Tuesday, 23 February 2016

Mawar Retak (1)

| |



Langit masih biru. Angin berhembus perlahan. Ini musim penghujan baru dimulai, namun keringat mengucur deras, mungkin karena otakku yang panas.

“aku di jodohkan. Mama sudah memiliki seorang gadis sebagai calonku”. Katanya

“ohh...” jawabku setengah hati.

Bukan, ini bukan rasa cemburu. Namun sebagian hatiku tak yakin akan rencananya itu. Tak yakin jika ia benar-benar akan menjalaninya. Karena ia yang ku kenal bukan orang yang mudah mengikuti kata orang. “ Tapi kan, ini mamanya? Mana mungkin ia membantah”. Kata hatiku yang lain menyahut sengit.
”Aku tak yakin ia bisa menjalani dengan baik, kalaupun pernikahan itu tetap dilangsungkan” Bantahku.

Ah, biarlah...toh itu urusan dia. Lubuk hati berusaha mendamaikan pikirku.

“iya ki, sebenarnya aku juga ngga yakin.... aku ga mengenal baik gadis itu. Lagipula.... aku belum benar-benar siap dengan pernikahan. Walau secara materi aku juga ngga kekurangan” ia membenarkan prasangkaku beberapa minggu kemudian. Beberapa minggu pula menjelang pernikahannya.

“kalau begitu, batalkan saja semuanya. Sebelum terlambat”. Sahutku

Ia tercenung. “Tidak”. “kau yakin?” aku mulai membantah. “sepertinya aku tak punya alasan selain harus menjalani semua ini”. Ia masih berusaha menetralisir suasana hatinya yang mulai membeku.

“Ah,sudahlah. Terserah kau saja. Lagipula kau sendiri yang akan menjalaninya. Bukan aku” tukasku.
Aku tau pekerjaannya yang cukup mapan membuat begitu mudah menyiapkan pesta pernikahan. Ia memang cukup beruntung, keadaan ekonominya sekarang  jauh lebih baik dibanding masa SMA dulu. Pastilah gadis calon istrinya itu juga beruntung, tidak harus mendampingi seorang suami yang kekurangan penghasilan. Semua nampak begitu sempurna dimata manusia.

“Tapi..kau tau kan mama, beliau perempuan yang paling ku hargai di dunia ini. Aku tak ingin mengecewakannya. Dengan menuruti keinginannya, aku hanya berharap telah berbuat baik untuk orang tuaku. Lagipula... mana mungkin mama menjerumuskan anaknya, gadis itu mungkin memang baik untuk masa depanku.” Lanjutnya dengan nada yang tampak tegar.  Ku tau hatinya tak setegar itu.

Aku mengenalnya dengan insting seorang wanita biasa. Tapi waktu kadang mengajarkan lebih dari apa yang ingin kupelajari. Karakter teman-temanku, begitu saja melekat dalam benak sehingga tak terlalu sulit bagiku mengenali gerak sikap mereka.

Baik, tak ada alasan untuknya menunda pernikahan, apalagi membatalkannya.
***

“Saya terima nikahnya Ida binti suroso dengan mas kawin tersebut tunai”. Pras mengucap akad dengan lancar, lugas, sah. Cukuplah ikrar itu merubah statusnya, menambah tanggung jawabnya, membawanya kedunia baru yang jelas berbeda dari sebelumnya. Sebuah babak kehidupan baru saja dimulai.

Hadirku dipesta pernikahannya, melihatnya bersanding bak raja dan permaisuri sehari. Semua berjalan lancar, semua rangkaian acara berjalan sempurna. Melengkapi penerimaan hatiku akan kehadiran gadis itu sebagai anggota keluarga Gen-06. Walau terdengar aneh, jujur aku berharap pernikahan ini bisa melahirkan generasi yang kuat dan mampu meneruskan ikatan persahabatan ini.

Persahabatan aneh yang berjalan diantara gelombang pertumbuhan ego remaja SMA, namun mampu mengikat hati kami untuk tak berlepas satu sama lain.

Setelah itu, jarang lagi ku dengar kabarnya. Mungkin benar ia bahagia, layaknya pengantin baru lainnya. Yang menikah karena cinta.

Bulan berganti, musim pun berubah. Hingga hujan kembali hadir menyapa buminya yang rindu.
Sedetik kadang hatiku menaruh curiga, atas kabar perasaan para sahabat nun jauh disana. ditengah kesibukan dengan banyak tanggungjawab yang harus ku selesaikan, kadang kucuri waktu tuk sekedar mengamati kabar sahabat-sahabat yang terpisah jauh meski hanya lewat media sosial.

Group alumni SMA, group organisasi kepanduan, group alumni kampus, sampai status dan komentar seringkali menyita perhatian sekaligus  mematikan kerinduan.

Cukup ampuh kerja media sosial itu menyiarkan berita meraka yang terpisah ruang dan waktu, kadang juga menceritakan gelisah yang tak terbaca di dunia nyata.

Dan pras, kubaca status puisi-puisi yang menyiratkan derita dan jerit hati.
Sedangkan  Ida, tak jauh beda. Celotehnya jelas mengisyaratkan kecewa atas kehidupan barunya. Tak jarang ia memaki entah kepada siapa. Hanya kata hatiku, mungkin untuk  suaminya. Sebuah prasangka tanpa alasan nyata.

