segera ke sini.” Gilang
menjawab dengan sopan. Sang bapak yang awalnya hanya manggut-manggut ikutan bertanya.
“Nak Gilang niki, putro nomer
pinten nggeh?”
Hah? Apa ini
maksudnya? Nomer? Umur kali ya maksudnya? CiLi ke mana sih.... Hiks, bisa mati
kutu klau begini terus. Gilang hanya bisa
meratap dalam hati.
“Saya umur 24 tahun pak.
Insya Allah sudah siap menikah tahun ini. Pekerjaan juga sudah ada.” Gilang
menjawab mantap, di depan mer....eh calon mertua harus kelihatan yakin. Iya
kan?
Ibu dan bapak melongo, saling berpandangan.
“Ini minumnya, maaf ya a’ lama... “ Tiba-tiba CiLi membuka pintu
penghubung ke ruang dalam, ikut bergabung setelah menyajikan teh hangat dan
beberapa camilan di tengah meja.
“Putro nomer pintan, nak...
sanes yuswo ingkang kulo pitakonaken kolo wau....” Sang bapak merasa belum
puas juga bertanya dalam bahasa jawa. CiLi baru menyadari sesuatu, ada yang
salah di sini, lalu melirik Aa Gilang yang wajahnya mulai pucat pasi.
“Bapak, Aa Gilang meniko
mboten saget boso jawi. Tiyang Bandung kok dijak ngendikan basa jawi nggeh
mboten mudeng. Pripun toh bapak niki...” CiLi protes kepada bapaknya,
Gilang hanya bergantian menatap mereka, tetap tak mengerti.
Gilang merasa batu yang menindih tubuhnya beberapa menit yang lalu kini
terbang entah ke mana.
Beginilah kalau cinta beda budaya, beda bahasa, untungnya masih
dalam satu negara.
#ODOPChallenge
#CintaKomedi
#FiksiRealita
#Jangan lupa belajar bahasa jawa sebelum ketemu mertua, ya Aa Gilang.
Goodluck.
#Sengaja tanpa terjemah, yang penasaran artinya bisa tanya orang jawa di sekitar anda.
9 comments:
Hahaha. Apa ini. Fiksi banget
Kalau aku ditanya gitu juga mikir keras. Jawa halus banget haha
Hhaaa... Melas e ram....
Ahahaha tos kang,kira sama2 nggak ngerti.
Baiklah.... Biar pembaca selanjutnya paham setiap dialog..berikut terjemahnya:
Monggo pinarak : silahkan duduk
Kaleh sinten wau saking Bandung? : Sama siapa tadi dari Bandung?
Nak Gilang niki, putro nomer pinteng nggeh? : Nak Gilang ini, anak nomor berapa ya?
Putro nomer pinten nak, sanes yuswo ingkang kulo pitakonaken kolo wau: Anak nomor berapa nak, bukan umur yang saya tanyakan tadi
begitu kira-kira sodara *_*
Wkwkwkwkwk... Bukannya kursus basa jawa dulu ya sebelum ke de cili
Usul, boleh dikumpulin nih tulisan-tulisan tentang A Gil, jadiin buku. 😀
Lucu mba,,,apalagi klo jawanya Tegal Brebes
Bahasa jawanya halus banget... 😍
Post a Comment