Tuesday, 5 February 2019

Sudut Kepala

| |




Aku wanita. Kusadari sepenuhnya fitrah sebagai wanita, dan secuilpun tidak ingin kusangkal fakta itu. Untuk apa? Toh takdir menjadi wanita adalah satu diantara sekian hal yang memang tidak perlu diubah, bukan? Ya, meskipun Tuhan sudah katakan dengan jelas, “Tidak akan berubah nasib suatu kaum (juga satu pribadi) kecuali mereka mau mengubahnya sendiri.” Di luar sana, tidak sedikit bisa kita jumpai lelaki memakai pakaian wanita, bahkan melakukan operasi kelamin demi disebut sebagai wanita tulen. Demi mengubah nasib, mungkin. Karena jiwa wanita bersemayam dalam diri mereka, katanya.

Ada juga wanita yang berpakaian mirip lelaki, potongan rambut persis lelaki, bahkan berjalan dengan gaya lelaki. Seolah kodrat sebagai wanita ingin ditolaknya mentah-mentah, dan aku bertanya dalam hati, apakah mereka juga bisa menolak siklus bulanan? Apa peduliku?

Menjadi wanita itu harus belajar cuek, terutama pada urusan yang tidak berhubungan langsung dengan diri sendiri. Bukan karena egois, atau tepatnya bukan hanya karena “agak” egois, tapi karena jika dituruti, wanita itu bisa peduli pada apapun, pada siapapun, dan itu juga tidak bisa dibenarkan. Perhatian pada lelaki lain, pasangan bisa cemburu. Terlalu sayang dengan anak lain, anak sendiri bisa protes. Tapi jika tidak peduli sama sekali, dinilai anti sosial. Serba salah, kan?

Oke, semua hal memiliki porsi dan wanita harus tahu itu. Tidak hanya tahu, tapi juga bisa menakar diri sesuai dengan porsi yang sudah ditentukan, entah oleh siapa. Terpujilah wanita yang mampu menjadi sempurna dengan segala keseimbangan yang bisa diciptakannya.

Aku salah satunya. Bukan wanita sempurna, hanya mencoba menakar segala sesuatu sesuai porsinya. Seperti lelaki yang penuh logika, aku mengesampingkan rasa. Tapi kenapa kepalaku jadi memiliki sudut begini? Sudut kepala, yang dari setiap titiknya aku bisa menikmati pemandangan yang berbeda. Seperti sore itu, ketika kusampaikan pada kakak, “Laptopku sudah di install ulang.” Meskipun sebenarnya hal itu tidak perlu. Kakak tidak benar-benar peduli soal laptopku yang rusak tempo hari. Ahli IT itu sedang memilih sibuk dengan dunianya sendiri.

“Alhamdulillah,” Sesingkat itu jawabannya.

“Tapi datanya hilang semua.” Aku masih mencoba mengusik rasa ingin tahunya.

“Nggak di back up dulu, ya?” Tanyanya. Yes! Berhasil, sedikit.

“Kan nggak bisa masuk windows? Terus format hardisknya diganti, dari APMR? Eh apa? Ke GTP? Nggak paham, gitu deh. Jadi harus di format gitu ya? Ilang semua.” Tidak lupa kusematkan emotikon sedih. Siapa yang tidak berduka kehilangan data penting ratusan giga byte?

“Sebenarnya bisa sih, tapi ikhlaskan saja, ya?” Aku tahu dia mampu, dan sangat percaya dia bisa mengembalikan file yang hilang, jika mau. Di satu sisi, aku tetap sedih, kehilangan itu selalu menyakitkan, bukan? Ribuan file jurnal, aku bertahun-tahun mengumpulkannya. Tugas kuliah, review jurnal, kumpulan makalah, sampai ebook penting materi kuliah dua jenjang sarjana, bisa dicari kemana lagi? Belum ribuan foto liburan, kenangan bersama teman-teman semasa kuliah, screenshot hal-hal penting yang tersimpan rapi, foto bersama keluarga, peristiwa mengesankan, mana mungkin diulang hanya untuk mendapat gambar yang sama?

Sisi lain aku marah, kenapa harus diikhlaskan kalau bisa dikembalikan? Puluhan naskah, back up artikel, cerpen, cerbung, puisi, atau sekedr tulisan lepas yang sudah dipostig di blog ada di sana. Belum outline yang rencananya akan jadi buku, cerpen, itu embrio anak-anak tulisanku! Akan butuh tenaga dan waktu yang sangat banyak untuk mengembalikannya.

Satu naskah paling penting, “Naskah novelku, kak… itu udah mau terbit tinggal edit sekali lagi,” kali ini emotikon menangis yang kusertakan. Apa dia kira mudah menyusun satu novel utuh, lengkap dengan drama cinta dan konflik dua negara? Langit doa, sudah kuberi judul demikian cantik untuk novel pertamaku. Harus kuikhlaskan? Kakak tega! Ingin kuteriakkan pada dunia, betapa jahatnya kakak padaku. Ingin kucubit lengannya sekeras yang kubisa, agar dia rasakan betapa sakit apa yang kurasa saat ini, meski tanpa darah. Seperti tanah gersang, kekeringan oleh kemarau panjang, pecah dan keras. Belukar layak enggan berlama-lama tinggal di sana. Jangan berharap indahnya taman hati berwarna bunga-bunga itu tumbuh subur sementara amarahku terus memerah.

“Ya udah nggak usah diterbitkan.” Jawabnya enteng.

Aku menarik napas panjang. Kuhembuskan pelan-pelan. Sesederhana itu logika lelaki, sesulit itu wanita mewujudkan idenya. Tidakkah dia sadar, bahwa satu kalimatnya telah membentuk satu lagi sisi, hingga kepalaku berbentuk kotak sempurna. Orang-orang menyebutnya kubus, tapi aku tidak peduli. Satu sisi yang memberiku kesadaran, bahwa ada hal-hal yang perlu dilepaskan, dibiarkan menjadi bagian dari masa lalu tanpa bekas. Tidak pula untuk diceritakan, apalagi dibahas untuk masa depan yang belum pasti.

Meninggalkan masa lalu dengan ragam jejak kenangan, sama dengan  menjaga eksistensi masa lalu itu dalam diri sendiri. Kakak, sekali lagi memaksaku memandang dari sudut yang berbeda. Bahwa ikhlas adalah sebuah niscaya. Bahwa mungkin sempurnanya wanita tak pernah jadi nyata. Tapi setidaknya, merelakan masa lalu benar-benar tanpa jejak, adalah sebuah kesiapan menjejak masa depan yang lebih indah. 

#katahatiproduction
#katahatichallenge
#Arcolizious?


3 comments:

Sekolah kehidupan said...

Ikut bberbelasungkawa atas hilangnya data mbak. Duh komen apa lagi ya. Kok ngenes aku

Sakif said...

Hehe... Santai kak...

Jazilula said...

Daan kini kutau apa sebab ada sudut kepala yang bundas itu... :'(

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©