Tak biasanya, usai hujan reda malam minggu itu aku masih bersemangat menjalani hari. Usai sudah semua amanah hari itu. Saatnya menikmati akhir pekan. Tiba tiba pangggilan masuk di layar HP. Pras. Tumben, batinku.

Ah, November 2014, musim hujan kembali menyapa. Deras hujan yang baru berlalu rupanya menderaskan semangat para penghela untuk tetap berbagi ilmu dan ketrampilan kepanduan kepada adik-adik angkatan mereka. Pras mengabarkan ada PSA di sekolah dekat rumah. Ia memintaku datang berkunjung dan sepertinya panitia perlu sedikit bantuan katanya. Baiklah... menjelang malam aku meluncur.

Tak banyak yang berubah dari sekolah itu sejak terakhir kali aku berkunjung. Seperti nya waktu juga tak banyak merubah mereka yang mau dan mampu bertahan dalam organisasi ini. Hanya yang tampak sangat berbeda, tentu saja tak kudapati teman-teman Gen-06 yang dahulu biasa menyambut dengan gurauan usil atau kerjaan yang seolah tak ada habisnya. Kali ini PSA berjalan santai.
Sepertinya hanya Pras, satu satunya Gen 06 yang tersisa dalam PSA itu. Yang lain pasti sibuk, batinku.
***
Kawan, pernikahan memang bukan akhir kisah bahagia sebuah hubungan cinta. Ia adalah awal dari sebuah babak baru kehidupan. Yang bisa jadi penuh derita dan luka, bisa jadi sebuah mahligai bahagia yang penuh warna.

Kau yang memilih, kau yang menanam di dalamnya, kau juga yang menuai hasilnya. Seperih apa luka yang kau rasa, itu tak akan berarti apa apa jika niatmu mengawali akad nikah adalah ibadah dan bahagia semata. Tak ada luka yang benar-benar terasa jika tak kau ijinkan hatimu untuk menderita.

Begitu pula, gelimang harta dan pemenuhan nafsu semata, tak akan pernah cukup menjadi alasan untuk bahagia, jika tanpa syukur dan ikhlas yang mengalir diantara setiap detik yang berjalan dalam pengaturanNya.

Percayalah, pada kebaikan disetiap rencana Tuhan.

Percayalah, pada kuatnya sinar mentari di balik awan gelap. Meski untuk mengusir gelapnya mendung ia harus membakar awan dengan sinarnya  dan membiarkan hujan turun deras ke bumi.

Mentari sesungguhnya mencintai bumi, dengan cantik sinarnya dan kuat panasnya.air hujan yang tampak seolah tangisan hanyalah luka yang sesungguhnyapun sangat sementara. Karena kehadirannya adalah anugerah bagi tanah.

Percayalah, pada kekuatan hati seorang suami yang menahan dirinya dari kata cerai meski engkau pernah meminta dan sangat menginginkannya.

Percayalah, pada kehendak orangtua untuk pernikahanmu, meski akhirnya mereka tak merasakan luka yang kau derita, setidaknya mereka pernah berharap bisa merasa sangat bahagia dengan pernikahanmu.

Dan kau tahu kawan, arti dari pernikahan?

Akad yang diucap seorang lelaki dengan ayah sang gadis ialah salah satu ikrar yang kuat dihadapan sang pencipta. Ia menyebutnya dengan “mitsaqon ghalidza”, perjanjian yang berat. Karena ikrar itu, adalah janji seorang lelaki untuk mengambil tanggungjawab sang gadis dari ayahnya, janji kesiapan seorang suami menanggung dosa istrinya, juga janji bahwa tak ada satupun hal yang pantas melepaskan ikatan itu kecuali ketidakpercayaan akan masa depan.

Akad seorang suami adalah janji penerimaan seorang wanita untuk setia pada satu lelaki, untuk menjadi bagian dari kehidupan pribadinya, bahkan tubuh yag sebelumnya haram disentuh, setelah akad ada hak suami yang harus ditunaikan. Akad itu adalah ikrar pengabdian seluruh kehidupan seorang wanita, untuk menghormati suami setelah Allah dan RasulNya. Orang tua bahkan punya kedudukan setelah suami. Orang tua bahkan tak punya hak melebihi hak seorang suami atas seorang istri.

Pernikahan. Satu kata berjuta cerita.

Kalaulah tidak yakin atas keputusan sebuah pernikahan, alangkah lebih bijak jika dicukupkan sebatas perkenalan.

Kalaulah sudah melewati akad dari sebuah pernikahan, alangkah indah jika tak ada kata perpisahan.

Kau tak perlu cemas kawan, sebesar dan sedalam apapun masalah yang kau hadapi dalam pernikahan, tak pernah lebih besar dari kemampuanmu menyelesaikan. Kenapa? Karena Allah tak pernah menguji hamba diluar batas kemampuannya. Itu pasti, valid. Kecuali jika kau ragukan ekstensi tuhan.

Setelah pernikahan dilangsungkan, suami dan istri mulai saling mengenal di segala sisi kehidupannya. Hampir tak ada batas kecuali pemikiran yang memiliki sudut pandang berbeda sebagai fitrah manusia.

Seorang suami mulai mendapati satu per satu sifat buruk dan kekurangan istrinya. Begitu pula sebaliknya. Kadang timbul pertengkaran, perdebatan yang tak selalu berujung manis.

1 comments:

Dewie dean said...

Ya ya pernikahan itu babak baru

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©