Monday, 2 April 2018

Silakan Mengenalku

| |


Bagiku, mendeskripsikan diri sendiri itu sulit. Mungkin karena aku belum bisa konsisten dan fokus pada karakter atau profesi tertentu.
Sehingga menyebut diri sebagai seorang  itu sulit. Lalu sekarang, salah satu tugas kelas non fiksi adalah menulis tentang diri sendiri. Mau tak mau, aku harus berusaha menyelesaikannya.

Pertama, dimulai dari nama panggilan. Nama lengkap yang tertera di dokumen formalku singkat, hanya terdiri dari tiga suku kata: Sakifah. Jangan coba bandingkan aku dengan baby zaman now yang selain orang tuanya suka memberi nama panjang, juga ribet diucapkan.

 Namaku simple, mudah pengucapannya, kan? Dari yang singkat itu, aku menerima banyak nama panggilan:

1. Kiki / dek kiki. Tanpa tambahan huruf k di belakangnya. Diambil dari suku kata tengah namaku, tentu saja. Hanya keluarga, kerabat dekat, dan teman masa kecil yang suka memanggiku demikian. Khusus untuk panggilan dek Kiki, ini laris di lingkungan tanah kelahiran: Gunungkidul Handayani, termasuk anggota keluarga  dan tetangga yang lebih dewasa dariku.

Ada juga yang lebih suka memanggilku sesingkat mungkin: Ki. Entah maksudnya apa, antara nanggung ingin kenal dekat atau karena pernah kutegur setelah berulang kali memanggilku dengan sebutan: Ka. Mungkin maksudnya Kak, tapi siapa yang suka menjadi teman dekat lalu dipanggil dengan panggilan macam orang baru kenalan di jalan?

2. Ifah. Murid-murid di SDIT dan seluruh dewan guru suka memanggilku demikian: ust.Ifa, teman-teman kuliah di UIN Suka juga suka memanggil demikian, dengan predikat mbak.

3. Kiko. Hanya teman-teman asrama MJ yang suka memanggilku begitu. Antara menggemaskan dan lucu, begitu kira-kira. Namaku jadi sasarannya, tak mengapa. Kuanggap itu sebagai panggilan yang muncul karena rasa sayang tak terbilang. Hehe, ya ngerasa disayang aja sama teman seangkatan yang usianya lebih dewasa. Jadi adik bagi mereka itu menyenangkan, sungguh.

4. Kif. Beberapa senior lebih suka memanggilku demikian. Terasa spesial, dan unik. Beberapa orang dari anggota komunitas penulis juga suka memanggilku begitu, atau sedikit lebih panjang: Kifa. Ngga pasaran, kan?

5. Sa, ini panggilan orang-orang yang ingin kuanggap beda dengan yang lain. Sedikit janggal, tapi tetap saja aku tak bisa menolak karena itu juga bagian dari namaku.

6. Saki. Dua suku kata terdepan dari nama lengkapku kini jadi sasaran. Teman-teman ODOP banyak yang suka memanggil demikian. Meski katanya panggilan ini dalam Bahasa daerah di tanah borneo artinya sedikit kurang menyenangkan, itu memang bagian dari namaku. Apa iya mau ditolak hanya karena artinya kurang cocok di daerah tertentu?

Lagi pula, aku tidak sedang hidup di sana, jadi tidak sedang membangun persepsi yang salah soal nama kan? Biarlah, yang suka memanggil demikian, asal mereka bahagia dan jadi teman yang baik bagiku.

8. Ii, hanya ayah yang suka memanggil begitu. Kalau sedang merayu, bercanda atau lagi  sayang banget aja. Tapi kalau sedang serius, ayah lebih suka memanggil anak gadisnya dengan Kiki. Kira-kira begitu. Ibu, tak punya panggilan khusus. Ibu sudah cukup bahagia dengan cara kutelpon sesering mungkin dan membuatnya tertawa.

9. Sakifah. Ada loh, yang lebih suka memanggilku dengan nama lengkap. Meski kalau jarak jauh tetap saja disingkat: fah!, tapi dalam percakapan seperti senang sekali menyebut nama lengkapku.

Terdengar merdu sih, jadi kubiarkan saja.


Hah, ada delapan poin? Padahal dari nama lengkap yang hanya tiga suku kata. Hehe, maklum, calon femes.

