Thursday, 19 May 2016

Surat Buat Hasna 17

| |



“Altar? Gereja?” ia mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Percayalah, sejelek apapun ia berusaha memasang tampang, tetap tampak begitu tampan dimataku. Astaghfirullah... aku sadar, ini kesekian kalinya mata dan otak gagal fokus. Apa efek puasa? Pasti bukan! ini kerjaan otak jahil.

“He.. bukan. Altar itu singkatan dari Alun-alun utara. Jogja kan punya dua alun-alun yang mengapit keraton. Satu Altar, satunya Alkid, alun-alun kidul. Kidul itu artinya selatan, bahasa jawa mas.” Suara kubuat sedatar mungkin. Aku tak ingin ada kesan menggoda, meski dalam suara. Ingat, aku bukan siapa-siapa. Ia hanya teman, titik.

“Oooo....”

Kami melewati jalanan selatan Beringharjo yang tak sepanas siang tadi, menuju titik Nol Kilometer. Di perempatan kantor pos besar inilah salah satu titik pusat kota yogyakarta. Pusat kota satu lagi adalah perempatan tugu, dengan Tugu atau monumen kecil tepat di tengah jalan. Simbol kota Yogyakarta.

Monumen tugu biasa dijadikan miniatur untuk souvenir pernikahan, gantungan kunci, motif sablon yang diaplikasikan pada kaos, latar iklan, dan sebagainya. Berbagai souvenir dan motif tugu masih ditambah dengan tulisan “i love jogja”, begitu biasanya. Lalu dibawa pulang oleh para wisatawan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan mancanegara. Saking terkenalnya tugu sebagai simbol kota budaya. Tapi tentu saja, tugu aslinya tak pernah kemana-mana, kasihan ya?

Konon, kedua titik Nol kilometer ini jika ditarik garis lurus ke selatan maka akan membuat garis lurus dengan keraton, kandang menjangan, dan pantai parang tritis, tempat Nyi Roro Kidul bersemayam. Lalu jika ditarik garis lurus ke utara, akan melintasi jalan malioboro, tugu, dan lurus terus menyentuh puncak merapi.

Satu garis lurus yang unik, menimbulkan berbagai mitos jawa yang didengungkan dalam berbagai kisah wayang dan legenda. Aku tak banyak tahu tentang itu semua. Hanya, kata orang garis lurus itu sama uniknya dengan garis yang membelah kota paris.

Menurut sejarah, Napoleon Bonaparte membangun Gerbang Arc de Triomphe du Carrousel segaris lurus dengan air mancur besar, jalan Champs-Elysees dan  Monumen Obelisk di Mesir. Lalu jika ditarik garis lurus lagi keluar dari batas negara, akan bertemu dengan titik dimana pusat perputaran dunia berada. Kutub utara? Bukan. Tapi Mekkah jawabannya. Iya, ka’bah tepatnya.

Soal garis lurus antara jogja dan paris, sepertinya kedua kota ini punya kemiripan ya? Bedanya, garis lurus yang terbentuk di kota jogja dari pantai parang tritis hingga keraton, malioboro, tugu, dan gunung merapi tidak berakhir di titik yang sama. Iya, tidak menuju Ka’bah di Mekkah. Entah, mungkin jika lurus lagi ke utara dan menembus batas negara, bisa menyentuh kutub utara. Boleh di cek di peta., karena jujur aku belum pernah melakukannya.

Pikiranku kemana-mana sementara kaki kami melangkah dalam diam, perlahan meninggalkan keramaian di pusat belanja kota jogja. Tepat di sebelah selatan pasar beringharjo sebagai tanda berakhirnya area belanja malioboro, ada sebuah museom peninggalan VOC yang disebut Benteng Vredeburg. Kulihat Syamsi berhenti sekitar sepuluh langkah di depanku. Apakah aku berjalan terlalu lambat hingga tertinggal sejauh itu? Aku tetap melangkah santai, membiarkannya memperhatikan langkahku. Salah sendiri langkahnya panjang-panjang.

“Kesitu, yuk?” Katanya setelah aku cukup dekat. Matanya menatapku penuh harap. Siapa bisa menolaknya? Batinku.

“Tapi museumnya tutup jam lima, gapapa?” Aku sedikit ragu. Melihat jam tangan, sekarang pukul 16.33, masih ada waktu sekitar dua puluh tujuh menit lagi. Khawatir dia belum puas di dalam nanti.

