Saya suka menulis, tapi tidak
suka menuliskan apapun yang ada di pikiran. Hmm, anehkah?
Semoga tidak. Bukankah tidak
semua yang kita pikirkan harus dibicarakan? Begitu juga dengan tulisan. Tidak
semua hal yang menjadi angan-angan perlu dituang dalam sebuah tulisan. Kita
pasti memiliki pertimbangan masing-masing mengapa sesuatu itu perlu ditulis,
atau cukup disimpan.
Saya pribadi, menulis dan
menyebarkannya lewat media sosial atau blog, adalah ketika menurut beberapa
pertimbangan tulisan itu perlu disebarluaskan. Terlepas tulisan itu fiksi atau
bukan. Jika dirasa ada manfaat yang perlu dibaca orang lain, ya tulis lalu
sebarkan. Tapi jika dirasa tidak perlu orang lain tahu, saya memilih
menyimpannya dengan baik, rapi, sampai sesuatu itu layak dikonsumsi banyak
orang.
Tentang resolusi, seujurnya saya pernah
menyimpan dengan baik lalu berusaha merealisasikannya. Pernah juga menulis
semua keinginan kemudian berusaha merealisasikan rencana demi rencana.
Hasilnya?
Entah kenapa, yang saya tulis
kalah kuat dengan yang saya “batin”. Mungkinkah tulisan saya kurang kuat
mempengaruhi energi positif lalu rencana-rencana itu seolah enggan mewujud
nyata? Atau ada kekuatan lebih dalam hati ketika sesuatu itu sudah demikian
“ter-azzam”, lalu alam begitu saja menuruti apa yang dikatakan oleh hati?
Jujur, saya belum sepenuhnya
memahami kinerja konsep keinginan dan sinkronisasinya dengan nada kehidupan.
Adakalanya sesuatu yang kita inginkan, kemudian kita rencanakan dengan sangat
baik, diiringi dengan usaha dan doa maksimal, akhirnya menguap begitu saja. Ya,
seolah memang sia-sia. Tapi mungkin sesungguhnya tidak demikian. Rencana Tuhan
itu memiliki mekanisme berbeda dengan rencana manusia, bukan?
Adakalanya sesuatu yang saya
inginkan mewujud nyata jauh lebih cepat dari rencana. Namun dalam beberapa hal,
tidak juga terealisasi meski sudah berusaha dan terus berdo’a. Sayangnya, saya
tidak bisa menjadi type manusia pemaksa. Ya, memaksakan kehendak sesuatu itu
harus jadi nyata, misalnya, saya tidak bisa.
Ah, mungkin kamunya aja yang ngga mau, bukan ngga bisa? Bisa jadi
ada yang menilai saya demikian. Tapi sungguh, saya pernah sakit karena
memaksakan diri untuk bisa melampaui sesuatu. Saya harus begini, harus begitu,
harus kuat, harus pintar, harus A, B, C, dan seterusnya. Tak lama kemudian,
tubuh saya tumbang. Saat itulah, saya merasa kematian begitu dekat. Orang tua
saya sampai ketakutan melihat anaknya pucat seolah tak lagi dialiri darah.
Sementara jantung berdegup tidak normal, tubuh mengeluarkan keringat dingin
tanpa henti. Serangan itu diikuti menurunnya tingkat kesadaran, suhu sekujur
tubuh terus menurun, sampai di titik tertentu, rasa mual tak tertahan dan
keluarlah semua yang ada dalam sistem pencernaan, sampai benar-benar habis tak
bersisa. Rasa lemas itu masih menghantui beberapa saat, sehingga saya berhasil
menguasai perasaan dan meyakinkan diri bahwa semua bak-baik saja.
Beberapa jam kemudian, semua
berangsur normal dan kondisi saya pulih seperti sedia kala. Seolah tidak
terjadi apa-apa sebelumnya. Saat rasa sakit itu datang tiba-tiba, saya tak
cukup kuat untuk dibawa kemana-mana, meski hanya ke klinik paling dekat dengan
rumah. Pernah petugas medis dipanggil ke rumah saat seperti itu, beliau bilang
saya hanya kelelahan. Lalu diberinya saya beberapa porsi vitamin dan suplemen
penambah darah. Lalu ketika semuanya sudah kembali normal, saya ragu apakah
masih perlu melakukan pemeriksaan medis? Bagaimana kalau nanti alatnya tak
mampu mendeteksi keanehan yang sudah atau pernah terjadi?
Alhamdulillah, semua itu sudah
jadi masa lalu. Semenjak saya belajar berdamai dengan diri sendiri dan
keinginan demi keinginan yang terbetik dalam hati, rasa sakit itu seolah enggan
datang lagi. Hanya dalam kondisi tertentu ketika saya hendak “memaksakan diri”,
alarm dalam tubuh seolah otomatis berbunyi dan berkata, “Jangan!”. Itu berarti
saya harus benar-benar berhenti.
Jadi, apa resolusi tahun ini?
Bismillahirrohmaanirrohiim….
Untuk tahun ini dan selanjutnya,
saya hanya ingin selalu bisa merasa ikhlas dengan apapun yang sudah terjadi,
dan siap dengan apapun yang akan atau harus terjadi. Bukan berarti saya tidak
menginginkan hal ini atau hal yang bermacam-macam layaknya “manusia normal”
lainnya, hanya saja rasanya akan lebih “pas” ketika satu demi satu rencana itu
sesuai dengan kehendakNya.
Namun demikian, sesungguhnya ada
beberapa poin yang akhir-akhir ini menjadi perhatian. Saya tidak begitu suka
rutinitas dengan durasi yang terlalu panjang, karena sering merasa bosan. Maka saya
menginginkan beberapa kesibukan yang semoga menjadi jalan rizki di tahun ini. Diantaranya
adalah:
1.
Saya
ingin menjadi peneliti. Tentu saja keinginan ini harus menyesuaikan bidang yang
sudah saya tekuni: ekonomi Islam. Ini berarti saya harus banyak membaca dan “dekat”
dengan para pejuang ekonomi Islam. Bismillah, ya.
2. Saya
ingin menjadi pengusaha. Sayang, ide ini belum dapat terealisasi karena saya
belum menemukan komoditas dan bidang yang pas untuk mewujudkan keinginan ini. Tapi
semoga bisa segera, ya.
3. Saya
ingin menjadi mengajar, menjadi dosen, guru, atau apalah sebutannya. Bukankah ilmu
itu baru bisa kita kuasai dengan baik ketika kita menyebarluaskannya?
4. Saya
ingin jadi tukang cerita yang baik. Terlalu tinggi angan-angan menjadi penulis,
rasanya saya takut menyebut penulis sebagai salah sati atribut diri. Lebih baik
dan pas rasanya menjadi “tukang cerita”, dalam rangka mengikuti keinginan hati
yang seering sekali merasa sangat bersemangat ketika mendapat kesempatan
berbagi cerita.
Soal yang mana mau terealisasi
lebih dulu, saya siap. Apa Cuma ini resolusinya? Tentu saja , tidak. Masih ada
keinginan-keinginan lan yang cukup disimpan dalam hati dan terus dingiangkan
dalam do’a-do’a di sepenjang perjalanan.
Menurutmu, apakah aku bisa
mencapai semua itu?
Bismillah, yakin saja, bisa. Cukup
maksimalkan doa dan usaha. Biar Allah yang mengatur sisanya.
1 comments:
Panjang ya tulisannya. Tapi semoga semua mimpimu terwujud dengan memuaskan. Aamiin...
Post a Comment