Bahagia?
Benarkah Rahman Bahagia?
Lalu
bagaimana dengan dirinya? Bahagiakah dengan keputusan pisah?
Kata-kata Rahman terus terngiang di kepalanya.
Hari-hari selanjutnya
dilalui ibarat pesakitan. Ramadhan ini tak jauh berbeda dengan Ramadhan
sebelumnya, bahkan lebih buruk. Tubuhnya semakin kurus, perawatan wajah yang
rutin ia lakukan tak mampu menyembunyikan kesan tirus dan berat beban hidup di
sorot matanya.
Jiwanya terasa kian hampa, puasa ia jalani sebagai kewajiban
semata. Sahur jarang ditekuninya, Hasna tak setiap saat diperhatikannya. Bahkan
anak itu lebih dekat dengan nenek dan tetangga dibanding dengan bundanya. Meski
hal itu sama sekali tidak mengganggu pikirann, semua itu jelas membuatnya
terlihat jauh dari kesan bahagia. Entah pantas disebut apa Finda sekarang,
mayat berjalan atau boneka hidup, tak satupun istilah menyenangkan dapat ia
sandang.
Tiga bulan lalu, ia
mengira keputusannya untuk pulang kerumah orang tua dapat meluluhkan hati
Rahman. Membuat lelaki itu membujuknya kembali pulang dan berusaha mencari
pekerjaan. Bukan, ia bukan ingin sekedar uang. Ia ingin lelaki yang menjadi
suaminya itu tampak mapan. Sehingga tak ada lagi cemoohan teman yang harus ia
dengarkan. Ia tak tahan setiap kali ada temannya yang bertanya,
“Suamimu sekarang
kerja dimana?”
Jika ia menjawab
pengangguran, sudah pasti itu hanya menghancurkan reputasinya yang dulu selalu
berhasil menggaet pria kaya, sebagai simbol kemapanan. Tapi jika ia harus berbohong, sampai kapan ia
harus menyembunyikan kebenaran tentang suaminya? Atau, bagaimana jika mereka
tahu, bahwa Rahman yang sekarang tak segagah dan sekaya dulu? Lalu bagaimana ia
kan tutupi rasa malu?
Itulah mengapa ia
memilih pulang kerumah. Tapi apa yang diharapkannya tak sesuai kenyataan.
Caranya merajuk dengan pulang kali ini, tak mampu menggoyahkan hati Rahman.
Suaminya itu, justru membiarkan. Semakin jengkel ia melihat kenyataan itu,
semakin kuat setan mempengaruhinya untuk minta cerai. Buat apa mempertahankan
rumah tangga yang tak lagi bisa dibanggakannya?
Bahagia?
Benarkah Rahman Bahagia?
Tak banyak yang
diketahuinya soal Rahman setelah ia pulang. Hanya tiga atau empat kali kembali
menemui Rahman, untuk minta uang. Dua kali pertama, Rahman masih memberi.
Ketiga kalinya, Rahman bilang tak punya uang. Lalu saat itu ia menemukan HP
Rahman tergeletak di meja. Iseng dibukanya kotak pesan. SMS terakhir cukup
membuatnya terkejut, dari Risa!
Siapa dia?
Sejak kapan Rahman punya teman
perempuan bernama Risa? Kenapa SMS itu bicara soal Rumah sakit? Lalu kemarin,
Rahman terlihat pucat. Apa hubungannya semua ini? Finda benar-benar bingung,
terlebih ketika menyadari kenapa harus memikirkan soal Rahman sejauh ini?
Bukankah ia sudah memutuskan minta cerai?
Sekarang, keraguan datang menyergap saat ia sudah mengambil keputusan. Ia bimbang, haruskah memutar haluan?
***
Siang ini terasa terik
di kota Yogyakarta. Buliran peluh mengalir dibalik kerudung yang kukenakan.
Terasa panas sudah di kepala. Meski waktu menunjuk angka 14.00, udara panas dan
pengap seolah memaksa setiap muslim yang sedang berpuasa untuk berbuka. Apalagi
beberapa warung di sela jalanan Malioboro masih buka walau setengah tirainya
seolah ingin menyembunyikan pengunjung yang tak segan bersua.
Mungkin mereka
para musafir yang sedang mengambil rukhshoh
atau keringanan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan untuk mengganti puasa
di hari lain. Atau para wisatawan yang non islam. Bukankah mereka juga perlu
makan? Batinku menelan ludah saat tak sengaja melihat gelas-gelas melelehkan
butiran air, tampak begitu menggiurkan diatas meja mereka. Melelehkan air liur.
Meski sekilas saja, percayalah, bagi
orang yang sedang berpuasa itu sudah cukup menggoda.
Aku tidak sedang ingin
belanja hari ini. Hanya sedang menunggu Syamsi, orang luar jawa yang kukenal
lewat salah satu group kuliah online bertandang ke kota pelajar sejak tiga hari
kemarin. Sedangkan besok ia harus kembali. Kebetulan kemarin ada jadwal seminar
di kampus, sehingga aku tidak sempat menemuinya. Lalu ia memaksa hari ini
ditemani jalan ke Malioboro. Jadwal belanja oleh-oleh, katanya. Mau tak mau,
aku tak bisa menolak. Hari ini jadawlku baru kosong ba’da dhuhur, jadi ia harus
mau jalan setelah dhuhur. Hitung-hitung sekalian ngabuburit, pikirku.
#Bersambung ke Surat Buat Hasna 15
#ODOP
14 comments:
Ditunggu kelanjutannya
Denger Malioboro jd kangen.
Finda jadi ragu ragu
Finda jadi ragu ragu
Kota Yogya selalu menarik utk dijadikan seting latar.
Keren mbk Sakifah
Yogya kota penuh cinta
Owhm. Gitu toh alasannya si Mas Rahman ditinggalkan...
Ya Nasib lah
baik mba..
sini maen sini..hehe
sepertinya...hmm
cieeh,,penuh cinta.
tak jauh beda dengan bandung yang penuh bunga ya
*eh
Nasib apa mas, nasib pengangguran? Heu.. harusnya kan ga gitu -__ *Loh
dimanapun bisa jadi latar kan mas? hehe
Hemmm finda pasti nyesal. Penyesalam datang terlambat. Kalau dtng duluan namanya pndaftaran hahah
Post a Comment