 “Oke, yuk.” Dia mengangguk mantap. Lalu melangkah lagi, kali ini lebih pelan. Mungkin khawatir aku tertinggal terlalu jauh lagi. Dan kali ini, aku juga berusaha memanjangkan langkah, meski masih tak sejajar.

Setelah membayar tiket Rp. 5000,- per orang, kami masuk. Museum ini terbagi di dua sisi, kanan dan kiri. Selatan dan utara, karena letaknya di sebelah timur jalan. Tepat di depan Gedung Agung.

Benteng ini dibangun tahun 1767 oleh Frans Haak. Digunakan sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu. Dengan deikelilingi parit yang sebagian bekasnya direkonstruksi dan dapat dilihat hingga sekarang.

Sebelum dibangun benteng Vredeburg yang sekarang, sebelumnya Sultan HB 1 sudah membangun benteng berbentuk persegi yang memiliki empat pos penjagaan yang disebut seleka atau bastion di setiap sudutnya. Sultan memberi nama masing-masing sudut tersebut  sebagai Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprokasaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara). Bangunan yang disebut benteng itu masih berdinding tanah dan beratap ilalang.

Belanda yang sejatinya ingin menguasai Yogya berusaha mempengaruhi keraton agar mengizinkan mereka membangun benteng dengan dalih menjaga keamanan rakyat. Letak benteng yang hanya sejauh satu tembakan meriam menuju keraton dan tepat di pusat kota, menandakan bahwa benteng ini dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan, dan blokade sekaligus. Belanda bermaksud berjaga-jaga jika kerajaan berbalik memusuhi Belanda, mereka akan mudah melumpuhkan kerajaan.

Kini, keadaan benteng itu sudah jauh lebih baik setelah mendapat sentuhan arsitek Belanda. Kami menikmati setiap galeri yang disajikan mulai dari dinding perunggu berukir wajah pahlawan nasional di puntu masuk gedung utara, lalu ornamen dan miniatur berbagai peristiwa sejarah yang dibingkai dalam ruang-ruang kaca kecil. Membuat setiap pengunjung marasakan suasana perjuangan para pahlawan kala itu.

Lalu menuju gedung selatan, tak jauh beda. Sejarah berbagai organisasi ada disana. Bagaimana para tokoh pendiri Muhammadiyah mengadakan rapat, lengkap dengan patung kecil sebagai miniatur para hadirin dan desain ruang joglo. Kuperhatikan Syamsi begitu antusias membaca berbagai keterangan yang ada disetiap galeri. Mengambil beberapa foto dengan kamera DSLR yang dibawanya.

Sementara, ini kedua kalinya aku datang ketempat ini. Setelah hampir diujung, aku mengisyaratkan padanya akan menunggu diluar. Sementara ia masih membaca, ia tak keberatan.

Waktu terus berjalan, tanpa peduli siapa kamu.

Hampir jam lima, penjaga sudah memberi peringatan kepada pengunjung. Aku memilh duduk di taman depan museum. Memperhatikan para pengunjung yang kebanyakan berpasangan atau membawa serta keluarga mereka mulai bersiap keluar. Sepertinya seru ya, berjalan bersama pasangan?

“Yuk?” Syamsi sudah berdiri di dekatku. Entah kapan lelaki ini mendekat,a ku tak menyadarinya sampai ia bersuara.

“Eh, ayuk.” Jawabku. Lalu berdiri dan mengikutinya dibelakang barisan pengunjung yang sepertinya, rombongan keluarga chinese.

Sampai di gerbang museum, kami belok kiri. Dua puluh meter kemudian, tepat di depan Monumen Sebelas Maret Syamsi berhenti dan tampak berbicara dengan seseorang. Aku mendekati mereka. Syamsi menyerahkan kamera pada lelaki di depannya.

“Risa, satu fota ngga papa ya?” Ia mengatakan itu saat aku sudah dekat.

“Hah, maksudnya?” Aku tak paham.

#BERSAMBUNG ke Surat Buat Hasna 18
#ODOP

8 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

I miss u yogya
BTW satu fota ITU APA? Aku foto maksudnya?

Na said...

Lebih juga ndak apa2. 😀😀😀

RahimDani said...

Pasti Risa senang bnget deh... He.

Sakif said...

Iya foto mbak...typo.he

Sakif said...

Besok.episode terpanjang..hehe

Lisa Lestari said...

jogja, buatku pengen kesana lagi

Lisa Lestari said...

jogja, buatku pengen kesana lagi

Dewie dean said...

Asli ini aku Baper pngen ke jogja. Jogja mistiknya kuat bgt smpe2 nggk bisa move on

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©