Senja telah lama berlalu. Maghrib sudah kutunaikan, tinggal menunggu isya' dengan tilawah. Ini indah, beginilah seharusnya hidup. Menunggu waktu shalat yang satu dengan shalat berikutnya dengan kegiatan yang tetap dalam koridor ibadah.
Tilawahku belum usai, hingga panggilan telepon memaksa untuk menutup kitab suci dan melihat siapa yang memanggil: ibu.
"Ki, sudah tahu berita, di FB barangkali, atau ada yang ngabari?" Suara ibu terdengar tegang usai menjawab salamku.
"Ada apa?" Sahutku tak mengerti.
"Maidah meninggal tadi sore. Kakinya kesetrum dinamo mesin jahit." Suara ibu masih bergetar. "Innalillahi wa Inna ilaihi roji'uun..." Lirihku. Keindahan suasana menjelang malam berganti duka sedetik kemudian.
Maidah adalah tetangga kami, kakak kelasku, selisih tiga atau empat tahun dariku. Putrinya dua, yang kecil belum lulus MI.
Begitu cepat maut menyapanya, menunaikan kewajiban dari pemilik semesta, membawanya meninggalkan dunia yang fana. Ini kejadian beberapa hari yang lalu.
Kemarin sore, kita baca kabar seorang sastrawan Indonesia, Danarto, mengalami luka parah di bagian kepala akibat kecelakaan, setelah ditabrak pengendara motor saat menyeberang. Semalam, kabar bahwa beliau meninggal tersebar. Begitu cepat maut mendekat, seolah waktu tak pernah memiliki sekat.
Kematian, adalah sebuah kepastian yang dijanjikan oleh sang pemilik kehidupan. Siapakah kita, bisa menerka kapan ia kan datang menyapa?
Semalam, saat jam menunjuk angka 21.20, aku menuju kamar mandi yang ada di luar rumah. Niatnya mau membersihkan diri, persiapan istirahat malam. Yah, meskipun tidur biasa di atas jam 22.30, yang penting sudah siap tidur sejak sore.
Lampu luar menyala remang-remang. Padahal biasanya lampu teras belakang dan satu lampu neon dekat pintu ke kebun menyala terang. Mungkin sore ini tak seorangpun sempat menyalakan lampu luar, atau lupa. Aku melangkah dari pintu belakang tanpa prasangka.
Dari pintu, ada teras dan sumur sebelum aku sampai ke depan kamar mandi. Ada dua kamar mandi, sebelah barat tanpa toilet dan sebelah timur plus toilet. Kamar mandi itu ada di sebelah timur rumah.
Aku sudah biasa keluar masuk rumah saat malam, bahkan meski kondisi gelap sekalipun, aku tidak takut. Sampai di samping sumur, mataku sudah menuju depan kamar mandi. Di pintu kamar mndi sebelah barat, ada sesuatu berbentuk bulat, panjang, berwarna hitam belang krem.
Dalam hati sempat bertanya, benda apa ya yang ditaruh ibu disitu, berwarna begitu? Tapi otakku tak kunjung menemukan jawaban, jadi langkah kuteruskan. Sampai tepat di depan pintu kamar mandi barat, baru kuperhatikan benar benda apakah itu.
Kutelusuri benda bulat panjang berwarna belang di depanku, besarnya kira-kira seukuran pergelangan tanganku, terus mngecil sampai di ujungnya yang runcing, baru otakku sadar: ular!!
Sedetik kemudian kakiku gemetar. Mau lari, takut kepalanya yang ada di dalam kamar mandi keluar dan menyerang ku. Rasanya ingin sekali menangis. Tapi itu berarti sama saja aku menyerah dan memilih mati. Instingku mengatakan ular ini berbisa, karena gerakannya yang tenang adalah salah satu ciri ular berbisa.
Sekuat hati kukumpulkan tenaga, kuangkat satu kaki dalam diam, sebelum mulutku tak tahan berteriak: "Ayaaaahhhh.....ulaarrr!" Kudengar ular itu mendesis, menyemprotkan bisa entah kemana. Kurasa dia sadar, ada lawan di dekatnya.
