“Altar?
Gereja?” ia mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Percayalah, sejelek apapun
ia berusaha memasang tampang, tetap tampak begitu tampan dimataku. Astaghfirullah... aku sadar, ini
kesekian kalinya mata dan otak gagal fokus. Apa efek puasa? Pasti bukan! ini
kerjaan otak jahil.
“He..
bukan. Altar itu singkatan dari Alun-alun utara. Jogja kan punya dua alun-alun
yang mengapit keraton. Satu Altar, satunya Alkid, alun-alun kidul. Kidul itu
artinya selatan, bahasa jawa mas.” Suara kubuat sedatar mungkin. Aku tak ingin
ada kesan menggoda, meski dalam suara. Ingat, aku bukan siapa-siapa. Ia hanya
teman, titik.
“Oooo....”
Kami
melewati jalanan selatan Beringharjo yang tak sepanas siang tadi, menuju titik
Nol Kilometer. Di perempatan kantor pos besar inilah salah satu titik pusat
kota yogyakarta. Pusat kota satu lagi adalah perempatan tugu, dengan Tugu atau
monumen kecil tepat di tengah jalan. Simbol kota Yogyakarta.
Monumen
tugu biasa dijadikan miniatur untuk souvenir pernikahan, gantungan kunci, motif
sablon yang diaplikasikan pada kaos, latar iklan, dan sebagainya. Berbagai
souvenir dan motif tugu masih ditambah dengan tulisan “i love jogja”, begitu
biasanya. Lalu dibawa pulang oleh para wisatawan yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia, bahkan mancanegara. Saking terkenalnya tugu sebagai simbol
kota budaya. Tapi tentu saja, tugu aslinya tak pernah kemana-mana, kasihan ya?
Konon,
kedua titik Nol kilometer ini jika ditarik garis lurus ke selatan maka akan
membuat garis lurus dengan keraton, kandang menjangan, dan pantai parang
tritis, tempat Nyi Roro Kidul bersemayam. Lalu jika ditarik garis lurus ke
utara, akan melintasi jalan malioboro, tugu, dan lurus terus menyentuh puncak
merapi.
Satu
garis lurus yang unik, menimbulkan berbagai mitos jawa yang didengungkan dalam
berbagai kisah wayang dan legenda. Aku tak banyak tahu tentang itu semua.
Hanya, kata orang garis lurus itu sama uniknya dengan garis yang membelah kota
paris.
Menurut
sejarah, Napoleon Bonaparte membangun Gerbang Arc de Triomphe du Carrousel
segaris lurus dengan air mancur besar, jalan Champs-Elysees dan Monumen Obelisk di Mesir. Lalu jika ditarik
garis lurus lagi keluar dari batas negara, akan bertemu dengan titik dimana
pusat perputaran dunia berada. Kutub utara? Bukan. Tapi Mekkah jawabannya. Iya,
ka’bah tepatnya.
Soal
garis lurus antara jogja dan paris, sepertinya kedua kota ini punya kemiripan
ya? Bedanya, garis lurus yang terbentuk di kota jogja dari pantai parang tritis
hingga keraton, malioboro, tugu, dan gunung merapi tidak berakhir di titik yang
sama. Iya, tidak menuju Ka’bah di Mekkah. Entah, mungkin jika lurus lagi ke
utara dan menembus batas negara, bisa menyentuh kutub utara. Boleh di cek di
peta., karena jujur aku belum pernah melakukannya.
Pikiranku
kemana-mana sementara kaki kami melangkah dalam diam, perlahan meninggalkan
keramaian di pusat belanja kota jogja. Tepat di sebelah selatan pasar
beringharjo sebagai tanda berakhirnya area belanja malioboro, ada sebuah museom
peninggalan VOC yang disebut Benteng Vredeburg. Kulihat Syamsi berhenti sekitar
sepuluh langkah di depanku. Apakah aku berjalan terlalu lambat hingga
tertinggal sejauh itu? Aku tetap melangkah santai, membiarkannya memperhatikan langkahku.
Salah sendiri langkahnya panjang-panjang.
“Kesitu,
yuk?” Katanya setelah aku cukup dekat. Matanya menatapku penuh harap. Siapa
bisa menolaknya? Batinku.
“Tapi
museumnya tutup jam lima, gapapa?” Aku sedikit ragu. Melihat jam tangan,
sekarang pukul 16.33, masih ada waktu sekitar dua puluh tujuh menit lagi.
Khawatir dia belum puas di dalam nanti.
“Oke, yuk.” Dia mengangguk mantap. Lalu
melangkah lagi, kali ini lebih pelan. Mungkin khawatir aku tertinggal terlalu
jauh lagi. Dan kali ini, aku juga berusaha memanjangkan langkah, meski masih
tak sejajar.
