“Mbak sudah
menikah?” Entah kenapa pertanyaan itu yang terpilih, bukan yang lain? Pertanyaan
pertama ketika Si Bapak baru datang dan oleh karyawan didepan, diarahkan menuju
mejaku. Aku terkejut, tapi segera berusaha menguasai hati dari serangan
pertanyaan “dadakan” itu.
Pak Nang, entah
Namanya Pak Nanang atau Danang, aku tak begitu paham. Hanya ingat beliau minta
dipanggil “Pak Nang” saat pertama berkenalan untuk urusan jual beli ini.
Obrolan kami jadi berlanjut seputar pernikahan. Sebagai junior, aku memilih
takzim mendengarkan.
“Kapan mau
nikah, rencana?” Aku sedikit gelagapan dengan pertanyaan ini. Lalu menahan
senyum.
“Sudah ada
calon?” Aku menggeleng. Beliau mengernyitkan dahi. “Sudah ada target, tapi
belum ada calon?” Aku benar-benar ingin tertawa, sebenarnya. Tapi masih
kutahan, jadilah senyum ngga jelas. “Bismillah, tawakkaltu ‘alallah, Pak.”
Bapak itu mengangguk. Berusaha paham, tapi kurasa tidak juga. ini terbukti
dengan pertanyaan berikutnya, “Tapi sudah ada pandangan?” Ah, kalau saja bisa
memilih untuk tidak menjawab dan sok cuek, aku memilih diam. Tapi diamnya
gadis, tetap saja berarti “ya”. Sedangkan kau tahu, kan. Aku tak bisa menjawab
“tidak”.
Bagaimana
mungkin kujawab tidak, ketika bayangan seseorang begitu tegas tergambar dalam
kepala dan larut dalam do’a-do’a? sosok yang belum pernah kutemui namun
tergambar jelas. Meski kenyataannya jauh dari kata “jelas”. Ya, anggaplah sosok
yang sering kuceritakan dalam tulisan ini dan sebelumnya, adalah tokoh fiksi
yang berhasil kuciptakan dan siap berperan seperti yang kuminta, dalam dunia
imajinasi.
“Oke, kalau
sudah ada pandangan. Berarti semacam… ta’aruf begitu ya? Saling mengenal,
berusaha memahami kelebihan dan kekurangan? Nah, misal nanti setelah proses
ta’aruf terus ngga ada rasa suka, bagaimana?”
Aku menarik
nafas panjang. Menghembuskannya pelan-pelan, “Pak, kalau sudah mulai taaruf itu
berarti ada kemungkinan suka. Makanya diteruskan ke proses perkenalan. Kalau
ngga ada sama sekali, ya ngga perlu taaruf. Cukup sekedar tahu, selesai
urusannya.” Aku menjawab tenang. Pak Nang tersenyum.
“Apa ada, zaman
sekarang, orang-orang yang terjaga dalam proses bernama taaruf?” Pertanyaan
retoris. “Sejujurnya, sulit pak. Menemukan orang-orang yang tidak tergerus arus
zaman dan mengikuti tren pacarana untuk menemukan cinta sejati, itu sulit. Tapi
bukan berarti tidak ada, kan?” Pak Nang mengangguk setuju.
“Oke, saya
beritahu satu fakta: bahwa sesungguhnya, hasil ta’aruf sedalam apapun, selama
apapun, akan sia-sia. Ngga aka nada artinya setelah pernikahan. percaya?” Aku
mengernyitkan dahi, berusaha mengerti.
“Mau taaruf
model apa? Lelaki sebenarnya cari apa untuk memilih wanita sebagai istri?
Apakah bercadar jaminan agama dan kesehariannya akan baik? Siapa yang bisa
menjamin seorang lelaki tidak akan berpikir untuk poligami? Saya sering
mengamati, mencari tahu, belajar, membaca peristiwa dan banyak kejadian, kenapa
ada orang yang sudah rumah tangga, sering bertengkar, akhirnya cerai. Atau
kenapa sebuah rumah tangga selalu ada perselisihan setiap hari? Padahal kedua
suami istri bukan orang bodoh. Bahkan mereka berpendidikan. Iya kan?”
Aku mengangguk
takzim, siap mendapat curahan ilmu pagi ini. Saat “gelasku” masih kosong. “Tak
seorangpun bisa menjamin atau menerka ujian ketika berumah tangga, ya pak?”
Tanyaku polos.
Pak Nang
menggeleng, “Ada tiga hal yang harus dimiliki seorang istri, dan satu hal yang
harus mutajasad (merasuk dalam jiwa,
sebagai karakter) seorang suami. Tiga hal ini akan memunculkan yang satu.
Kemudian yang satu itu akan tumbuh menaungi ketiga hal yang dimiliki istri.
Tiga dan satu hal ini kunci agar rumah tangga itu kuat, sakinah, mawaddah,
warohmah sampai akhirat. Lelaki ngga akan berpikir untuk poligami, kalau
istrinya bisa menjalankan ketiga kunci itu sekaligus” Aku menautkan kedua alis,
berusaha mencerna penjelasan Pak Nang, namun gagal. Tiga hal? Satu milik suami?
