“Ayah, kalau tulisan ayah itu hurufnya apa
aja?” aku mendekati ayah yang sedang membaca di teras.
“yaa, a-y-a-h. Udah” jawabnya malas.
“Kalau ibu?” aku benar-benar penasaran.
“gampang, i-b-u” aku manggut manggut sambil
ber-oooo panjang.
“Kalau aku?” penasaran itu belum usai.
“Hayo, coba tebak?” ayah mulai terganggu
dengan tingkahku.
“Aaaaa.....ku!” teriakku senang. Namun
ayahku terhenti sejenak dari koran dihadapannya, menatapku. Terlihat
mengerutkan dahi, pertanda tak setuju dengan jawaban itu. Aku memutar otak,
“ku, itu hurufnya apa aja sih yaaa??” aku merajuk, hanya untuk menutupi
kegagalanku.
“Apa coba? Ingat-ingat?”
“Enggggg....ngga tauuuuu. Ku ya ku yaaahh,
emang apa aja sih hurufnya??” aku mulai tak sabar, menarik lengan ayah lebih
kuat. Lebih tepatnya, mencubit! Ayah meringis kesakitan.
“Aaaauuuuwww...iyaa,,, ku itu dari huruf ka- dan –u” Ayah buka mulut sambil menggosok lengan hasil cubitanku. Aku tertawa, menang.
Begitulah kira-kira sosokku, saat usia
sekitar lima menjelang enam tahun. Usil, penasaran, dan tak mau kalah! Coba
saja saat itu ayah tetap tak mau menjawab, aku akan menemukan cara lain untuk
memaksanya. Dengan menggigit, misalnya.
Saat usiaku empat tahun lebih sedikit, ayah
dan ibu sudah sepakat mengantarku ke sekolah. Namanya saja Taman Kanak-Kanak,
tidak ada pelajaran baku disana. Tidak seperti sekarang yang kurikulumnya serba
terukur dan terjadwal rapi. Kalau dulu? Ada sih jadwal, tapi fleksibel.
Tergantung gurunya mau ngajarin apa. Haha
Mereka memasukkanku ke sekolah bukan hanya karena
aku pintar, meski mungkin mereka pikir rasa ingin tahuku sudah diatas
rata-rata, saking banyaknya aku
bertanya. Tapi juga supaya mereka bisa bekerja. Ayah bekerja di luar kota dan
jarang sekali pulang. Sedangkan ibu membantu pemilik warung di pasar melayani
pembeli kala itu. Pasarnya ada di dekat sekolahku. Jadi sekalian jalan, ngantar
ke sekolah lalu beliau bisa bekerja. Aku tak perlu ditunggu untuk menghabiskan
waktu hingga saat pulang tiba. Ada banyak teman disana. Aku suka sekali
mendengarkan cerita dan bercerita. Sampai guruku hafal, dan sering sekali
menegur karena aku suka bercerita sendiri saat guru menerangkan. Iya, semacam
dapat inspirasi cerita gitu dari apa yang disampaikan guru. Jadi harus langsung
disampaikan, daripada keburu lupa kalau nunggu nanti? K
Tapi sungguh, kemampuanku membaca tak
terealisasi dari sekolah. Iya karena saking hobinya aku bercerita, pelajaran
menulis dan membaca terasa sangat membosankan. Hasilnya? Tidak semua huruf
kuhafal! Semua tampak seperti cacing mengerikan di mataku.
Jaman dulu, pertengahan tahun 95an belum
jaman poster-poster besar dengan lambang huruf alphabet yang berwarna warni.
Apalagi gambar hewan dan bendera yang bertebaran di hampir setiap toko buku
seperti saat ini. Kami harus belajar membaca dari buku, buku tulis tepatnya.
Iya, meniru tulisan sekaligus membacanya. Sangat konvensional, dan asli! Tidak
menarik sama sekali.
Sampai lulus TK, aku belum bisa membaca.
Hanya beberapa huruf yang ku tahu. A, B, C, D, E, F, G... itu kuhafal karena
lagu, setelah itu entah huruf apa
berikutnya. Bentuknya? Entahlah, aku tak yakin bisa menuliskannya jika ibu
memaksa bertanya. Bagiku, tak pentinglah bisa membaca. Nanti juga tahu dan bisa
sendiri akhirnya (duh, nyerah banget... sangat berlawanan dengan kebiasaanku
memaksa ketika menginginkan sesuatu).
Lalu, bagaimana aku bisa tertarik membaca?
Pengalaman adalah guru terbaik.
Rupanya pepatah tersebut berlaku, 100%
benar untukku. Ketika aku jalan-jalan, kuperhatikan disekeliling banyak sekali
tulisan. Sekali dua kali, mungkin aku bisa bertanya kepada orang tua apa
maksudnya. Tapi berikutnya? Bisa ditebak, mereka akan bosan menanggapi rasa
penasaranku.
“Baca aja sendiri”, atau “makanya, belajar
baca... kalau kamu pinter tanpa dikasih tahu juga udah tahu apa artinya..”
begitu ibu sering menegurku ketika sudah terlalu banyak bertanya. Lama-lama aku
bosan (terpaku dalam kebodohan, merasa minder dan tidak pinter) namun tak
kehilangan rasa penasaran.
Setiiap kali ada tulisan pendek, aku
berusaha membaca. Mulai dari huruf yang ku tahu, rangkaian satu demi satu,
terbata dan akhirnya....salah baca! Tak apa. Proses yang sulit itu sungguh
bermakna istimewa.