Ingin sekali aku berlari cepat, tapi berbalik badan berarti ada sumur di depanku, terpaksa kuambil langkah memutar. Waktu terasa sangat lama untuk melarikan diri saat itu. "Ayaahhh.... Ada ular besarrr!!"
Aku terus berlari menuju pintu rumah. Ibu yang mendengar suaraku tanggap, langsung mencari senter dan kami bergegas keluar. "Di mana?" Ayah tetap berusaha tenang. Tapi giginya gemeletuk, menahan kepanikan.
"Itu, yah..." Ujarku masih gemetar, menunjuk pintu kamar mandi. Ular itu mulai masuk kamar mandi. Panjangnya sekitar 1.5 meter, belang hitam-krem, tampak tenang menggeliat menyisir lantai kamar mandi. "Rojong, ambilkan!" Perintah ayah. Ibu berputar, namun dua detik kemudian berhenti. "Rojongnya kan di timur rumah semua?" Maksud ibu, di sebelah timur dapur yang saat itu gelap. Tak mungkin mengambil kesana.
Senter itu tetap menyorot ular yang perlahan menuju lubang pembuangan air, mengarah ke kebun. Aku masih takut, tapi niat ke kamar mandi tak bisa diurungkan. Ayah menyuruhku memakai kamar mandi dalam, tapi aku tak mau. Lalu kuminta ibu menemani di sumur sampai selesai.
"Sudah pergi, dia ga mungkin kembali." Kata ibu. Tapi rasa takutku masih kuat dalam hati. "Itu ular weling." Kata ayah.
Usai dari kamar mandi, kucari informasi tentang ular weling. Ternyata dia adalah salah satu ular berbisa yang mematikan. Apa jadinya jika kepalanya yang ada di luar ketik aku mendekat? Sudah pasti, minimal terkena bisa atau dicabiknya. Lalu racun itu menyerang pernafasan, tekanan darah dan sistem syaraf tubuhku.
Kemungkinan terburuknya adalah: Sakifah hanya meninggalkan nama hari ini. Aku bergidik ngeri membayangkan jika itu terjadi.
Tapi rupanya belum, Allah masih memberiku kesempatan menyapa dunia, menemui orang-orang hebat di kemudian hari, membahagiakan orang tua, juga -mungkin- menikah. Rasa syukur membuatku terharu, atas kesempatan waktu, juga kesempatan berbagi cerita denganmu.
Meski ia begitu dekat, sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi, kita tak pernah tahu kapan maut menampakkan diri, menjemput kita menuju kehidupan hakiki, dan menyudahi perjalanan di dunia ini. Yang perlu kita tahu hanya kenyataan bahwa: setiap kesempatan harus kita manfaatkan sebaik mungkin untuk kebaikan demi kebaikan. Semoga ketika maut datang menyapa, hidup kita di dunia fana berakhir dengan kebaikan pula.
8 comments:
Sudahkah kita bersiap menyambut takdir itu?
#tulisan ini pengingat banget buat diriku
Rojong?
Ketika mati kita dikenang sbg apa?
Allahu Rabbi.. Serem banget kak kifa ... Hari ini aku hampir kecelakaan di depan rumah sendiri gara2 beberapa anak SD yang naik motor kencang sekali.. Padahal jalan depan rumah rusak berlubang gitu... Alhamdulillahnya masih sama2 diselamatkan...
Yaampun.. pengalaman yg sangat berharga, merasa dekat dengan kemarian 😢 terimakasih udah nulis ini mba, jadi pengingat juga buat saya🙏
Semoga yg sudah meninggal dunia ditempatkan di surga-Nya. Kematian bukan untuk ditakuti tapi untuk kita persiapkan.masyaallah, Terimkasih mbk sakifah sdh mngingtkan kita. Aku merinding dengan cerita ular ituuuuu.
Semakin menua saya juga benar2 menyadari hal ini mbak Saki. Hari2 yang ada pertolonganNya. Terus mewek ...
Hakikatnya kita sedang antri menuju gerbang kematian..
Semakin sadar diri bahwa diri ini masih sangat Kotor.
Oot...selesai sholat mendapat telepon dari ibu, saya pikir tinggal sendiri. Di bagian tengah kok muncul sosok ibu lagi ya( kepo dan bingung saja)...:)
Post a Comment