Apa itu?
“Berarti, muara
pondasi rumah tangga itu berasal dari istri, pak?” Tanyaku sambil membayangkan
peragaan tangan Pak Nang yang seperti dosen sedang menjelaskan.
“Tepat. Makanya,
itulah mengapa betapa penting seorang lelaki memilih perempuan yang tepat
sebagai istri. Mulai dari pandangan mata yang menyenangkan, hingga karakter
yang tidak perlu diragukan.” Pak Nang menjelaskan dengan penuh perhatian, seserius
ekspresiku menyimaknya.
“Baik, apa saja
itu pak?” Aku penasaran. Kecerdasan? Pestasi? Penampilan fisik? Bekal kekayaan
sebelum menikah?
“Apa sih yang
membuat hidup kita tenang, bahagia? Mobil? Gaji tinggi? Saya pikir tidak.
Berapa banyak orang yang justru gelisah, tidak tenang hidupnya meski
bergelimang kekayaan? Setiap orang masih saja bisa menemukan kekurangan dan
kesalahan orang lain kalau masing-masing tidak menyadari dirinya sendiri ”
“Menyadari diri
sendiri? bahwa setiap orang punya kekurangan, tidak ada yang sempurna, begitu
Pak?” Tanyaku. Pak Nang menggeleng.
“Setiap orang
yang menikah itu perlu menyadari kodrat masing-masing. Istri harus punya tiga
hal utama: Sabar, Manut, Nerima.” Aku membulatkan mata.
“Seorang suami
harus punya satu hal, yang itu, biasanya otomatis terwujud ketika istri sudah
memiliki ketiga hal tadi: Syukur.” Aku mengangguk sok paham. Sementara Pak Nang
melanjutkan penjelasan. Tak terasa, sepuluh menit sudah berlalu, bahkan kami
belum mulai menyelesaikan urusan bisnis. Biarlah, mumpung sales lain belum
datang. Kesempatan nih, kuliah bab pernikahan, gratis. Gurunya datang sendiri
pula, tanpa sengaja.
“Sabar. Jadi
istri itu harus sabar. Misal suaminya bilang: mah, maaf aku kehilangan
pekerjaan. Sabar ya? Atau misal: Mah, penghasilanku Cuma segini. Sabar ya? Atau
dapat ujian, apapun itu, istri yang sabar akan dapat menguatkan suaminya.
Percaya deh.” Pak Nang tersenyum meyakinkan. Seolah percaya bahwa aku bsia
sesabar itu nanti.
“Manut. Nurut
sama suami. Apapun yang suami perintah, selama tidak melanggar hukum Allah,
wajib hukumnya bagi istri untuk menurut tanpa membantah. Kalau ngga sependapat?
Sampaikan dengan cara yang baik. Jangan pernah menhancurkan kepercayaan suami
dengan cara sendiri. misal nikung dari belakang soal uang belanja, atau hal-hal
lain. Komunikasikan saja baik-baik, suami pun harus bisa menyikapi dan
memperlakukan istri dengan cara yang baik. Seberat apapun untuk dituruti,
pastikan dasarnya benar: hukum Allah. Diminta setrika? Yasudah, laksanakan.
Suami minta pijit, masakan, apapun itu, turuti. Putuskan untuk menuruti apa
kata suami meskipun berat di hati, selama tidak ada hukum Allah yang
dilanggar.” Aku mengangguk, tak bisa mengalihkan perhatian pada hal lain.
Diam-diam mencatat dan jadilah tulisan ini.
“Ketiga, nerima.
Apapun yang diberi suami, terimalah. Apapun yang diminta, berikanlah. Selelah
apapun, ketika suami meminta, jangan
pernah ditolak. Sekali saja lelaki itu ditolak, dia akan mampu berpikir untuk
mencari pengganti. Kalau istri sudah sabar, nurut, nerima, suami akan berpikir
berulang kali dan akan sampai pada kesimpulan tidak akan mencari pengganti.
Kalaupun pikiran itu muncul, nanti akan dipupusnya sendiri. buat apa cari
wanita lain, kalau yanga da di hadapan sudah melebihi ekspektasi?” Pak Nang
mengangguk, sekali lagi meyakinkan. Bisa apa aku menanggapi petuah seorang
bapak dan senior dalam dunia pernikahan?
“Tapi itu juga
tergantung pada sosok lelakinya. Apakah sudah cukup siap menjadikan ketiga
prinsip yang dimiliki sang istri itu sebagai wujud syukur? Maka jangan pernah
salah menerima calon imam dunia akhirat. Ya?”
Perbincangan
kami berpindah soal sejarah, dan kemudian beralih ke bisnis. Urusan tagihan dan
order itu tujuan utama Pak Nang datang ke sini. Waktu order, beliau kubiarkan
sendiri. tapi nanti kalau kiriman melebih stok yang ada, sudah pasti ada item
yang harus kucoret dari daftar belanja. Hihi… sampai jumpa
0 comments:
Post a Comment