Dear PiJe Kelas
Fiksi ODOP baik hati, ramah tamah dan tidak sombong…. Anggaplah ini surat cinta
dari siswa paling bandel di kelas kalian. Duh, rasanya dag dig dug nih. Apa
karena judulnya surat cinta? Ah, cinta memang magis.
Baik, inilah
isi surat cintaku untuk kalian. Semua berawal dari satu hal bernama : alasan.
Kehadiranku di
kelas fiksi sejujurnya berawal dari sebuah kenekatan. Seperti yang salah satu
senior pernah bilang, bahwa aku tidak punya bakat murni sebagai penulis fiksi.
Ya, pernyataan itu tentu saja bukan tanpa dasar. Selama ini aku lebih dianggap
sibuk mengerjakan makalah, paper ilmiah (meski baru tugas mata kuliah, bukan
untuk publikasi), tesis, review jurnal, dan sebagainya. Di blog juga porsi
tulisan fiksi mungkin lebih sedikit jika dibanding dengan tulisan non fiksi,
ya?
Baik, semua
keputusan memang berasal dari alasan.
Meski lebih
sering menulis non fiksi, sejujurnya aku juga penikmat fiksi. Sejak kecil mata
dan otakku lebih mudah tertarik pada teks cerita atau puisi dibanding dengan
berita. Bahkan seingatku waktu kelas lima SD, ayah perlu mengalokasikan waktu
khusus untuk mengajariku membaca berita dengan teknik skimming. Karena saat
itu, aku butuh beberapa kali membaca baru memahami isi artikel dari koran atau
majalah yang kubaca. Berbeda dengan cerpen atau sejenisnya, sekali baca isinya
sudah nempel di kepala.
Hanya karena
kewajiban dewasa inilah yang menuntutku lebih banyak membaca karya non fiksi, sehingga
berdampak pada tulisan-tulisan yang kadang
kubagikan. Anggaplah itu sebagai bagian dari kewajiban menyampaikan amanah
pengetahuan.
Namun rasanya,
ada sebagian jiwa yang hilang akibat jauh dari karya sastra. Kalian boleh
percaya atau tidak, keindahan puisi dan untaian kata sesungguhnya memilliki
unsur magis yang bisa mmperindah atau bahkan merusak estetika suatu jiwa.
Mungkin aku adalah salah satunya. Tanpa sastra, aku merasa kehilangan salah
satu unsur keindahan dalam hidup.
Rasa
kehilangan unsur keindahan itu semakin terasa ketika teringat bahwa aku
memiliki satu naskah novel yang belum terbit. Satu naskah mentah yang baru
jadi, belum bisa dikatakan sempurna sama sekali. Sedangkan di kelas nulis
buku-ODOP, naskah itu pula yang sudah kuajukan untuk diselesaikan di kelas
nulis buku-ODOP, berharap kemudian segera layak terbit dan beredar. Tapi
bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan naskah itu sementara ada unsur yang
hilang dari jiwa penyusunnya?
Karena itulah,
aku memaksakan diri untuk masuk kelas
fiksi. Berharap jiwa imajinasiku segera utuh kembali.
Setelah masuk,
ujian berikutnya datang. Entah do’a yang mana dan keberapa, nasib membawaku
pada kesibukan mengikuti kelas upgreading
TOEFL di Pare. Kelas non fiksi ini dimulai setiap hari senin-jum’at (faktanya
sabtu juga masuk, sih), jam 5.30 pagi dan selesai jam 16.00 sore. Bayangkan
saja, setiap hari! Mulai 11 Desember kemarin hingga 9 Januari besok. Wow! Belum
termasuk tugas yang seolah jadi menu wajib setiap harinya. Rasanya benar-benar
luar biasa. Rutinitas itu harus ditambah dengan jarak tempuh dari rumah tinggal
ke kelas, sekitar 30 menit naik motor kecepatan 50-60 km/jam.
Capek?
Pengennya sih engga.
Tapi buktinya?
Menjelang sesi satu bulan kelas ini, aku tumbang di H-3 dan -4 sebelum kelas
berakhir. Ada saatnya daya tahan tubuh tak bisa ditawar, gengs. Masih untung
sih, aku tidak harus menginap di klinik atau Rumah sakit untuk semua nikmat
sakit ini.
Sementara
kelas fiksi di ODOP, harus terabaikan begitu saja. Tugas harian untuk blog walking saja sering tak bisa
kuselesaikan. Maaf, ya?
Padahal para
PJ sudah berusaha keras membuat setting
kelas yang nyaman dan available untuk
dilaksanakan dengan berbagai kesibukan. Tapi ternyata, masih ada saja yang bandelnya
ngga ketulungan. *Red: aku.
Sementara siswa
yang lain juga sudah berusaha keras memenuhi setiap tantangan, menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan, sementara aku? Terkesan “seenaknya” saja absen di
kelas.
Mungkin ribuan
bahkan jutaan maaf tak akan sanggup menggantikan rasa bersalah yang terlanjur
menjalar dan tumbuh subur dalam setiap kehadiraanku di kelas ini. Maka saat
diminta menulis saran dan kritik untuk keberlangsungan kelas selanjutnya, aku
gelagapan.
Apa yang harus
kutulis? Yang butuh saran dan kritik sesungguhnya bukan kelas ini, tapi aku,
dan mungkin “murid bandel” yang lain, agar lebih tertib mengikuti kelas.
Tapi
sejujurnya, kalau saja aku bisa fokus mengikuti kelas dari awal sampai akhir,
rasanya ingin sekali interaksi lebih intens dengan para pakar, penulis fiksi.
Ya, bukan sharing biasa sekedar memberi materi dan feedback, tapi lebih dari itu, sharing memancing ide dan jiwa
imajinasi yang bisa membuat para siswa agar lebih tak terkendali dalam
berkarya.
Rasanya ingin
sekaali tak kehabisan kata untuk menumpahkan rasa yang memenuhi jiwa. Entah itu
akhirnya berupa cerpen dan sejenisnya, atau puisi dan teman-temannya. Aku ingin
tak bisa berhenti menulis lagi.
(Sudah lebih dari
400 kata, kan? Oke, cukup sekian dan terima angpau)
13 comments:
Siip, terimakasih masukannya Dik. Ini untuk kelas fiksi ke depan ya. Maafkan kalian jadi bahan percobaan. Hiks hiks
Ini ya si anak bandel... hm...
Hahaha jangan berhenti dek kifa, ayo semangat
jewer jewer ...! hahaha ;D
Ayo ganbate!!! semoga selalu sehat ya Kak :)
Di eman" tenaganya mba kifa, hamasah nggh ✊✊
tjemoengoet eaa
Sukses utk semua urusan kaka Kifa.
Hayuklah kita mancing ide. Dari kesibukan kak Kifa itu banyak lho yg bisa dikembangin jadi tulisan. Cemungud! 😘
Semangaaaats mbak. Semoga lelahnya lillah 😘
😍
Semangat kak kifa, kutau kamu bisaaa💖💖
Semangat dek (sejujurnya itu motivasi buat saya juga, yg Krn kesibukan d kantor banyak tugas yg terlalaikan) tp sy syg banget dgn kelas ini sudah huhuhu
Kak kifa, aku baru tau kl harus 400 kata ya. Btw semangat kak.
Post a Comment