“Ini mereka dimana sih?” aku mendengus kesal melihat layar hp yang
sejak tadi sepi. Kami, aku dan Mei baru saja sampai Rumah Sakit. Teman-teman
yang lain sudah datang sekitar sepuluh menit yang lalu. Gara-gara shalat dulu,
ditinggal deh (atau aku yang lelet ya)
“Mei, mereka belum balas juga?” sepuluh detik menunggu serasa sejam
berlalu. Lambat sekali, mana hujan lagi.
“Bentar mbak,.....umm.... kata mereka naik aja ke lantai satu. Mereka
nunggu” Mei masih sabar menghadapiku. Maklum sudah sore, aku khawatir pulang
saat hari mulai gelap.
Baiklah, kami mulai naik tangga dari parkir basement. Baru tiga
anak tangga, tiba tiba...
“Mbaaaaakkkkkkkkk......................... Unyuu
takuuuutttttttttt.........ga bisa turuuuuuunnnn... ga berani..... gimana
ini.....”
Aku celingukan... Ohhh... #Tepokjidat
Si Unyu dan Ami baru datang. Unyu yang bawa motor takut ketinggian.
Ia tak berani turun ke parkiran basement. Padahal kan parkir motornya harus disini...
“Udah nyuuuuuuuu....nekat aja..rem yang kuat..pelan-pelaannn...” aku ganti
teriak, memasang muka meyakinkan agar ia berani bawa motor sendiri. Akhirnya ia
berani turun, meski harus menguji kesabaran antrian motor di belakangnya, mau
parkir juga -_-.
Kami naik bersama, sampai di ruang tunggu, rombongan cowok
memanggil kami. Oh ya, sore ini kami akan mengunjungi si Reni yang kecelakaan
tadi pagi. Kabarnya sih ditabrak motor waktu menyeberang jalan, anak SMP. Pas di
depan kampus, mau berangkat kuliah. Sore ini kami bermaksud menjenguk,
sekaligus memastikan kondisinya.
Setelah tanya kesana kemari, sampailah kami di ruang rawat (ini rombongan
cowok yang datang duluan ngga ada inisiatif buat nanya ruangan sejak tadi,
mengulur waktu saja, #Kesal lagi). Ruang J ada jauh diujung selatan Rumah sakit
ini. Untunglah, tak salah kamar. Engga percuma nyegat pak dokter buat nanya
jalan tadi.
“Assalamu’alaikum....” aku setengah berbisik masuk diikuti
kawan-kawan. Ternyata sudah ada Icha disana, teman sekelas kami juga. Reni
berbaring, tak sedikitpun bergerak. Tapi ia bisa menjawab salam kami.
Aku mendekat, menyalami, menanyakan kondisinya. Ia ditabrak saat menyeberang. Si pengendara masih SMP dan orang tuanya sudah datang untuk bertanggung jawab. kondisinya cukup parah, tulang betis kanan patah. maka harus di gips untuk beberapa minggu kedepan, ia akan sulit berjalan setidaknya beberapa bulan.
Dalam hati,
sebentar...ada yang aneh. Rombongan cowok yang tadi di belakang mau masuk juga,
kan pengen tau ya.. Ohhh,, Reni ngga pakai kerudung, aku tolah toleh. Mana pakai baju lengan pendek pula. Duhh... sekujur
tubuhnya ditutup selimut.
Tapi bagian atasnya?
Oh Allah, apa yang harus kulakukan? Menegurnya? Kuambil kerudung di
meja, minta tolong Icha untuk menutupkan di kepala Reni sekedarnya, sesaat
sebelum rombongan cowok masuk.
Tapi tak lama, kepalanya gerak kesana kemari, otomatis “kerudung
sekedarnya” tadi lepas juga. Tapi sang empunya kepala santai saja. Duh, aku
mengeluh dalam hati.
Mei yang berdiri sebelahku berbisik, “Mbak, itu
kerudungnya.....”
“Iya, tapi dianya santai aja, kita mesti gimana?” aku balik
bertanya.
Allah, maafkan aku...
Saat hatiku sendu, kelu tuk sekedar bersapa semu
Aku tau fitrahku
Aku tau kewajibanku...
Tapi kini aku tak mampu
Menegurnya sebagai saudara seiman.. sebagai seindah-indah perhiasan
dunia
Maafkan aku.. karena hadirku tak menjadi perantara cahaya
Karena luputku auratnya tetap terbuka...
Maafkan aku
Ukhtiku sayang... andai saja kau tahu, bahwa kehormatan bukan sekedar
mahkota yang harus kau jaga. Andai kau tahu, aurat itu harus kau tutup dari
fitnah dunia. Andai kau tau, kau lebih cantik jika terbalut indah dalam hijab
yang juga menahan pandangan nafsu dunia...
Andai... kau tau ukhti.. aku menyayangimu karenaNya.
Tak cukup nyaliku menegur karena tak ingin kau terluka. Tapi doaku
tak terbatas masa, semoga Allah berkenan menunjukkan padamu jalan cahaya. Mungkin
bukan sekarang, mungkin bukan denganku, tapi semoga Allah selalu menyayangimu.
Maafkan
aku, yang hanya bisa menjagamu dalam doaku.
0 comments:
Post a Comment