Thursday, 14 April 2016

Membaca Tanpa Mengeja

| |



“Ayah, kalau tulisan ayah itu hurufnya apa aja?” aku mendekati ayah yang sedang membaca di teras.

“yaa, a-y-a-h. Udah” jawabnya malas.

“Kalau ibu?” aku benar-benar penasaran.

“gampang, i-b-u” aku manggut manggut sambil ber-oooo panjang.

“Kalau aku?” penasaran itu belum usai.

“Hayo, coba tebak?” ayah mulai terganggu dengan tingkahku.

“Aaaaa.....ku!” teriakku senang. Namun ayahku terhenti sejenak dari koran dihadapannya, menatapku. Terlihat mengerutkan dahi, pertanda tak setuju dengan jawaban itu. Aku memutar otak, “ku, itu hurufnya apa aja sih yaaa??” aku merajuk, hanya untuk menutupi kegagalanku.

“Apa coba? Ingat-ingat?”

“Enggggg....ngga tauuuuu. Ku ya ku yaaahh, emang apa aja sih hurufnya??” aku mulai tak sabar, menarik lengan ayah lebih kuat. Lebih tepatnya, mencubit! Ayah meringis kesakitan.

“Aaaauuuuwww...iyaa,,, ku itu dari huruf ka- dan –u” Ayah buka mulut sambil menggosok lengan hasil cubitanku. Aku tertawa, menang.

Begitulah kira-kira sosokku, saat usia sekitar lima menjelang enam tahun. Usil, penasaran, dan tak mau kalah! Coba saja saat itu ayah tetap tak mau menjawab, aku akan menemukan cara lain untuk memaksanya. Dengan menggigit, misalnya.

Saat usiaku empat tahun lebih sedikit, ayah dan ibu sudah sepakat mengantarku ke sekolah. Namanya saja Taman Kanak-Kanak, tidak ada pelajaran baku disana. Tidak seperti sekarang yang kurikulumnya serba terukur dan terjadwal rapi. Kalau dulu? Ada sih jadwal, tapi fleksibel. Tergantung gurunya mau ngajarin apa. Haha

Mereka memasukkanku ke sekolah bukan hanya karena aku pintar, meski mungkin mereka pikir rasa ingin tahuku sudah diatas rata-rata, saking banyaknya aku bertanya. Tapi juga supaya mereka bisa bekerja. Ayah bekerja di luar kota dan jarang sekali pulang. Sedangkan ibu membantu pemilik warung di pasar melayani pembeli kala itu. Pasarnya ada di dekat sekolahku. Jadi sekalian jalan, ngantar ke sekolah lalu beliau bisa bekerja. Aku tak perlu ditunggu untuk menghabiskan waktu hingga saat pulang tiba. Ada banyak teman disana. Aku suka sekali mendengarkan cerita dan bercerita. Sampai guruku hafal, dan sering sekali menegur karena aku suka bercerita sendiri saat guru menerangkan. Iya, semacam dapat inspirasi cerita gitu dari apa yang disampaikan guru. Jadi harus langsung disampaikan, daripada keburu lupa kalau nunggu nanti? K

Tapi sungguh, kemampuanku membaca tak terealisasi dari sekolah. Iya karena saking hobinya aku bercerita, pelajaran menulis dan membaca terasa sangat membosankan. Hasilnya? Tidak semua huruf kuhafal! Semua tampak seperti cacing mengerikan di mataku.

Jaman dulu, pertengahan tahun 95an belum jaman poster-poster besar dengan lambang huruf alphabet yang berwarna warni. Apalagi gambar hewan dan bendera yang bertebaran di hampir setiap toko buku seperti saat ini. Kami harus belajar membaca dari buku, buku tulis tepatnya. Iya, meniru tulisan sekaligus membacanya. Sangat konvensional, dan asli! Tidak menarik sama sekali.

Sampai lulus TK, aku belum bisa membaca. Hanya beberapa huruf yang ku tahu. A, B, C, D, E, F, G... itu kuhafal karena lagu, setelah itu entah huruf  apa berikutnya. Bentuknya? Entahlah, aku tak yakin bisa menuliskannya jika ibu memaksa bertanya. Bagiku, tak pentinglah bisa membaca. Nanti juga tahu dan bisa sendiri akhirnya (duh, nyerah banget... sangat berlawanan dengan kebiasaanku memaksa ketika menginginkan sesuatu).
Lalu, bagaimana aku bisa tertarik membaca?

Pengalaman adalah guru terbaik.

Rupanya pepatah tersebut berlaku, 100% benar untukku. Ketika aku jalan-jalan, kuperhatikan disekeliling banyak sekali tulisan. Sekali dua kali, mungkin aku bisa bertanya kepada orang tua apa maksudnya. Tapi berikutnya? Bisa ditebak, mereka akan bosan menanggapi rasa penasaranku.

“Baca aja sendiri”, atau “makanya, belajar baca... kalau kamu pinter tanpa dikasih tahu juga udah tahu apa artinya..” begitu ibu sering menegurku ketika sudah terlalu banyak bertanya. Lama-lama aku bosan (terpaku dalam kebodohan, merasa minder dan tidak pinter) namun tak kehilangan rasa penasaran.

Setiiap kali ada tulisan pendek, aku berusaha membaca. Mulai dari huruf yang ku tahu, rangkaian satu demi satu, terbata dan akhirnya....salah baca! Tak apa. Proses yang sulit itu sungguh bermakna istimewa.

