Thursday, 26 May 2016

Surat Buat Hasna 22

| |



Aku melongo. Mataku sampai lupa berkedip beberapa detik saat melihat apa yang kakak sodorkan di dekat tanganku. Sebundel amplop!

“Cepat, simpan.” Kakak mendorong buntelan itu hingga menyentuh tanganku. Menyadarkan dari lamunan.

”Eh?” aku masih tak mengerti.

“Simpan cepetan.. ga enak tau dilihat orang!” Katanya kembali mengigatkan. Aku menurut. Memindahkan buntelan itu kedalam tas yang kubawa. Lalu kembali menghadapinya. Menyesap es degan durian yang tadi ku pesan pelan-pelan. Manis, dingin, menyegarkan. Sejenak mengabaikan rasa penasaran akan isi sebundel amplop tadi.

“Dek....” Kakak memanggilku yang seolah mengacuhkan keberadaannya.

“Hmmm...” Aku masih malas mengalihkan pandangan dari es degan di depanku, mengaduk gelas perlahan, mencari degan atau durian yang berlarian di dalamnya.

“Itu tadi surat buat Hasna. Tolong sampaikan sesuai tanggal yanga da disana ya..?” Dia tak peduli pada kesibukanku, tetap meneruskan cerita.

“Mungkin hidupku ngga akan lama lagi. Dan... ngga bisa ketemu kamu lagi.” Kalimatnya menggantung. Menahanku untuk meneruskan kesibukan. Aku menatapnya.

“Mas mau kemana?” Aku masih mencoba tersenyum, memaksanya untuk ikut tersenyum. Apapun yang terjadi, kita harus bahagia mas. Bisikku dalam hati.

“Dan.. ini buat kamu.” Dia menyerahkan satu amplop lagi. Kali ini warna coklat. Aku hanya menatapnya.

“Ini juga harus disimpan, jangan sampe diambil orang.” ia kembali mendorong amplop yang hanya kutatap diatas meja, menyentuh lenganku yang terlipat diatas meja.

“Huuft, jadi..ini salam perpisahan?” Mau tak mau, aku menyimpan pula amplop coklat itu. Memasukkannya ke dalam tas kecil yang kubawa.

“Hmm, semacam itulah. Jangan sedih ya kalau aku ngga ada?” Katanya penuh selidik, menatapku.

“Engga janji ah, kalau aku pengen nangis gimana, masa ga boleh juga?” Kataku balas menatapnya. Serius.

“Eh Dek, kan aku ngga pergi jauh,.. cuma pindah dimensi kehidupan aja.. nanti kalau saatnya kamu pasti juga nyusul kesana..” Air bening mulai menggenang di pelupuk mata kami, aku menghela nafas dalam, menahannya untuk jatuh dan terurai.

“Mas.... Maafin aku ya kalau ada salah?”

“SSssshhh................” Ia menutupkan telunjuk di bibirnya sendiri. Mengisyaratkan agar aku tak meneruskan.

“Dengar baik-baik. Aku udah makasih banget kamu mau jadi adikku selama ini. Menguatkanku, mendukung keputusanku, dan selamanya akan tetap seperti itu. Dek, kematian bukan akhir dari segalanya kan? Justru disanalah awal kehidupan kita sebenarnya. Aku sudah siap. Kamu juga harus siap-siap.” Katanya mantap, meski aku tahu, suaranya mulai serak. Pertanda ada yang tertahan jauh di dalam sana, di dalam hatinya.

“Iya...” Aku hampir tak kuasa menatapnya.

“Tapi aku harus tetap minta maaf mas..” Kataku meneruskan.

“Ngga ada yang perlu dimaafkan. Anggap aja semua terjadi karena takdir. Aku ngga pengen lihat kamu nangis. Jelek nanti...” Ia memaksaku tersenyum, lalu menghela nafas dalam, lagi.

“Baiklah, aku udah kenyang. Yuk pulang...?” kataku kemudian. Ia tertawa.

“Dasar, anak kecil. Udah kenyang minta pulang...” Tawanya tampak begitu ceria. Aku senang melihatnya.

“Dek..inget ya?”

“Apa?” Aku penasaran.

“Besok kalau nikah, jangan sembarangan pilih suami.” Air wajahnya berubah serius.

 “Iya.. tenang aja... besok aku tanya mas deh kalau mau nikah, ya?”

“Jangan....”

“Loh??”

#Bersambung ke Surat Buat Hasna 23
#Sedikit lagi
#ODOP

5 comments:

Nychken Gilang said...

Nikah usahakan hanya untuk sekali. Hehe

Wiwid Nurwidayati said...

Kifah Dengarr dan laksanakan y pesan masnya. Pilih suami jgn asal

Sang Mahadewa said...

Awas, salah pilih 😂
Nyesel belakangan

Lisa Lestari said...

Sediih...

Lisa Lestari said...

Sediih...

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©