Thursday, 15 February 2018

Kuliah Pra Nikah

| |


“Mbak sudah menikah?” Entah kenapa pertanyaan itu yang terpilih, bukan yang lain? Pertanyaan pertama ketika Si Bapak baru datang dan oleh karyawan didepan, diarahkan menuju mejaku. Aku terkejut, tapi segera berusaha menguasai hati dari serangan pertanyaan “dadakan” itu.


Pak Nang, entah Namanya Pak Nanang atau Danang, aku tak begitu paham. Hanya ingat beliau minta dipanggil “Pak Nang” saat pertama berkenalan untuk urusan jual beli ini. Obrolan kami jadi berlanjut seputar pernikahan. Sebagai junior, aku memilih takzim mendengarkan.

“Kapan mau nikah, rencana?” Aku sedikit gelagapan dengan pertanyaan ini. Lalu menahan senyum.

“Sudah ada calon?” Aku menggeleng. Beliau mengernyitkan dahi. “Sudah ada target, tapi belum ada calon?” Aku benar-benar ingin tertawa, sebenarnya. Tapi masih kutahan, jadilah senyum ngga jelas. “Bismillah, tawakkaltu ‘alallah, Pak.” Bapak itu mengangguk. Berusaha paham, tapi kurasa tidak juga. ini terbukti dengan pertanyaan berikutnya, “Tapi sudah ada pandangan?” Ah, kalau saja bisa memilih untuk tidak menjawab dan sok cuek, aku memilih diam. Tapi diamnya gadis, tetap saja berarti “ya”. Sedangkan kau tahu, kan. Aku tak bisa menjawab “tidak”.

Bagaimana mungkin kujawab tidak, ketika bayangan seseorang begitu tegas tergambar dalam kepala dan larut dalam do’a-do’a? sosok yang belum pernah kutemui namun tergambar jelas. Meski kenyataannya jauh dari kata “jelas”. Ya, anggaplah sosok yang sering kuceritakan dalam tulisan ini dan sebelumnya, adalah tokoh fiksi yang berhasil kuciptakan dan siap berperan seperti yang kuminta, dalam dunia imajinasi.

“Oke, kalau sudah ada pandangan. Berarti semacam… ta’aruf begitu ya? Saling mengenal, berusaha memahami kelebihan dan kekurangan? Nah, misal nanti setelah proses ta’aruf terus ngga ada rasa suka, bagaimana?”

Aku menarik nafas panjang. Menghembuskannya pelan-pelan, “Pak, kalau sudah mulai taaruf itu berarti ada kemungkinan suka. Makanya diteruskan ke proses perkenalan. Kalau ngga ada sama sekali, ya ngga perlu taaruf. Cukup sekedar tahu, selesai urusannya.” Aku menjawab tenang. Pak Nang tersenyum.

“Apa ada, zaman sekarang, orang-orang yang terjaga dalam proses bernama taaruf?” Pertanyaan retoris. “Sejujurnya, sulit pak. Menemukan orang-orang yang tidak tergerus arus zaman dan mengikuti tren pacarana untuk menemukan cinta sejati, itu sulit. Tapi bukan berarti tidak ada, kan?” Pak Nang mengangguk setuju.

“Oke, saya beritahu satu fakta: bahwa sesungguhnya, hasil ta’aruf sedalam apapun, selama apapun, akan sia-sia. Ngga aka nada artinya setelah pernikahan. percaya?” Aku mengernyitkan dahi, berusaha mengerti.

“Mau taaruf model apa? Lelaki sebenarnya cari apa untuk memilih wanita sebagai istri? Apakah bercadar jaminan agama dan kesehariannya akan baik? Siapa yang bisa menjamin seorang lelaki tidak akan berpikir untuk poligami? Saya sering mengamati, mencari tahu, belajar, membaca peristiwa dan banyak kejadian, kenapa ada orang yang sudah rumah tangga, sering bertengkar, akhirnya cerai. Atau kenapa sebuah rumah tangga selalu ada perselisihan setiap hari? Padahal kedua suami istri bukan orang bodoh. Bahkan mereka berpendidikan. Iya kan?”

Aku mengangguk takzim, siap mendapat curahan ilmu pagi ini. Saat “gelasku” masih kosong. “Tak seorangpun bisa menjamin atau menerka ujian ketika berumah tangga, ya pak?” Tanyaku polos.

Pak Nang menggeleng, “Ada tiga hal yang harus dimiliki seorang istri, dan satu hal yang harus mutajasad (merasuk dalam jiwa, sebagai karakter) seorang suami. Tiga hal ini akan memunculkan yang satu. Kemudian yang satu itu akan tumbuh menaungi ketiga hal yang dimiliki istri. Tiga dan satu hal ini kunci agar rumah tangga itu kuat, sakinah, mawaddah, warohmah sampai akhirat. Lelaki ngga akan berpikir untuk poligami, kalau istrinya bisa menjalankan ketiga kunci itu sekaligus” Aku menautkan kedua alis, berusaha mencerna penjelasan Pak Nang, namun gagal. Tiga hal? Satu milik suami? Apa itu?

