“Kenapa, ada apa?”
“Pilihin satu kaos
dong... mana yang lebih bagus menurutmu?”
“Yaelah mas, pilih
ndiri napa? Cocok semua itu buat masnya.... “ Aku memilih memanggilnya mas,
bukan karena menganggapnya seperti kakak. Tapi lebih karena....., karena dia
lebih tinggi dariku. Itu saja. Aku bahkan tak tahu usianya, lebih muda atau
lebih tua? Lagipula, apa bedanya?.
“ Yaudah ngga jadi
aja,” Ia nampak kecewa dan melangkah lagi. Lurus ke selatan.
“Eeeehhh....???” Aku
menarik tas ranselnya untuk menepi. Mencegah kemacetan di gang sempit ini.
“Masnya mau beli kaos? Yaudah beli aja...kenapa ngga jadii?”
“Engga, gapapa. Nanti
aja.” Jawabnya enteng. Tapi ekspresinya jelas sekali bagiku, “Ga papa” yang dia
maksud berarti “kenapa-kenapa”.
“Iya deh, nanti di
depan ku pilihin. Satu doang, ga kurang?” Aku mengalah. Ia tersenyum menang.
Amboi, setengah jam yang lalu aku bertemu dengannya di alam nyata, baru kali
ini ia tersenyum lepas, atau aku yang terlambat menyadari, bahwa senyumnya
begitu mempesona? Aku memejamkan mata. Merekam setiap goresan. Lalu mengalihkan
pandangan.
Ia sudah melangkah
lagi didepanku. Aku mengikutinya. Benar saja, ia berhenti lagi di penjual kaos
berikutnya. Terpaksa, aku menepati janji memilihkan kaos untuknya. Satu warna
hitam, satu krem, satu warna abu-abu, dan satu lagi warna biru dongker. Empat
kaos, membuatnya mendapat diskon spesial dari sang penjual. Ia tampak bahagia.
Ah, aku tak menyangka bahwa cara membuatnya bahagia begitu sederhana. Terpaksa?
Ah tidak, aku senang memilih sesuatu untuknya. Setidaknya itu berarti, ia
menganggapku ada. Sang upik abu.
Kami melangkah lagi,
dengan ia tetap didepanku. Setelah memborong gantungan kunci, souvenir, dan
macam-macam gelang dari benang, ia mulai tampak lelah. Aku juga, sebenarnya.
“Shalat yuk, dimana?”
uff, hampir saja!
Kalau saja ia tak bersuara setelah berhenti melangkah tanpa
aba-aba, aku pasti sudah menabraknya. Mataku memang sedang lihat ke tumpukan
baju batik di seberang sih, jadi ngga fokus
kedepan.
“Ehh? Eng... bilang
apa tadi?” aku gelagapan.
“Hmm, makanya jangan
ngelamun. Shalat, yuk? Dimana?” Ohh.... ia tertawa cekikikan. Dan.... sangat
tampan. Memaksaku untuk menundukkan pandangan.
“Eng... disana, sebelah selatan pasar bringharjo trus
belok ke timur. Yuk!” kali ini aku melangkah melewatinya. Daripada nunggu dia,
kan? Aku yang tahu arah, bukan dia.
Jam memang sudah
menujuk angka 16.00, belanja memang sangat menyita waktu, ternyata. Kami sudah
terlambat menunaikan shalat ashar. Tapi tak apa. Masih ada waktu. Lima menit
kemudian, kami sudah sampai di masjid Al-Muttaqien. Ia menuju tempat wudhu
pria, tentu saja. Dan aku ke arah sebaliknya. Sekitar setengah lima, kami
selesai.
“Kemana sekarang?”
Tanyaku.
“Ngabuburit. Buka setengah
enam kan hari ini di jogja?” ia balik bertanya.
“Iya, mau kemana?”
“Paling dekat dari
sini, mana?” Hmm, aku hampir lupa. Dia kan orang asing disini.
“Altar aja, ya?”
Tawarku.
#Bersambung ke Surat Buat Hasna 17
#ODOP
16 comments:
Makasih mba. Sudah ajak kami jalan2. Ditunggu kisah berikutnya.😀😀😀
Makasih mba. Sudah ajak kami jalan2. Ditunggu kisah berikutnya.😀😀😀
De Kifah....ajak aku lagi ke Malioboro
Bahasanya enak diikuti euy.. Ngalir banget..
Lanjutkan terus, mbak..
Suka suka. Serasa aku yg menemani masnya
aku juga mau diajak k jogja.. 😊😊
ayuk mbaaak..kapan mudik?? aq puasa full di jogja
makasih bang semangatnya,, jejaknya, dan semua ilmunya,, jazakallah bi ahsan jaza'
boleh mba wid temani sekalian..hehe
bolehlaah,,..ayo tak tunggu disini yaa
Huaaa jogjaaa... Dekeettt...
Jogja mah gitu.. bikin baper..😂😂😂
Mbk Sakifah, ini Yogya bangetttt ...
Suka bacanya!
Wah... di jogja setting tempatnya. Selalu pingin kesana.
Aku setuju dgn Bang Syaiha. Ngalir bagai air...
Awas kecebur!!! He..
Jadi pengen ke bringharjo lagi. Gudeg...
Post a Comment