BU-DI
I-NI I-BU BU-DI
I-NI A-YA BU-DI
A-KU

Berawal dari kata sederhana yang banyak ditulis di buku panduan belajar membaca, akhirnya bosan. Aku lebih tertarik pada tulisan yang bisa kutemui di sepanjang perjalanan. Di mobil, marka jalan, petunjuk arah, sampai kaos orang dan merek barang atau jasa. Tentu saja, semua tampak lebih menyenangkan daripada harus belajar hanya dari buku yang membosankan (karena tulisanku yang lebih pantas disebut cakarayam daripada tulisan).

Aku suka mendengarkan siaran radio, dunia dalam berita (kalau ini terpaksa, cuma itu siaran yang bisa kulihat dibawah pengawasan orang tua. Lalu jika ada kesempatan bermain bersama teman-teman dan menikmati siaran televisi tanpa orang tua, kami senang sekali menikmati film berseri. Mulai dari film anak macam power rangers dan ksatria baja hitam, sampai tontonan orang dewasa macam serial si ular putih dan Yoko. Haha, kebanyakan pemirsanya orang tua dan anak-anak yang kelelahan bermain seharian. Tapi percayalah, kala itu semua film lulus sensor tanpa ada kisah manusia berubah jadi serigala.

Kebiasaan membaca itu belum juga membudaya bagiku. Sampai saat masuk SD, mendapat buku paket dari sekolah dan disitulah keterpaksaan kembali melanda. Apa yang harus kulakukan untuk bisa segera membaca? Yang ada aku hanya membolak-balik setiap halaman, mencari gambar. Lalu berusaha membaca keterangan di bawahnya. Kubaca keras-keras, berharap siapapun yang mendengar dan tahu itu salah akan segera menegurku. Memberitahu apa yang benar, atau sekedar menertawakan. Tak masalah bagiku. Tapi untuk membaca kalimat panjang, terima kasih. Mungkin aku akan mencobanya lain kali (baca:entah kapan).

Nah, yang paling menarik dan paling berkesan dari buku-buku pelajaran itu adalah cerita. Tentu saja, buku paket bahasa indonesia. Jika sudah selesai semua pekerjaan, ibuku suka mencari cerita dari buku-buku itu dan membacakannya untukku. Tanpa mengeja, tentu saja. Mataku tak lepas mengamati jari telunjuknya yang menelusuri huruf demi huruf. Sementara telingaku merekam tajam suara ibu yang bercerita pelan. Disitulah aku mulai mengerti bagaimana huruf demi huruf itu dirangkai. Menimbulkan bunyi yang berbeda karena berasal dari bentuk huruf yang berbeda.

Lama kelamaan, aku mulai bosan jika hanya menyimak, mulutku ikut komat kamit saat ibu membaca. Mengikuti suaranya, perlahan tapi pasti. Aku belajar membaca tanpa mengeja.  Tanpa menghafal huruf dari A sampai Z untuk merangkainya. Aku belajar dari tulisan dalam cerita dan suara.

Naik kelas dua SD, aku mulai lancar membaca. Om ku suka membawakan majalah anak bekas jika pulang. Iya, majalah anak bekas milik adik iparnya yang sudah tidak terpakai lagi. Kebanyakan adalah majalah Bobo dan Mentari. Tahu kan rubrik apa yang paling kusuka? Iya, cerita! Aku bisa menghabiskan waktu seharian hanya untuk menamatkan cerita yang ada. Meski kadang harus diulang-ulang sambil menunggu majalah berikutnya datang. Rubrik lain baru akan terasa menarik jika semua ceritanya habis terbaca.

Kenapa majalah-majalah bekas itu menjadi demikian menarik? Karena hanya itulah aksesku membaca. Disekolah, tidak ada perpustakaan yang tersedia dengan koleksi lengkap. maklumlah, sekolah di desa terpencil yang jauh dari keramaian kota *eh (curcol).

Masuk ke jenjang sekolah berikutnya, masih sama. Ada sih perpustakaan, tapi isinya di dominasi buku pelajaran, yang jelas saja hanya kubaca saat membutuhkan. Menjelang ujian, misalnya. Dan masuk ke jenjang SMA, perpustakaan kami lebih bersahabat. Ada banyak komik dan novel yang bisa kami nikmati. Hobi membacaku sedikit tersalurkan disini. Layaknya remaja lainnya, masa SMA identik dengan kata cinta. Tapi cinta yang kupunya, bukan sekedar ungkapan kata. Ia mengalir lembut pada lembaran-lembaran surat sebagai curahan perasaan, bait-bait puisi yang membuat merona saat membaca. Iya, teman SMA yang awalnya mengaku sahabat, akhirnya mengaku hadirnya rasa cinta. Semua puisi dan ungkapan hatinya mengusikku untuk membalas, menuangkan berbaris-baris nada, lewat puisi atau sekedar cerita. Hanya untuknya.

Dan sekarang? Aku masih suka membaca, apa saja yang aku penasaran tentangnya. Dimana saja, tak peduli lelah melanda. Aku suka membaca. Karena membaca bagiku seperti membuka jendela dunia. Kita bisa menatap jauh ke depan, alam semesta, pemandangan, pengetahuan, motivasi, apapun yang terpampang di dalamnya. Buku dan tulisan bisa membawaku keliling dunia. Mengunjungi eksotisme paris, sisi islami bumi eropa, dan sebagainya. Everything is possible with reading.

#Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis di blog Mukhofasalfikri.com dengan tema menulis pengalaman membaca 
#Tulisan ini disusun untuk belajar menulis dan memantaskan diri sebagai penulis, bukan sekedar berharap menjadi pemenang. :-)

#ODOP
#MenulisSetiapHari

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©