“Besok
kalau nikah, jangan sembarangan pilih suami.” Air wajahnya berubah serius.
“Iya..
tenang aja... besok aku tanya mas deh kalau mau nikah, ya?”
“Jangan....”
“Loh??”
“Tanya
aja sama Allah, Dia yang lebih tau apa dan siapa yang terbaik untukmu. Percaya
padaNya, jangan ada ragu sedikitpun jika sudah mengambil keputusan.”
“Hemm.....baiklah.
sekarang apa lagi?” aku mendadak serius juga. Ngga enak kan lama-lama. Ntar
dikira apa...
“Udah,
yang tadi ku kasih buka aja nanti kalau sudah dirumah ya?”
“Oke,
siap.” Jawabku mantap. Sambil merapikan meja, tas, dan bersiap memakai jaket.
“Mas...?”
Kataku sambil menatapnya lurus. Serius.
“Hmm...Kenapa?”
Ia yang semula sudah ingin beranjak, jadi duduk menatapku lagi.
“Jaga
kesehatan ya...jalani yang terbaik aja. Allah pasti punya rencana.” Tatapanku
mencoba meyakinkannya. Aku tahu, di dalam hatinya seudah siap meninggalkan
semua isi dunia. Tapi bagaimanapun, ia hanya manusia biasa. Yang mungkin kadang
tak kuasa menghadai ketetapanNya.
Ia
mengangguk, tanpa kata.
Aku
berpamitan, beranjak menjauhi meja dan kursi yang tadi kami tempati. Namun
beberapa langkah, sesosok wanita berdiri mematung. Kakak masih jauh
dibelakangku. Membayar makanan di booth yang tadi kami pesan. Wanita itu, ...
menatapku.
Jelas
sekali, ia benar-benar menatapku. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Antara
heran, curiga, penasaran, entahlah. Tak ada beda. Mau tak mau, aku menatapnya
balik.
Siapa sih nih orang?
Mata,
wajah, penampilan...seperti..pernah kenal. Tapi
siapa?
Dahiku
mengernyit tanpa kata. Hanya berjarak sekitar dua meter dari tempatku berdiri.
Mata itu...penampilannya.. seperti...
“Nda.......”
Sebuah panggilan memecah keheningan kami. Seorang lelaki jauh berdiri di
seberang, melambai ke arah kami.
Perempuan
itu menoleh. Lalu mengangguk. Kembali menatapku sejenak, dengan pandangan
seolah...benci. aku tak mengerti. Siapa
dia? Lalu ia pergi, menuju lelaki itu. Menyerahkan telapak tangannya dan
diterima okeh lelaki yang tadi. Mereka pergi, bergandengan tangan.
“Dek,
masih disini?” Sebuah suara membuyarkan pandanganku.
“Eh?...”
Aku menoleh. Ternyata kakak.
“Itu
tadi.....” aku menunjuk arah perempuan itu pergi. Lalu menatap kakak.
“Siapa?
Finda?” Kakak tersenyum, tapi ekspresi di wajahnya begitu pahit kurasa. Aku tak
mengerti kenapa.
“Itu
tadi....mas lihat? Tau siapa?” Aku menyelidik.
“Sepertinya,
dia tahu kita disini. Kamu cepetan pulang ya. Apapun yang terjadi, kamu
langsung pulang. Ngga usah mampir kemana-mana. Hati-hati dijalan.” Kakak
melangkah pergi. Aku merinding.
Dua
orang tadi....beberapa bulan yang lalu masih suami-istri. Lalu sekarang, kenapa
jadi begini? Aku benar-benar tak mengerti.
Sekarang,
haruskah pulang atau melihat apa yang terjadi diantara mereka selanjutnya? Aku
bimbang. Tapi langkah kaki menuntunku ke tempat parkir.
***
Motor
baru saja kunyalakan, ketika tiba-tiba di pintu masuk mall, terjadi keributan.
