Finda tak peduli. Luka di hatinya lebih berdarah-darah. Pertemuan dengan
Rahman tadi pagilah penyebab hatinya keruh siang ini.
Sesaat ia tertegun,
melihat Hasna meraung kesakitan. Apa yang
terjadi? Terkesiap, dadanya berdesir, jantungnya berdegup kencang.
”Apa yang kulakukan?” Batinnya bertanya gusar. Melihat Hasna
menangis semakin membuatnya bingung. “Jangan,
jangan terus disini! Jauhkan dirimu dari Hasna!” Batinnya berteriak lagi.
Ia berlari, membuka pintu kamar. Sesaat kemudian membantingnya. Lalu
menjatuhkan diri di tempat tidur. Menutup wajahnya dengan bantal. Ia ingin
berteriak, melihat semua kejadian tadi pagi diputar ulang dalam kepalanya.
***
Pagi,
Sudah sebulan ini ia
tak menerima nafkah sepeserpun dari Rahman. Ramadhan begini, harga kebutuhan
pokok naik semua. Kebutuhan susu dan pampers buat Hasna sudah menipis.
Sementara itu, gajinya sebagai guru sukuan yang tak seberapa memang sekarang
sudah cukup buat memenuhi kebutuhan hidupnya, tapi akan semakin menipis kalau
dipakai buat keperluan Hasna juga. Keperluan Hasna kan tanggung jawab ayahnya.
***
Tok...tok...tok....
“Assalamu’alaikum, Man.. Rahman....” beberapa detik
menunggu, tak ada suara, apalagi tanda pintu akan dibuka.
Tok..tok..tok...
“Man, ini aku. Bukain pintunya man.....” ia mulai sebal. Kemana Rahman? Paling masih tidur. Hufft, ga
berubah juga nih orang. udah pengangguran, pemalas pula!
“Maan....bukain pintu...” ia berteriak kali ini, baru mau mengetuk
lagi kesekian kali, tiba-tiba..
“Ish, apasih teriak pagi-pagi. Ga malu didenger tetangga?
Haa?!” Rahman muncul dengan rambut acakadul, masih bersarung dan kaos oblong.
Namun suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tak suka. Rahman bukan type lelaki
temprament, tak biasanya iai membentak.
Tapi kali ini?
Sebentar, mukanya pucat. Rahman sakit? Finda hanya bertanya
dalam hati. Kalah dengan emosi yang terlanjur menguasai.
“Kamu sih, dipanggilin dari tadi bukannya cepet buka pintu.
Jam segini masih tidur, ha?” Suara Finda tak kalah tinggi. Matanya menantang
Rahman.
“Eh, dasar perempuan tak tahu diuntung!! Mau apa kamu
kesini? Hah?? Ngga capek ya ngrecokin hidupku? Udah sana pergi. Aku ngga punya
recehan buat kamu!” Rahman berteriak tak kalah sengit. Pertengkaran kali in
itak bisa dihindari.
“EEEhhhhh....enak aja!! Hasna itu tanggung jawab kamu! Mana
uangnya, aku mau beliin susu sama roti buat dia!” Finda tak ragu menengadahkan
tangan. Dengan menatap mata Rahman tajam. Ia tak mau kalah.
“Heh, denger baik-baik ya Fin, aku ngga akan lagi kasih
kamu uang! Ngga peduli itu buat keperluan Hasna atau kamu, atau mungkin
keluarga besarmu. Aku sudah muak dengan kalian semua! Dan satu lagi, jangan
pernah injakkan kakimu dirumah ini lagi. Kita sudah cerai. Ingat? Urusan kita
selesai!” rahman mengatakan kalimat terakhirnya dengan mengacungkan telunjuk
tepat didepan mata Finda. Lima detik kemudian, ditatapnya Finda tajam, tanpa
suara. Lalu..
Brakk!!!
Pintu tertutup.
Finda masih mematung. Tak menyangka ia akan kalah hari ini.
Rahman biasanya lembut dan baik hati. Meminta uang berapapun pasti diberi. Tapi
kali ini? Rahman sudah jauh lebih berani.
Ini tak bisa dibiarkan. Ia menggedor pintu lagi,
berkali-kali.
“Rahman, dengar!! Aku ngga akan pergi sebelum kamu kasih uang
buat Hasna! Hasna anak kamu..!!!” brak....brak..brak..ia masih menggedor pintu.
Tak berhenti sampai pintu itu terbuka.
“Oh, kamu ngga mau pergi? Oke, terserah!! Sekarang apa
maumu?” Rahman menantang Finda.
“Aku yakin, kamu pasti punya uang, kan? Cuma pura-pura aja
ngga mau kasih? Hah? Sudahlah Rahman, kalau kamu ngga mau kasih, aku mau cari sendiri uangmu disini!. Jangan
halangi!” Finda melangkah maju, menyingkirkan Rahman dan masuk ke rumah itu.
Rumah yang seharusnya menjadi surga bagi keluarga kecilnya.
Kini kosong, terasa hampa. Tetiba Rahman menahan langkahnya, mencengkeram
lengannya kuat.
“Uang, uang, uang terus!! Heh, kamu ngga punya hak masuk rumah ini lagi! Keluar sekarang
atau aku akan menyeretmu!” Suara Rahman, jelas dan tegas. Terasa menyayat,
tepat didepan telinganya.
Seumur pernikahan mereka, tak pernah sekalipun Rahman
bersikap sekeras ini. Lengannya mulai sakit, ia merintih tertahan. Menambah hampa
suasana hatinya.
“Rahman, lepaskan! Kenapa kamu jadi begini? Iya, kita
cerai, tapi kan belum resmi?” air mata perlahan memenuhi kelopak matanya.
“Hah? Belum resmi? Kamu pikir resmi versi siapa? Pengadilan
agama?? Ingat Finda, aku sudah tandatangani surat cerai itu, jangan pernah berharap
kita bisa bersama lagi. Catat baik-baik di kepalamu, aku bahagia dengan
keputusanmu untuk cerai dariku! aku ba-ha-gi-a!”
Rahman mengulang kata terakhirnya perlahan, dengan suara tetap tegas.
"Jangan pernah datang lagi kesini, atau kamu akan tahu akibatnya!" Lalu melepaskan cengkeraman tangan Finda, mendorongnya keluar. Finda menangis tertahan.
***
Bahagia?
Benarkah Rahman Bahagia?
Lalu bagaimana
dengan dirinya? Bahagiakah dengan keputusan pisah darinya?
Kata-kata Rahman
terus terngiang di kepalanya. Membuat hatinya semakin perih dirasa.
Bersambung ke Surat Buat Hasna 14
Bersambung ke Surat Buat Hasna 14
4 comments:
Mungkin Finda jg bahagia
gemes sama dua-duanya. "berisikk!!!" Kata tetangga di samping rumah, yang didepan juga, trus yang di belakang apa lagi, syukur yang di atas nggak ikut-ikutan..berabe jadinya ntar.. hehehe
pecahkan saja piringnya biar ramai..biar gaduh sampai beradu!
*ngelap keringat ah..lelah jg jadi kompor. Mantap mba..hatiku ikutan panas bacanya.
itulah, kata kata saat kesal suka lepas kontrol huhu
Pas diadegan yang ini jd ingat seseorng.
Post a Comment