Orang tua zaman sekarang, kebanyakan
mudah berbengga diri saat putra putrinya diterima di sekolah favorit, elit,
dengan biaya pendidikan selangit. Seolah begitulah cermin bekerja, dunia akan
memantulkan apa yang bisa dibayar dan ditunjukkan melalui pesona. Sementara
anak-anak, dengan kepolosannya mulai belajar bahwa uang begitu berkuasa. Tanpa
uang, hanya cemoohan dan pandangaan miring yang tampak di mata. Sekolah swasta
dengan berbagai jargon yang ditawarkan, bersedia menyajikan pendidikan yang
baik bagi siapapun yang mampu membayar.
Pemikiran ini sejujurnya sedikit
mengusik rasa penasaran, apakah kebanyakan orang tua zaman sekarang, berfikir
bahwa sekolah yang biasa, gratis, dekat rumah, bahkan jauh di pelosok desa, tak
punya kesempatan untuk mencetak generasi yang santun sekaligus berprestasi? Toh
buktinya, para orang hebat negeri ini banyak yang berasal dari berbagai pelosok
negeri. Dua atau tiga puluh tahun yang lalu, pendidikan di negeri ini berjalan
begitu sederhana, jauh dari kesan mewah dan mudah. Bahkan ada yang harus rela
berjalan telanjang kaki, berpakaian jauh dari kata rapi, tapi semangat mereka
mampu mengalahkan dinginnya dini hari untuk mewujudkan mimpi. Dan belasan
bahkan puluhan tahun kemudian, mimpi mereka tercapai.
Lalu apa yang sebenarnya menjadi sumber
sebab terciptanya orang-orang hebat? Apakah pendidikan yang mewah, fasilitas
serba wah, bisa menjamin anak-anak bisa diandalkan dimasa depan? Bisa atau
tidak, kenyataan akan menunjukkan bahwa masa depan kita, sangat tergantung pada
kualitas pendidikan.
Bicara tentang kualitas pendidikan, Edward Sallis menyatakan bahwa
Total Quality Management (TQM) Pendidikan adalah sebuah
filsosofis tentang perbaikan secara terus- menerus yang dapat memberikan seperangkat alat
praktis kepada
setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan
para pelanggannya saat ini dan untuk masa yang akan datang[1].
Dunia dan sistem
pendidikan memang terus harus mengalami perbaikan. Meskipun kenyataan di negeri
ni membuktikan, zaman modern tidak mampu membawa perbaikan, belum semua anak indonesia menikmati pendidikan
layak. Jauh di pelosok negeri, pedesaan, daerah perbatasan, hingga di kolong
jembatan jantung ibukota negara, masih ada ratusan, bahkan ribuan anak bangsa
yang seharusnya dapat menikmati pendidikan dan mendapat kesempatan sama dengan
mereka yang kaya, malah harus berperang dengan keadaan yang jauh dari kata
sempurna.
Lalu apa yang
sebenarnya menjadi penentu keberhasilan proses pendidikan? Kita lihat begitu
banyak pihak yang terlibat, ada lingkungan, sekolah, materi pelajaran, teman,
dan yang paling utama dekat dengan anak dalam melalui proses pendidikan adalah
orang tua dan guru.
Jika dirumah,
ada kita temui banyak orang tua yang “kuwalahan” dengan ulah anaknya, sehingga
“pasrah” dengan pendidik di sekolah. Berharap ketika kembali kerumah, anak akan
lebih mudah “dikendalikan”. Sedangkan waktu anak di sekolah tidak lebih dari
6-8 jam sehari, 6 hari sepekan. Dengan waktu istirahat sekian menit disekolah, dimana anak biasanya memilih bergaul
dengan temannya. Dikelaspun, saat bersama guru, anak lebih banyak mendapatkan
materi pelajaran dibanding dengan pendidikan moral. Sisa waktu yang ada, adalah
tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Artinya, antara orang tua dan guru,
siapakah yang seharusnya lebih banyak berperan membentuk karakter dan
menyiapkan kepribadian anak? Tentu orang tua. Tapi, jika orang tua sibuk
bekerja, maka sisa dari 8 jam tersebut tentu tidak sepenuhnya dapat dianggap
sebagai proses transfer pengetahuan dari orang tua kepada anak. Anak mendapat
pendidikan langsung dari teman, lingkungan, media elektronik atau sosial,
tetangga, atau komunitasnya. Jika kita cermati lebih lanjut proses pendidikan
yang diperoleh anak setiap harinya antara guru, orang tua, teman, media, atau
lingkungan, maka yang paling dominan bisa jadi yang paling menentukan sifat dan
karakter yang terbentuk pada anak.
