Thursday, 25 February 2016

Sinergi pendidikan

| |




Orang tua zaman sekarang, kebanyakan mudah berbengga diri saat putra putrinya diterima di sekolah favorit, elit, dengan biaya pendidikan selangit. Seolah begitulah cermin bekerja, dunia akan memantulkan apa yang bisa dibayar dan ditunjukkan melalui pesona. Sementara anak-anak, dengan kepolosannya mulai belajar bahwa uang begitu berkuasa. Tanpa uang, hanya cemoohan dan pandangaan miring yang tampak di mata. Sekolah swasta dengan berbagai jargon yang ditawarkan, bersedia menyajikan pendidikan yang baik bagi siapapun yang mampu membayar.
Pemikiran ini sejujurnya sedikit mengusik rasa penasaran, apakah kebanyakan orang tua zaman sekarang, berfikir bahwa sekolah yang biasa, gratis, dekat rumah, bahkan jauh di pelosok desa, tak punya kesempatan untuk mencetak generasi yang santun sekaligus berprestasi? Toh buktinya, para orang hebat negeri ini banyak yang berasal dari berbagai pelosok negeri. Dua atau tiga puluh tahun yang lalu, pendidikan di negeri ini berjalan begitu sederhana, jauh dari kesan mewah dan mudah. Bahkan ada yang harus rela berjalan telanjang kaki, berpakaian jauh dari kata rapi, tapi semangat mereka mampu mengalahkan dinginnya dini hari untuk mewujudkan mimpi. Dan belasan bahkan puluhan tahun kemudian, mimpi mereka tercapai.
Lalu apa yang sebenarnya menjadi sumber sebab terciptanya orang-orang hebat? Apakah pendidikan yang mewah, fasilitas serba wah, bisa menjamin anak-anak bisa diandalkan dimasa depan? Bisa atau tidak, kenyataan akan menunjukkan bahwa masa depan kita, sangat tergantung pada kualitas pendidikan.
Bicara tentang kualitas pendidikan, Edward Sallis menyatakan bahwa Total Quality Management (TQM) Pendidikan adalah sebuah filsosofis tentang perbaikan secara terus- menerus yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya saat ini dan untuk masa yang akan datang[1].
Dunia dan sistem pendidikan memang terus harus mengalami perbaikan. Meskipun kenyataan di negeri ni membuktikan, zaman modern tidak mampu membawa perbaikan, belum  semua anak indonesia menikmati pendidikan layak. Jauh di pelosok negeri, pedesaan, daerah perbatasan, hingga di kolong jembatan jantung ibukota negara, masih ada ratusan, bahkan ribuan anak bangsa yang seharusnya dapat menikmati pendidikan dan mendapat kesempatan sama dengan mereka yang kaya, malah harus berperang dengan keadaan yang jauh dari kata sempurna.
Lalu apa yang sebenarnya menjadi penentu keberhasilan proses pendidikan? Kita lihat begitu banyak pihak yang terlibat, ada lingkungan, sekolah, materi pelajaran, teman, dan yang paling utama dekat dengan anak dalam melalui proses pendidikan adalah orang tua dan guru.
Jika dirumah, ada kita temui banyak orang tua yang “kuwalahan” dengan ulah anaknya, sehingga “pasrah” dengan pendidik di sekolah. Berharap ketika kembali kerumah, anak akan lebih mudah “dikendalikan”. Sedangkan waktu anak di sekolah tidak lebih dari 6-8 jam sehari, 6 hari sepekan. Dengan waktu istirahat sekian menit  disekolah, dimana anak biasanya memilih bergaul dengan temannya. Dikelaspun, saat bersama guru, anak lebih banyak mendapatkan materi pelajaran dibanding dengan pendidikan moral. Sisa waktu yang ada, adalah tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Artinya, antara orang tua dan guru, siapakah yang seharusnya lebih banyak berperan membentuk karakter dan menyiapkan kepribadian anak? Tentu orang tua. Tapi, jika orang tua sibuk bekerja, maka sisa dari 8 jam tersebut tentu tidak sepenuhnya dapat dianggap sebagai proses transfer pengetahuan dari orang tua kepada anak. Anak mendapat pendidikan langsung dari teman, lingkungan, media elektronik atau sosial, tetangga, atau komunitasnya. Jika kita cermati lebih lanjut proses pendidikan yang diperoleh anak setiap harinya antara guru, orang tua, teman, media, atau lingkungan, maka yang paling dominan bisa jadi yang paling menentukan sifat dan karakter yang terbentuk pada anak.