BU-DI
I-NI I-BU BU-DI
I-NI A-YA BU-DI
A-KU
Berawal dari kata sederhana yang banyak
ditulis di buku panduan belajar membaca, akhirnya bosan. Aku lebih tertarik
pada tulisan yang bisa kutemui di sepanjang perjalanan. Di mobil, marka jalan,
petunjuk arah, sampai kaos orang dan merek barang atau jasa. Tentu saja, semua
tampak lebih menyenangkan daripada harus belajar hanya dari buku yang
membosankan (karena tulisanku yang lebih pantas disebut cakarayam daripada
tulisan).
Aku suka mendengarkan siaran radio, dunia
dalam berita (kalau ini terpaksa, cuma itu siaran yang bisa kulihat dibawah
pengawasan orang tua. Lalu jika ada kesempatan bermain bersama teman-teman dan
menikmati siaran televisi tanpa orang tua, kami senang sekali menikmati film
berseri. Mulai dari film anak macam power rangers dan ksatria baja hitam,
sampai tontonan orang dewasa macam serial si ular putih dan Yoko. Haha,
kebanyakan pemirsanya orang tua dan anak-anak yang kelelahan bermain seharian.
Tapi percayalah, kala itu semua film lulus sensor tanpa ada kisah manusia
berubah jadi serigala.
Kebiasaan membaca itu belum juga membudaya
bagiku. Sampai saat masuk SD, mendapat buku paket dari sekolah dan disitulah
keterpaksaan kembali melanda. Apa yang harus kulakukan untuk bisa segera
membaca? Yang ada aku hanya membolak-balik setiap halaman, mencari gambar. Lalu
berusaha membaca keterangan di bawahnya. Kubaca keras-keras, berharap siapapun
yang mendengar dan tahu itu salah akan segera menegurku. Memberitahu apa yang
benar, atau sekedar menertawakan. Tak masalah bagiku. Tapi untuk membaca
kalimat panjang, terima kasih. Mungkin aku akan mencobanya lain kali (baca:entah
kapan).
Nah, yang paling menarik dan paling
berkesan dari buku-buku pelajaran itu adalah cerita. Tentu saja, buku paket bahasa
indonesia. Jika sudah selesai semua pekerjaan, ibuku suka mencari cerita dari
buku-buku itu dan membacakannya untukku. Tanpa mengeja, tentu saja. Mataku tak
lepas mengamati jari telunjuknya yang menelusuri huruf demi huruf. Sementara
telingaku merekam tajam suara ibu yang bercerita pelan. Disitulah aku mulai
mengerti bagaimana huruf demi huruf itu dirangkai. Menimbulkan bunyi yang
berbeda karena berasal dari bentuk huruf yang berbeda.
Lama kelamaan, aku mulai bosan jika hanya
menyimak, mulutku ikut komat kamit saat ibu membaca. Mengikuti suaranya,
perlahan tapi pasti. Aku belajar membaca tanpa mengeja. Tanpa menghafal huruf dari A sampai Z untuk
merangkainya. Aku belajar dari tulisan dalam cerita dan suara.
Naik kelas dua SD, aku mulai lancar
membaca. Om ku suka membawakan majalah anak bekas jika pulang. Iya, majalah
anak bekas milik adik iparnya yang sudah tidak terpakai lagi. Kebanyakan adalah
majalah Bobo dan Mentari. Tahu kan rubrik apa yang paling kusuka? Iya, cerita!
Aku bisa menghabiskan waktu seharian hanya untuk menamatkan cerita yang ada.
Meski kadang harus diulang-ulang sambil menunggu majalah berikutnya datang.
Rubrik lain baru akan terasa menarik jika semua ceritanya habis terbaca.
Kenapa majalah-majalah bekas itu menjadi
demikian menarik? Karena hanya itulah aksesku membaca. Disekolah, tidak ada
perpustakaan yang tersedia dengan koleksi lengkap. maklumlah, sekolah di desa
terpencil yang jauh dari keramaian kota *eh (curcol).
Masuk ke jenjang sekolah berikutnya, masih
sama. Ada sih perpustakaan, tapi isinya di dominasi buku pelajaran, yang jelas
saja hanya kubaca saat membutuhkan. Menjelang ujian, misalnya. Dan masuk ke
jenjang SMA, perpustakaan kami lebih bersahabat. Ada banyak komik dan novel
yang bisa kami nikmati. Hobi membacaku sedikit tersalurkan disini. Layaknya remaja
lainnya, masa SMA identik dengan kata cinta. Tapi cinta yang kupunya, bukan
sekedar ungkapan kata. Ia mengalir lembut pada lembaran-lembaran surat sebagai
curahan perasaan, bait-bait puisi yang membuat merona saat membaca. Iya, teman
SMA yang awalnya mengaku sahabat, akhirnya mengaku hadirnya rasa cinta. Semua
puisi dan ungkapan hatinya mengusikku untuk membalas, menuangkan berbaris-baris
nada, lewat puisi atau sekedar cerita. Hanya untuknya.
Dan sekarang? Aku masih suka membaca, apa
saja yang aku penasaran tentangnya. Dimana saja, tak peduli lelah melanda. Aku
suka membaca. Karena membaca bagiku seperti membuka jendela dunia. Kita bisa
menatap jauh ke depan, alam semesta, pemandangan, pengetahuan, motivasi, apapun
yang terpampang di dalamnya. Buku dan tulisan bisa membawaku keliling dunia. Mengunjungi
eksotisme paris, sisi islami bumi eropa, dan sebagainya. Everything is possible with reading.
#Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis di blog Mukhofasalfikri.com dengan tema menulis pengalaman membaca
#Tulisan ini disusun untuk belajar menulis dan memantaskan diri sebagai penulis, bukan sekedar berharap menjadi pemenang. :-)
#Tulisan ini disusun untuk belajar menulis dan memantaskan diri sebagai penulis, bukan sekedar berharap menjadi pemenang. :-)
#ODOP
#MenulisSetiapHari
0 comments:
Post a Comment