Aku wanita. Kusadari sepenuhnya fitrah sebagai wanita, dan secuilpun tidak ingin kusangkal fakta itu. Untuk apa? Toh takdir
menjadi wanita adalah satu diantara sekian hal yang memang tidak perlu diubah,
bukan? Ya, meskipun Tuhan sudah katakan dengan jelas, “Tidak akan berubah nasib
suatu kaum (juga satu pribadi) kecuali mereka mau mengubahnya sendiri.” Di luar
sana, tidak sedikit bisa kita jumpai lelaki memakai pakaian wanita, bahkan
melakukan operasi kelamin demi disebut sebagai wanita tulen. Demi mengubah
nasib, mungkin. Karena jiwa wanita bersemayam dalam diri mereka, katanya.
Ada juga wanita
yang berpakaian mirip lelaki, potongan rambut persis lelaki, bahkan berjalan
dengan gaya lelaki. Seolah kodrat sebagai wanita ingin ditolaknya mentah-mentah,
dan aku bertanya dalam hati, apakah mereka juga bisa menolak siklus bulanan? Apa
peduliku?
Menjadi wanita
itu harus belajar cuek, terutama pada urusan yang tidak berhubungan langsung
dengan diri sendiri. Bukan karena egois, atau tepatnya bukan hanya karena “agak”
egois, tapi karena jika dituruti, wanita itu bisa peduli pada apapun, pada
siapapun, dan itu juga tidak bisa dibenarkan. Perhatian pada lelaki lain,
pasangan bisa cemburu. Terlalu sayang dengan anak lain, anak sendiri bisa
protes. Tapi jika tidak peduli sama sekali, dinilai anti sosial. Serba salah,
kan?
Oke, semua hal
memiliki porsi dan wanita harus tahu itu. Tidak hanya tahu, tapi juga bisa
menakar diri sesuai dengan porsi yang sudah ditentukan, entah oleh siapa. Terpujilah
wanita yang mampu menjadi sempurna dengan segala keseimbangan yang bisa
diciptakannya.
Aku salah
satunya. Bukan wanita sempurna, hanya mencoba menakar segala sesuatu sesuai
porsinya. Seperti lelaki yang penuh logika, aku mengesampingkan rasa. Tapi kenapa
kepalaku jadi memiliki sudut begini? Sudut kepala, yang dari setiap titiknya
aku bisa menikmati pemandangan yang berbeda. Seperti sore itu, ketika
kusampaikan pada kakak, “Laptopku sudah di install
ulang.” Meskipun sebenarnya hal itu tidak perlu. Kakak tidak benar-benar
peduli soal laptopku yang rusak tempo hari. Ahli IT itu sedang memilih sibuk
dengan dunianya sendiri.
“Alhamdulillah,”
Sesingkat itu jawabannya.
“Tapi datanya
hilang semua.” Aku masih mencoba mengusik rasa ingin tahunya.
“Nggak di back up dulu, ya?” Tanyanya. Yes! Berhasil,
sedikit.
“Kan nggak bisa
masuk windows? Terus format hardisknya diganti, dari APMR? Eh apa? Ke GTP? Nggak
paham, gitu deh. Jadi harus di format gitu ya? Ilang semua.” Tidak lupa
kusematkan emotikon sedih. Siapa yang tidak berduka kehilangan data penting
ratusan giga byte?
“Sebenarnya bisa
sih, tapi ikhlaskan saja, ya?” Aku tahu dia mampu, dan sangat percaya dia bisa
mengembalikan file yang hilang, jika mau. Di satu sisi, aku tetap sedih,
kehilangan itu selalu menyakitkan, bukan? Ribuan file jurnal, aku
bertahun-tahun mengumpulkannya. Tugas kuliah, review jurnal, kumpulan makalah,
sampai ebook penting materi kuliah dua jenjang sarjana, bisa dicari kemana
lagi? Belum ribuan foto liburan, kenangan bersama teman-teman semasa kuliah,
screenshot hal-hal penting yang tersimpan rapi, foto bersama keluarga,
peristiwa mengesankan, mana mungkin diulang hanya untuk mendapat gambar yang
sama?
Sisi lain aku
marah, kenapa harus diikhlaskan kalau bisa dikembalikan? Puluhan naskah, back up artikel, cerpen, cerbung, puisi,
atau sekedr tulisan lepas yang sudah dipostig di blog ada di sana. Belum outline
yang rencananya akan jadi buku, cerpen, itu embrio anak-anak tulisanku! Akan butuh
tenaga dan waktu yang sangat banyak untuk mengembalikannya.
Satu naskah
paling penting, “Naskah novelku, kak… itu udah mau terbit tinggal edit sekali
lagi,” kali ini emotikon menangis yang kusertakan. Apa dia kira mudah menyusun
satu novel utuh, lengkap dengan drama cinta dan konflik dua negara? Langit doa,
sudah kuberi judul demikian cantik untuk novel pertamaku. Harus kuikhlaskan? Kakak
tega! Ingin kuteriakkan pada dunia, betapa jahatnya kakak padaku. Ingin kucubit
lengannya sekeras yang kubisa, agar dia rasakan betapa sakit apa yang kurasa
saat ini, meski tanpa darah. Seperti tanah gersang, kekeringan oleh kemarau panjang,
pecah dan keras. Belukar layak enggan berlama-lama tinggal di sana. Jangan berharap
indahnya taman hati berwarna bunga-bunga itu tumbuh subur sementara amarahku
terus memerah.
“Ya udah nggak
usah diterbitkan.” Jawabnya enteng.
Aku menarik napas panjang. Kuhembuskan pelan-pelan. Sesederhana itu logika lelaki, sesulit itu
wanita mewujudkan idenya. Tidakkah dia sadar, bahwa satu kalimatnya telah
membentuk satu lagi sisi, hingga kepalaku berbentuk kotak sempurna. Orang-orang
menyebutnya kubus, tapi aku tidak peduli. Satu sisi yang memberiku kesadaran, bahwa
ada hal-hal yang perlu dilepaskan, dibiarkan menjadi bagian dari masa lalu tanpa
bekas. Tidak pula untuk diceritakan, apalagi dibahas untuk masa depan yang
belum pasti.
Meninggalkan masa
lalu dengan ragam jejak kenangan, sama dengan
menjaga eksistensi masa lalu itu dalam diri sendiri. Kakak, sekali lagi
memaksaku memandang dari sudut yang berbeda. Bahwa ikhlas adalah sebuah
niscaya. Bahwa mungkin sempurnanya wanita tak pernah jadi nyata. Tapi setidaknya,
merelakan masa lalu benar-benar tanpa jejak, adalah sebuah kesiapan menjejak
masa depan yang lebih indah.
#katahatiproduction
#katahatichallenge
#Arcolizious?
3 comments:
Ikut bberbelasungkawa atas hilangnya data mbak. Duh komen apa lagi ya. Kok ngenes aku
Hehe... Santai kak...
Daan kini kutau apa sebab ada sudut kepala yang bundas itu... :'(
Post a Comment