Lalu pantaskah orang tua hanya menyalahkan guru disekolah jika ternyata mereka (para guru) hanya menjadi sedikit bagian dari “porsi waktu” bersama anak mereka?
Atau apa yang salah dari proses pendidikan anak bangsa sehingga hasilnya masih jauh tertinggal dari anak bangsa negeri tetangga?
Menurut hemat penulis, dengan analogi sederhana diatas kita dapat melihat bahwa sesungguhnya pendidikan adalah sebuah proses panjang menuju perbaikan pada banyak hal. Perbaikan karakter, nilai akademik, sikap, hingga kecerdasan emosional. Yang jauh kedepan, akan banyak akibat perbaikan yang akan ditimbulkan, meliputi sosial, ekonomi, politik, keamanan, hingga kesehatan. Karena itu, tidak adil rasanya jika kita membebankan hasl pendidikan, mengharap yang terbaik dari putra putri bangsa ini pada satu pihak saja, sekolah misalnya. Semua punya peran tak kalah penting dalam proses pendidikan ini.
Maka jika kita menginginkan hasil dari proses pendidikan yang baik, akan lebih efektif jika dilakukan sinergi pendidikan dari semua pihak yang terkait. Antara guru, orang tua, lingkungan, media, dan sebagainya. Tentu tak perlu mengadakan rapat anggota untuk menentukan langkah apa yang harus diambil oleh masing-masing pihak. Bayangkan berapa puluh ribu anggota yang harus diundang jika kita menginginkan sinergi pendidikan di seluruh bagian negeri?dan berap trilyun rupiah anggaran yang dibutuhkan untuk mengadakan perhelatan akbar semacam itu?
Cukuplah kita menyadarkan setiap pihak akan pentingnya sinergi pendidikan yang baik, agar kemudian jika setiap orang paham akan tujuan sinergi ini, maka secara otomatis mesin berputar di masing-masing waktu dan tempat. Orang dewasa dilarang berbicara kototr di depan anak kecil, misalnya. Guru harus menjadi teladan yang baik bagi siswanya, tidak mengajar untuk mendapat gaji semata. Media elektronik seperti televisi, internet, dan mainan apapun namanya di setting untuk menambah pengetahuan anak dan merangsang orak mereka untuk mempelajari sesuatu. Alangkah baiknya?
Tidak ada lagi tayangan TV yang tidak berguna, gosip murahan, suara dari kata-kata kotor pengemis di seberang jalan bawah jembatan, umpatan orang tua, pukulan, apalagi cacian dan olokan. Anak akan lebih banyak bermain bersama teman di halaman ketimbang harus menatap layar komputer dan berselancar di dunia maya.
Media elektronik seperti TV dan internet dipenuhi karya anak bangsa yang membangun, bangga dengan indonesia. Para sineas muda terus berkarya menghadirkan film bermuatan pendidikan karakter, pengetahuan, kondisi internasional, keilmuan, dan sebagainya. Maka dapat dipastikan dengan sinergi dan kerjasama semua pihak terkait, Indonesia akan bisa mengejar ketertinggalannya di bidang pendidikan dari negara tetangga.

Sakifah



[1] Edward Sallis, Total Quality Management In Education, alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi, 73

1 comments:

Dewie dean said...

Bagus ini untuk pncerahan

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©