Lalu pantaskah
orang tua hanya menyalahkan guru disekolah jika ternyata mereka (para guru)
hanya menjadi sedikit bagian dari “porsi waktu” bersama anak mereka?
Atau apa yang salah dari proses
pendidikan anak bangsa sehingga hasilnya masih jauh tertinggal dari anak bangsa
negeri tetangga?
Menurut hemat penulis, dengan analogi
sederhana diatas kita dapat melihat bahwa sesungguhnya pendidikan adalah sebuah
proses panjang menuju perbaikan pada banyak hal. Perbaikan karakter, nilai
akademik, sikap, hingga kecerdasan emosional. Yang jauh kedepan, akan banyak
akibat perbaikan yang akan ditimbulkan, meliputi sosial, ekonomi, politik,
keamanan, hingga kesehatan. Karena itu, tidak adil rasanya jika kita
membebankan hasl pendidikan, mengharap yang terbaik dari putra putri bangsa ini
pada satu pihak saja, sekolah misalnya. Semua punya peran tak kalah penting
dalam proses pendidikan ini.
Maka jika kita menginginkan hasil dari
proses pendidikan yang baik, akan lebih efektif jika dilakukan sinergi
pendidikan dari semua pihak yang terkait. Antara guru, orang tua, lingkungan,
media, dan sebagainya. Tentu tak perlu mengadakan rapat anggota untuk
menentukan langkah apa yang harus diambil oleh masing-masing pihak. Bayangkan
berapa puluh ribu anggota yang harus diundang jika kita menginginkan sinergi
pendidikan di seluruh bagian negeri?dan berap trilyun rupiah anggaran yang
dibutuhkan untuk mengadakan perhelatan akbar semacam itu?
Cukuplah kita menyadarkan setiap pihak
akan pentingnya sinergi pendidikan yang baik, agar kemudian jika setiap orang
paham akan tujuan sinergi ini, maka secara otomatis mesin berputar di
masing-masing waktu dan tempat. Orang dewasa dilarang berbicara kototr di depan
anak kecil, misalnya. Guru harus menjadi teladan yang baik bagi siswanya, tidak
mengajar untuk mendapat gaji semata. Media elektronik seperti televisi,
internet, dan mainan apapun namanya di setting untuk menambah pengetahuan anak
dan merangsang orak mereka untuk mempelajari sesuatu. Alangkah baiknya?
Tidak ada lagi tayangan TV yang tidak
berguna, gosip murahan, suara dari kata-kata kotor pengemis di seberang jalan
bawah jembatan, umpatan orang tua, pukulan, apalagi cacian dan olokan. Anak
akan lebih banyak bermain bersama teman di halaman ketimbang harus menatap
layar komputer dan berselancar di dunia maya.
Media elektronik seperti TV dan internet
dipenuhi karya anak bangsa yang membangun, bangga dengan indonesia. Para sineas
muda terus berkarya menghadirkan film bermuatan pendidikan karakter,
pengetahuan, kondisi internasional, keilmuan, dan sebagainya. Maka dapat dipastikan
dengan sinergi dan kerjasama semua pihak terkait, Indonesia akan bisa mengejar
ketertinggalannya di bidang pendidikan dari negara tetangga.
Sakifah
1 comments:
Bagus ini untuk pncerahan
Post a Comment