Soal nama sudah, sekarang bahas kesibukan aja, ya? Pertengahan tahun 2017, alhamdulillah  jenjang Magister Ekonomi Islam kuselesaikan dengan hasil yang tidak mengecewakan. Meskipun, nilai tidak sempurna. Setelah itu, nasib membawa langkahku untuk belajar manajemen bisnis retail dan grosir.

Aku belajar mengendalikan karyawan, menata display barang, mengatur stok dan persediaan barang, menghadapi sales, juga melangkahkan kaki ke pasar untuk menemui para agen, kulakan. Rutinitas itu tentu saja berbeda jauh dari kesibukan masa studi, yang hanya membuka buku, membaca, menulis paper, dan bekerja lebih banyak dengan laptop ketimbang mengangkat barang.

Sampai setengah tahun kemudian, tepatnya awal tahun ini terjadi krisis karyawan di tempat usaha milik Om dan Tante. Tentu sayang sekali jika bisnis yang dibangun bertahun-tahun harus mandeg begitu saja. Dengan tenaga seadanya,s ambil menunggu tambahan, kami mencoba bertahan sesuai kemampuan. Saat itulah, seluruh waktu dan tenaga seolah tercurah semua ke sana. Alhamdulillah, kondisi krisis itu perlahan teratasi sebulan kemudian.

Karena bisnis Om dan tante sudah mulai kembali stabil, dan aku sudah belajar cukup banyak di sana, saatnya melanjutkan perjalanan. Sejujurnya, perjalanan hidup ini kubiarkan mengalir seperti air. Target dan cita-cita tentu saja ada. Tapi aku sadar, manusia hanya bisa berencana, Tuhan juga akhirnya yang menentukan jalan terbaik. Salah satu impian ibu dan beberapa orang tua yang lain (mohon maklum, orang tua saya banyak, efek jadi anak nomaden) adalah saya menjadi seorang dosen. Secara kualifikasi Pendidikan, sudah cukup memenuhi. Tinggal kesempatan dan nasib baik yang menentukan nanti.

Mohon doa, ya?

Menjadi dosen adalah salah satu pilihan untuk mengamalkan ilmu sekaligus menyebarluaskannya, semoga jadi cita-cita yang mulia. Semoga pintu kemudahan demi kemudahan senantiasa terbuka untuk setiap kebaikan yang kita usahakan.

Sudah, cukup? Kalau mau tahu lebih jauh, boleh hubungi saya secara personal, di FB: Sakifah Ismail.

Terima kasih.


16 comments:

Wakhid Syamsudin said...

Semoga tercapai cita dan cintanya mbak sakifah.

Asmara Na La said...

Kerennnn... Semoga tercapai mbk

Novarina DW said...

Mbak Saki memang keren ^^

Elin DS said...

Semoga cita-citanya tercapai Mbak...:)

WALI_KLATEN said...

Peristiwa Hari Saqifah.
Tonggak sejarah peradaban Islam setelah Rasulullah wafat.
Munculnya Usaid bin Hudlair "sang Pahlawan Hari Saqifah" seolah-olah dilupakan. Padahal beliau "pemadam kebakaran" yang tengah bergejolak dari kaum Ansor.

WALI_KLATEN said...

Peristiwa Hari Saqifah.
Tonggak sejarah peradaban Islam setelah Rasulullah wafat.
Munculnya Usaid bin Hudlair "sang Pahlawan Hari Saqifah" seolah-olah dilupakan. Padahal beliau "pemadam kebakaran" yang tengah bergejolak dari kaum Ansor.

Unknown said...

Semoga dimudahkan tuk menggapai cita² mbak saki...

Alif Kiky Listiyati said...

Ternyata panggilannya sama 🙈 semoga cita2nya dikabulka olehNya. Aamiiin

Arief Satiawan Parinduri said...

Mantap

Anonymous said...

Waah, Gunung Kidul sebelah mana Kak?

Tris said...

Wah nama panggilannya banyak. Kayak saya.hehe

Mariatul Kiftiah said...

Salam kenal mba..semoga dimudahkan untuk menggapai cita cita yaa😍

HAW said...

Aamiin semoga tercapai cita2nya mbaa🙏

Sakif said...

Itu Tsaqifah Bani Sa'idah, ya pakdhe?

Sakif said...

Toast, Mak!

Sakif said...

Playen, kak Flo

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©