“Ki, kamu bisa
baca karakter seseorang?” Tanya kakak, usai kami diskusi sedikit panjang malam
itu. Sudahlah, jangan berprasangka. Sekedar diskusi untuk meringankan beban
pikiran, tak lebih.
“Aku sering
pakai intuisi,” jawabku tak lama kemudian. “Biasanya kuat pada pertemuan
pertama.” Lanjutku.
Memang, sering
kali pada pertemuan pertama, aku menyerap begitu banyak energi lawan bicara,
beberapa diantaranya akan menjelaskan sosok yang ada di hadapanku. Aku bisa
merasakan kejanggalan jika seseorang yang kuhadapi memiliki potensi tidak baik,
rasa tidak nyaman berada di dekatnya pasti langsung menjalar begitu saja.
Terutama jika “potensi tidak baik” itu melanggar prinsip dan akan sulit
kumaafkan.
Awalnya aku
mencoba tak peduli. Tapi pengalaman beberapa kali membuatku berpikir ulang,
“Apa ini cuma kebetulan? Atau memang pertanda yang harus kuperhatikan?”
Pernah saat
menempuh Pendidikan berasrama, aku sekamar dengan seorang kawan. Awal
berkenalan dengannya, ada rasa tidak nyaman yang menyelinap. Tapi berusaha
kuabaikan. Perkenalan kami berjalan normal, kehidupan seasrama berjalan
baik-baik saja. Meski rasa janggal itu kian nyata terasa, aku berusaha
menepisnya karena secara kasat mata, aku melihat dia sebagai sosok yang baik,
alim, berasal dari keluarga baik-baik. Sejauh yang kukenal, dia menjaga diri
dari pergaulan dengan kaum lelaki. Bahkan ketika ada kawan kampus yang
mendekatinya dan dia tidak berkenan, dia memintaku untuk melakukan penolakan
secara baik-baik. Ah, maafkan aku.. jika seseorang itu membaca tulisanku ini.
(Maaf, menggiringmu dalam situasi yang benar), karena pada akhirnya, aku
bersyukur telah berani membantunya menolak, meski hanya lewat surat.
Apa yang
terjadi? Akan ada saat yang tepat menunjukkan pribadi asli seseorang, aku
percaya itu. Entah “saat yang tepat” itu terjadi di awal perkenalan, atau
setelah berlama-lama.
Di akhir masa
studi, aku mendapati gadis itu tak perawan lagi. Tak perlu kuceritakan detil
proses mengetahui kebenaran itu. Yang pasti, aku tidak mengada-ada meski
awalnya sempat tak percaya dan ingin benar-benar tak percaya. Sayang, itu
fakta. Parahnya lagi, tak lama kemudian dia mengakui semuanya, dengan kesan
yang kutangkap: tidak ada penyesalan telah melalui semua itu.
Rasa hati yang
teriris, kepercayaan yang hancur berkeping-keping, benci yang teramat sangat,
langsung menyeruak begitu saja. Lebih perih dari mengetahui seorang sahabat
yang sejak awal sudah tidak karuan pribadinya, ketimbang mengetahui apa yang
kuanggap sebagai kebenaran selama ini ternyata fatamorgana semata.
Lagi, pernah aku
berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman ketika kenal dengan seseorang. Semua
berjalan wajar, aku tidak terlalu dekat, meski tidak juga terlalu jauh menjaga
jarak. Hingga suatu saat, dia menawarkan bantuan, kuterima begitu saja.
Kujelaskan situasi yang kuhadapi baik-baik, termasuk jadwal beberapa hal yang
harus sudah harus kulaksanakan karena ikatan. Singkatnya, pertolongan yang dia
tawarkan bentrok jadwal dengan kegiatan yang sudah kujelaskan sebelumnya.
Sampai selesai acara, aku belum sadar apa yang terjadi sebenarnya karena tak
ada kabar.
Akhirnya, kuberanikan diri bertanya atas kelanjutan janjinya untuk
menolong. Dia mengirim SS percakapan dengan pihak lain yang juga membantuku
untuk mendapatkan sebuah posisi. Dari percakapan itulah akhirnya aku paham,
namaku sudah menjadi semacam taruhan. Akibat aku lebih memilih agenda lain
(yang sudah kujelaskan sebelumnya), posisi yang dijanjikan untukku, harus
kurelakan pergi tanpa emosi. Ya ,untuk apa lagi emosi? Percuma. Meski sulit
ingatanku menghapus detil percakapan mereka yang menjadikan namaku dalam posisi
paling salah, aku telah memaafkan. Juga untuk sahabat yang rela kehilangan
keperawanan yang terbungkus pesona menawan seorang muslimah, aku tak ingin
menyakiti diri dengan menyesali perkenalan.
Setelah itu, aku
selalu berhati-hati dan menajamkan intuisi. Jika ada sesuatu yang janggal,
segera kuhindari kedekatan atau urusan penting dengan sosok tersebut.
Di sisi lain,
intuisiku bisa mengabarkan kebaikan sebuah pribadi. Pernah ada perkenalan lewat
dunia maya yang berujung pada pertemuan. Sejak awal jelas, dia menganggapku
sahabat, begitu pula sebaliknya. Usai sebuah acara, kubiarkan dia menjemput dan
kami pergi makan. Saat itu dia bertanya, “Kenapa kamu bisa percaya aku? Ngga
takut, kuculik atau kuapakan misalnya? Kita kan baru ketemu?”
Aku hanya
tersenyum, “Kata hatiku, kamu baik, dan aku percaya itu. Kalaupun ada sesuatu,
aku tahu harus bagaimana. Kan aku pernah belajar silat.” Jawabku enteng. Dia
terkekeh. Sampai sekarang, dia menjadi teman yang baik, meski taka da lagi
pertemuan setelah itu.
Menajamkan
intuisi, kurasa penting dan harus kulakukan dengan banyak melatih diri sendiri.
mengenali orang lain, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga berguna
untuk melindungi orang-orang yang kita sayangi. Bukankah semakin diasah, naluri
kita semakin waspada membentuk tameng diri?
Intuisi berguna
tidak hanya untuk mengenali pribadi, tapi juga untuk menajamkan naluri bisnis,
menghindari kerugian atau bahaya masa depan, sehingga kita bisa antisipasi apa
yang akan terjadi selanjutnya.
1 comments:
Stelah mba kifa jabarkan, kok persis critanya ya. Crita ttg sahabat, bisnis, dan pertemuan itu...
Post a Comment