Monday, 16 May 2016

Surat Buat Hasna 14

| |





Bahagia? Benarkah Rahman Bahagia?

Lalu bagaimana dengan dirinya? Bahagiakah dengan keputusan pisah?

 Kata-kata Rahman terus terngiang di kepalanya.


Hari-hari selanjutnya dilalui ibarat pesakitan. Ramadhan ini tak jauh berbeda dengan Ramadhan sebelumnya, bahkan lebih buruk. Tubuhnya semakin kurus, perawatan wajah yang rutin ia lakukan tak mampu menyembunyikan kesan tirus dan berat beban hidup di sorot matanya. 

Jiwanya terasa kian hampa, puasa ia jalani sebagai kewajiban semata. Sahur jarang ditekuninya, Hasna tak setiap saat diperhatikannya. Bahkan anak itu lebih dekat dengan nenek dan tetangga dibanding dengan bundanya. Meski hal itu sama sekali tidak mengganggu pikirann, semua itu jelas membuatnya terlihat jauh dari kesan bahagia. Entah pantas disebut apa Finda sekarang, mayat berjalan atau boneka hidup, tak satupun istilah menyenangkan dapat ia sandang.

Tiga bulan lalu, ia mengira keputusannya untuk pulang kerumah orang tua dapat meluluhkan hati Rahman. Membuat lelaki itu membujuknya kembali pulang dan berusaha mencari pekerjaan. Bukan, ia bukan ingin sekedar uang. Ia ingin lelaki yang menjadi suaminya itu tampak mapan. Sehingga tak ada lagi cemoohan teman yang harus ia dengarkan. Ia tak tahan setiap kali ada temannya yang bertanya,

“Suamimu sekarang kerja dimana?”

Jika ia menjawab pengangguran, sudah pasti itu hanya menghancurkan reputasinya yang dulu selalu berhasil menggaet pria kaya, sebagai simbol kemapanan.  Tapi jika ia harus berbohong, sampai kapan ia harus menyembunyikan kebenaran tentang suaminya? Atau, bagaimana jika mereka tahu, bahwa Rahman yang sekarang tak segagah dan sekaya dulu? Lalu bagaimana ia kan tutupi rasa malu?

Itulah mengapa ia memilih pulang kerumah. Tapi apa yang diharapkannya tak sesuai kenyataan. Caranya merajuk dengan pulang kali ini, tak mampu menggoyahkan hati Rahman. Suaminya itu, justru membiarkan. Semakin jengkel ia melihat kenyataan itu, semakin kuat setan mempengaruhinya untuk minta cerai. Buat apa mempertahankan rumah tangga yang tak lagi bisa dibanggakannya?

Bahagia? Benarkah Rahman Bahagia?

Tak banyak yang diketahuinya soal Rahman setelah ia pulang. Hanya tiga atau empat kali kembali menemui Rahman, untuk minta uang. Dua kali pertama, Rahman masih memberi. Ketiga kalinya, Rahman bilang tak punya uang. Lalu saat itu ia menemukan HP Rahman tergeletak di meja. Iseng dibukanya kotak pesan. SMS terakhir cukup membuatnya terkejut, dari Risa! 

Siapa dia? 

Sejak kapan Rahman punya teman perempuan bernama Risa? Kenapa SMS itu bicara soal Rumah sakit? Lalu kemarin, Rahman terlihat pucat. Apa hubungannya semua ini? Finda benar-benar bingung, terlebih ketika menyadari kenapa harus memikirkan soal Rahman sejauh ini? Bukankah ia sudah memutuskan minta cerai?

Sekarang, keraguan datang menyergap saat ia sudah mengambil keputusan. Ia bimbang, haruskah memutar haluan?


***
Siang ini terasa terik di kota Yogyakarta. Buliran peluh mengalir dibalik kerudung yang kukenakan. Terasa panas sudah di kepala. Meski waktu menunjuk angka 14.00, udara panas dan pengap seolah memaksa setiap muslim yang sedang berpuasa untuk berbuka. Apalagi beberapa warung di sela jalanan Malioboro masih buka walau setengah tirainya seolah ingin menyembunyikan pengunjung yang tak segan bersua. 

Mungkin mereka para musafir yang sedang mengambil rukhshoh atau keringanan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan untuk mengganti puasa di hari lain. Atau para wisatawan yang non islam. Bukankah mereka juga perlu makan? Batinku menelan ludah saat tak sengaja melihat gelas-gelas melelehkan butiran air, tampak begitu menggiurkan diatas meja mereka. Melelehkan air liur.   

Meski sekilas saja, percayalah, bagi orang yang sedang berpuasa itu sudah cukup menggoda.

Aku tidak sedang ingin belanja hari ini. Hanya sedang menunggu Syamsi, orang luar jawa yang kukenal lewat salah satu group kuliah online bertandang ke kota pelajar sejak tiga hari kemarin. Sedangkan besok ia harus kembali. Kebetulan kemarin ada jadwal seminar di kampus, sehingga aku tidak sempat menemuinya. Lalu ia memaksa hari ini ditemani jalan ke Malioboro. Jadwal belanja oleh-oleh, katanya. Mau tak mau, aku tak bisa menolak. Hari ini jadawlku baru kosong ba’da dhuhur, jadi ia harus mau jalan setelah dhuhur. Hitung-hitung sekalian ngabuburit, pikirku.


#Bersambung ke Surat Buat Hasna 15
#ODOP

14 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Ditunggu kelanjutannya

denik said...

Denger Malioboro jd kangen.

Lisa Lestari said...

Finda jadi ragu ragu

Lisa Lestari said...

Finda jadi ragu ragu

Sang Mahadewa said...

Kota Yogya selalu menarik utk dijadikan seting latar.
Keren mbk Sakifah

Nychken Gilang said...

Yogya kota penuh cinta

RahimDani said...

Owhm. Gitu toh alasannya si Mas Rahman ditinggalkan...
Ya Nasib lah

Sakif said...

baik mba..

Sakif said...

sini maen sini..hehe

Sakif said...

sepertinya...hmm

Sakif said...

cieeh,,penuh cinta.
tak jauh beda dengan bandung yang penuh bunga ya
*eh

Sakif said...

Nasib apa mas, nasib pengangguran? Heu.. harusnya kan ga gitu -__ *Loh

Sakif said...

dimanapun bisa jadi latar kan mas? hehe

Dewie dean said...

Hemmm finda pasti nyesal. Penyesalam datang terlambat. Kalau dtng duluan namanya pndaftaran hahah

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©