Sekelompok orang berteriak-teriak minta diberi jalan. Perempuan itu, perempuan
yang tadi ada diantara mereka. Aku hanya melihatnya dari jauh. Beberapa lelaki
tampak memapah seseorang keluar dari gedung.
“Mobil...mobil...
Rumah sakit...rumah sakit....” lamat-lamat kudengar kata-kata itu berulang. Aku
masih terpaku. Siapa itu? Kenapa perempuan tadi terus mengikuti rombongan itu?
Benarkah itu...mbak Finda?
Lalu?
“Sepertinya, dia tahu kita disini. Kamu cepetan
pulang ya. Apapun yang terjadi, kamu langsung pulang. Ngga usah mampir
kemana-mana. Hati-hati dijalan.” Kalimat kakak tadi
menyergap otak. Bergema di seluruh ruangan dalam kepala. Aku berusaha menguasai
diri.
Kuperhatikan
rombongan itu terus keluar... lelaki yang dipapah...itu??
Mas
Rahman!!
Darahku
terkesiap. Apa yang terjadi tadi? Perempuan yang kutemui melangkah cepat-cepat
dibelakang rombongan. Seseorang membuka intu mobil. Lalu pelan-pelan mendorong
kakak ke dalam. Wajahnya tampak begitu terseiksa, pucat. Perempuan itu ikut
masuk. Lalu pintu ditutup. Mobil sedan itu melaju beberapa detik kemudian. Kerumunan
orang mulai bubar. Salah satu tukangparkir melangkah ke arahku, dari rombongan
tadi.
“Itu
tadi, siapa pak?” tanyaku.
“Ngga
tau mbak, katanya tadi ada yang bertengkar terus yang laki-laki hampir pingsan.
Sekarang mereka ke RSUD.”
“Bertengkar?
Sama perempuan atau laki-laki?”
“Ngga
tau mbak...” Tukang parkir itu pergi. Aku hanya mampu bertanya dalam hati.
Aku
menyalakan motor. Segera memacunya keluar. Meninggalkan mall, bukan untuk
pulang. Di benakku hanya ada satu nama: kakak. Akuharus tahu keadaannya.
Sampai
di Rumah sakit, aku langsung menuju IGD. Kerumunan orang masih tampak disana.
Aku bingung harus menemui siapa. Langkahku tertahan di luar pintu. Aku tak bisa
menerobos kerumunan itu. Lalu memilih keluar, duduk di ruang tunggu.
Cemas
menunggu, takut untuk bertemu, semua rasa berpadu jadi satu. Aku teringat
senyumnya tadi, begitu tulus dan ceria dihadapanku. Tak lama, kulihat perempuan
tadi keluar ruangan, menuju gerbang luar. Kesempatan, pikirku.
Aku
melangkah masuk. Ragu sekali rasanya meneruskan langkah ke tempat kakak
dirawat. Kakiku hanya perlu lima langkah lagi. Tak tampak seorangpun di dalam.
Dia sendirian.
“Mbak
keluarganya?” aku terperanjat. Seorang perawat menegurku.
“Mbak,
mas Rahman gimana kondisinya?” Tanyaku balik.
“Tekanan
darahnya turun drastis mbak, indikasi erythropoietin sangat
rendah. Mungkin pasien harus segera cuci darah dan serangkaian tindakan medis
lain.”
“Tolong
lakukan yang terbaik ya mbak...” Jawabku mantap. Perawat itu mengangguk, lalu
meninggalkanku sendiri. Tiba-tiba HP-ku berbunyi... Ustadz Adhan? beliau adalah guru sekaligus mentorku saat masih aktif di WAFA, Belajar Al Qur'an Metode Otak Kanan .
Wa’alaikumsalam ustadz.. Oh, tanggal 15 bulan
depan? Insya Allah bisa. Nggeh ustadz.. sama-sama. Wassalamu’alaikum...
Aku
termenung sejenak. Harus segera pergi dari sini. Sebelum mbak Finda kembali.
#ODOP
4 comments:
Betul, tanya sama Allah, hehe
Ikut tegang
Campur aduk rasanya
Duuhh tegang...
Post a Comment