Setelah
membayar tiket Rp. 5000,- per orang, kami masuk. Museum ini terbagi di dua
sisi, kanan dan kiri. Selatan dan utara, karena letaknya di sebelah timur
jalan. Tepat di depan Gedung Agung.
Benteng
ini dibangun tahun 1767 oleh Frans Haak. Digunakan sebagai pusat pemerintahan
dan pertahanan residen Belanda kala itu. Dengan deikelilingi parit yang
sebagian bekasnya direkonstruksi dan dapat dilihat hingga sekarang.
Sebelum
dibangun benteng Vredeburg yang sekarang, sebelumnya Sultan HB 1 sudah
membangun benteng berbentuk persegi yang memiliki empat pos penjagaan yang
disebut seleka atau bastion di setiap sudutnya. Sultan memberi nama
masing-masing sudut tersebut sebagai
Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut),
Jayaprokasaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).
Bangunan yang disebut benteng itu masih berdinding tanah dan beratap ilalang.
Belanda
yang sejatinya ingin menguasai Yogya berusaha mempengaruhi keraton agar
mengizinkan mereka membangun benteng dengan dalih menjaga keamanan rakyat.
Letak benteng yang hanya sejauh satu tembakan meriam menuju keraton dan tepat
di pusat kota, menandakan bahwa benteng ini dapat dimanfaatkan sebagai benteng
strategi, intimidasi, penyerangan, dan blokade sekaligus. Belanda bermaksud
berjaga-jaga jika kerajaan berbalik memusuhi Belanda, mereka akan mudah
melumpuhkan kerajaan.
Kini,
keadaan benteng itu sudah jauh lebih baik setelah mendapat sentuhan arsitek
Belanda. Kami menikmati setiap galeri yang disajikan mulai dari dinding
perunggu berukir wajah pahlawan nasional di puntu masuk gedung utara, lalu ornamen
dan miniatur berbagai peristiwa sejarah yang dibingkai dalam ruang-ruang kaca
kecil. Membuat setiap pengunjung marasakan suasana perjuangan para pahlawan
kala itu.
Lalu
menuju gedung selatan, tak jauh beda. Sejarah berbagai organisasi ada disana. Bagaimana
para tokoh pendiri Muhammadiyah mengadakan rapat, lengkap dengan patung kecil
sebagai miniatur para hadirin dan desain ruang joglo. Kuperhatikan Syamsi
begitu antusias membaca berbagai keterangan yang ada disetiap galeri. Mengambil
beberapa foto dengan kamera DSLR yang dibawanya.
Sementara,
ini kedua kalinya aku datang ketempat ini. Setelah hampir diujung, aku
mengisyaratkan padanya akan menunggu diluar. Sementara ia masih membaca, ia tak
keberatan.
Waktu
terus berjalan, tanpa peduli siapa kamu.
Hampir
jam lima, penjaga sudah memberi peringatan kepada pengunjung. Aku memilh duduk
di taman depan museum. Memperhatikan para pengunjung yang kebanyakan
berpasangan atau membawa serta keluarga mereka mulai bersiap keluar. Sepertinya
seru ya, berjalan bersama pasangan?
“Yuk?”
Syamsi sudah berdiri di dekatku. Entah kapan lelaki ini mendekat,a ku tak
menyadarinya sampai ia bersuara.
“Eh,
ayuk.” Jawabku. Lalu berdiri dan mengikutinya dibelakang barisan pengunjung yang
sepertinya, rombongan keluarga chinese.
Sampai
di gerbang museum, kami belok kiri. Dua puluh meter kemudian, tepat di depan
Monumen Sebelas Maret Syamsi berhenti dan tampak berbicara dengan seseorang.
Aku mendekati mereka. Syamsi menyerahkan kamera pada lelaki di depannya.
“Risa,
satu fota ngga papa ya?” Ia mengatakan itu saat aku sudah dekat.
“Hah,
maksudnya?” Aku tak paham.
#BERSAMBUNG ke Surat Buat Hasna 18
#ODOP
8 comments:
I miss u yogya
BTW satu fota ITU APA? Aku foto maksudnya?
Lebih juga ndak apa2. 😀😀😀
Pasti Risa senang bnget deh... He.
Iya foto mbak...typo.he
Besok.episode terpanjang..hehe
jogja, buatku pengen kesana lagi
jogja, buatku pengen kesana lagi
Asli ini aku Baper pngen ke jogja. Jogja mistiknya kuat bgt smpe2 nggk bisa move on
Post a Comment