“Ki, apa sih yang hausnya dilakukan seorang istri kepada
suami?” Pras bertanya lugu. Sejak kapan dia berlagak sebodoh itu? Laki-laki
yang sudah menikah, bagaimana mungkin ia tak tau kewajiban seorang istri kepada
suami? Aau, ini hanya pertanyaan jebakan?
Dia lulusan terbaik di masanya. Otaknya cukup encer, karena
terbukti ia mudah mempelajari sesuatu. Mungkin itu efek positif dari seluruh
pengalaman hidupnya. Bayangkan saja, akuntansi bagiku sudah seperti barisan
angka yang membuat kepala pening sehingga butuh lebih dari satu semester untuk
sekedar memahami dasarnya, baginya hanya seperti kerupuk udang yang gurihnya
bisa dia nikmati dengan lezat dan hanya ia kuasai dalam beberapa bulan saja. Ia
lulusn sekolah agama, setelah lulus SMA pun banyak mengikuti kajian para kyai
dan ulama’.
Dan istrinya, lahir dan dibesarkan di lingkungan pondok.
Lulus kuliah dari salah satu PTN terkenal di Indonesia.
Jadi mana mungkin mereka tidak faham kewajiban antara suami
dan istri?
“well, u know fer..” jawabku malas. “please..tell me.” Nada
memaksa itu membuatku memutar otak.
“Apa yaa.... kewajiban seorang wanita kepada suami ya, jelas
taat, ngeladeni kebutuhannya, bahkan mungkin ekstrimnya, momong.” “Heh??” ia
terbelalak. Biasa aja deh...batinku melengos.
“iya kan pada dasarnya, menurut ilmu psikologi, laki-laki
itu tidak pernah benar-benar dewasa, terutama dihadapan wanita di sekitarnya,
seperti ibunya, istrinya, atau saudara perempuannya.. memang sifat maskulin itu
dominan. Tapi sudah dari sononya laki-laki itu ga bisa benar-benar dewasa dalam
beberapa moment. Seorang Umar yang dijuluki singa padang pasir saja pernah
menangis sesenggukan dan lemas sekujur tubuhnya. Apalagi manusia biasa lainnya.
Setiap orang punya kelemahan, itu pasti. Begitu juga makhluk bernama lelaki.
Tak peduli segarang apapun ia kelihatannya. Jadi ya...wanita di sekitarnya
harus paham dan “ngemong””.. aku berusaha menjelaskan sekenanya.
“emang gitu,ya?”....Pras mencoba menyangkal, tapi tak punya
alasan membantah. Mungkin ia menyadarai kebenaran kalimat itu dalam dirinya.
“ ya coba pikir. Emang bener laki-laki peran dalam rumah
tangga ya harus maskulin abis. Kuat, tegas, tajir, biar keluarganya ga
melempem. Tapi laki-laki juga manusia biasa kan...ada sisi dimana ia sangat
lemah. Melebihi lemahnya wanita. Dan saat itu, wanita disekitarnya harus paham
menyikapi, biar ga korslet”. Lanjutku setengah menerawang....
“Hem.... harusnya sih gitu”
“Lhah, emang kenapa sih? Ada apa?” aku penasaran dengan
ekspresinya.
“Istriku, kenapa ngga mau ya q ajak pulang ke rumahku? Ah...
au deh, pusing.”
“Hemm....ya di ajak komunikasi baik-baik lah.... ntar juga
dia ngerti” santai saja aku menjawab.
“sudah...bahkan berkali-kali. Tapi ya gitu, bukannya ngerti
malah akhirnya jadi salah paham..bubar deh. Kayanya aku ngga kuat kl kaya gini.
Apa putus aja ya?”
“Husshh!!!” sergahku
“sembarangan aja! Ngga ah...jangan...emaan toh...blm juga
setahun, emang pacaran apa bisa gampang putus sambung?? Aku mencoba
mengingatkan
“Lhah, gimana lagi?” seolah pasrah
Hehh,.. separah itukah rasa pasrahnya?
Memang apa yang sudah dilakukannya terhadap istrinya?
Lalu apa yang istrinya lakukan sehingga ia demikian terluka?
Tapi aku tak tega menanyainya lebih jauh...jawabkan
singkatnya cukup mengembangkan prasangka dalam benakku.
Dasar lelaki, tidak suka banyak menjelaskan tapi ingin
dimengerti. Tidak suka di caci tapi seringkali kata keluar tanpa kendali.
Itukah sosok pemimpin sejati?
Aku tak ingin memperpanjang perdebatan. Prasangka sudah
cukup mengisi ruang asaku. Tak baik jika di teruskan. Ini masalah serius. Aku
tak ingin diam saja, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tak mengenal Ida,
istrinya. Setidaknya secara pribadi. Kalau sekilas dari luar sih kelihatan
baik-baik saja. Hanya cerita pras membuatku penasaran, seburuk itukah ia dimata
suaminya?
Lalu bagaimana pandangan ida akan sosok suaminya?
(to be continou)
0 comments:
Post a Comment