“Berarti, muara pondasi rumah tangga itu berasal dari istri, pak?” Tanyaku sambil membayangkan peragaan tangan Pak Nang yang seperti dosen sedang menjelaskan.

“Tepat. Makanya, itulah mengapa betapa penting seorang lelaki memilih perempuan yang tepat sebagai istri. Mulai dari pandangan mata yang menyenangkan, hingga karakter yang tidak perlu diragukan.” Pak Nang menjelaskan dengan penuh perhatian, seserius ekspresiku menyimaknya.

“Baik, apa saja itu pak?” Aku penasaran. Kecerdasan? Pestasi? Penampilan fisik? Bekal kekayaan sebelum menikah?

“Apa sih yang membuat hidup kita tenang, bahagia? Mobil? Gaji tinggi? Saya pikir tidak. Berapa banyak orang yang justru gelisah, tidak tenang hidupnya meski bergelimang kekayaan? Setiap orang masih saja bisa menemukan kekurangan dan kesalahan orang lain kalau masing-masing tidak menyadari dirinya sendiri ”

“Menyadari diri sendiri? bahwa setiap orang punya kekurangan, tidak ada yang sempurna, begitu Pak?” Tanyaku. Pak Nang menggeleng.

“Setiap orang yang menikah itu perlu menyadari kodrat masing-masing. Istri harus punya tiga hal utama: Sabar, Manut, Nerima.” Aku membulatkan mata.

“Seorang suami harus punya satu hal, yang itu, biasanya otomatis terwujud ketika istri sudah memiliki ketiga hal tadi: Syukur.” Aku mengangguk sok paham. Sementara Pak Nang melanjutkan penjelasan. Tak terasa, sepuluh menit sudah berlalu, bahkan kami belum mulai menyelesaikan urusan bisnis. Biarlah, mumpung sales lain belum datang. Kesempatan nih, kuliah bab pernikahan, gratis. Gurunya datang sendiri pula, tanpa sengaja.

“Sabar. Jadi istri itu harus sabar. Misal suaminya bilang: mah, maaf aku kehilangan pekerjaan. Sabar ya? Atau misal: Mah, penghasilanku Cuma segini. Sabar ya? Atau dapat ujian, apapun itu, istri yang sabar akan dapat menguatkan suaminya. Percaya deh.” Pak Nang tersenyum meyakinkan. Seolah percaya bahwa aku bsia sesabar itu nanti.

“Manut. Nurut sama suami. Apapun yang suami perintah, selama tidak melanggar hukum Allah, wajib hukumnya bagi istri untuk menurut tanpa membantah. Kalau ngga sependapat? Sampaikan dengan cara yang baik. Jangan pernah menhancurkan kepercayaan suami dengan cara sendiri. misal nikung  dari belakang soal uang belanja, atau hal-hal lain. Komunikasikan saja baik-baik, suami pun harus bisa menyikapi dan memperlakukan istri dengan cara yang baik. Seberat apapun untuk dituruti, pastikan dasarnya benar: hukum Allah. Diminta setrika? Yasudah, laksanakan. Suami minta pijit, masakan, apapun itu, turuti. Putuskan untuk menuruti apa kata suami meskipun berat di hati, selama tidak ada hukum Allah yang dilanggar.” Aku mengangguk, tak bisa mengalihkan perhatian pada hal lain. Diam-diam mencatat dan jadilah tulisan ini.

“Ketiga, nerima. Apapun yang diberi suami, terimalah. Apapun yang diminta, berikanlah. Selelah apapun, ketika suami meminta, jangan pernah ditolak. Sekali saja lelaki itu ditolak, dia akan mampu berpikir untuk mencari pengganti. Kalau istri sudah sabar, nurut, nerima, suami akan berpikir berulang kali dan akan sampai pada kesimpulan tidak akan mencari pengganti. Kalaupun pikiran itu muncul, nanti akan dipupusnya sendiri. buat apa cari wanita lain, kalau yanga da di hadapan sudah melebihi ekspektasi?” Pak Nang mengangguk, sekali lagi meyakinkan. Bisa apa aku menanggapi petuah seorang bapak dan senior dalam dunia pernikahan?

“Tapi itu juga tergantung pada sosok lelakinya. Apakah sudah cukup siap menjadikan ketiga prinsip yang dimiliki sang istri itu sebagai wujud syukur? Maka jangan pernah salah menerima calon imam dunia akhirat. Ya?”

Perbincangan kami berpindah soal sejarah, dan kemudian beralih ke bisnis. Urusan tagihan dan order itu tujuan utama Pak Nang datang ke sini. Waktu order, beliau kubiarkan sendiri. tapi nanti kalau kiriman melebih stok yang ada, sudah pasti ada item yang harus kucoret dari daftar belanja. Hihi… sampai jumpa 


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©