Aku
melongo. Mataku sampai lupa berkedip beberapa detik saat melihat apa yang kakak
sodorkan di dekat tanganku. Sebundel amplop!
“Cepat,
simpan.” Kakak mendorong buntelan itu hingga menyentuh tanganku. Menyadarkan dari
lamunan.
”Eh?”
aku masih tak mengerti.
“Simpan
cepetan.. ga enak tau dilihat orang!” Katanya kembali mengigatkan. Aku menurut.
Memindahkan buntelan itu kedalam tas yang kubawa. Lalu kembali menghadapinya.
Menyesap es degan durian yang tadi ku pesan pelan-pelan. Manis, dingin,
menyegarkan. Sejenak mengabaikan rasa penasaran akan isi sebundel amplop tadi.
“Dek....”
Kakak memanggilku yang seolah mengacuhkan keberadaannya.
“Hmmm...”
Aku masih malas mengalihkan pandangan dari es degan di depanku, mengaduk gelas
perlahan, mencari degan atau durian yang berlarian di dalamnya.
“Itu
tadi surat buat Hasna. Tolong sampaikan sesuai tanggal yanga da disana ya..?”
Dia tak peduli pada kesibukanku, tetap meneruskan cerita.
“Mungkin
hidupku ngga akan lama lagi. Dan... ngga bisa ketemu kamu lagi.” Kalimatnya menggantung.
Menahanku untuk meneruskan kesibukan. Aku menatapnya.
“Mas
mau kemana?” Aku masih mencoba tersenyum, memaksanya untuk ikut tersenyum. Apapun yang terjadi, kita harus bahagia mas.
Bisikku dalam hati.
“Dan..
ini buat kamu.” Dia menyerahkan satu amplop lagi. Kali ini warna coklat. Aku hanya
menatapnya.
“Ini
juga harus disimpan, jangan sampe diambil orang.” ia kembali mendorong amplop
yang hanya kutatap diatas meja, menyentuh lenganku yang terlipat diatas meja.
“Huuft,
jadi..ini salam perpisahan?” Mau tak mau, aku menyimpan pula amplop coklat itu.
Memasukkannya ke dalam tas kecil yang kubawa.
“Hmm,
semacam itulah. Jangan sedih ya kalau aku ngga ada?” Katanya penuh selidik,
menatapku.
“Engga
janji ah, kalau aku pengen nangis gimana, masa ga boleh juga?” Kataku balas
menatapnya. Serius.
“Eh
Dek, kan aku ngga pergi jauh,.. cuma pindah dimensi kehidupan aja.. nanti kalau
saatnya kamu pasti juga nyusul kesana..” Air bening mulai menggenang di pelupuk
mata kami, aku menghela nafas dalam, menahannya untuk jatuh dan terurai.
“Mas....
Maafin aku ya kalau ada salah?”
“SSssshhh................”
Ia menutupkan telunjuk di bibirnya sendiri. Mengisyaratkan agar aku tak
meneruskan.
“Dengar
baik-baik. Aku udah makasih banget kamu mau jadi adikku selama ini. Menguatkanku,
mendukung keputusanku, dan selamanya akan tetap seperti itu. Dek, kematian
bukan akhir dari segalanya kan? Justru disanalah awal kehidupan kita
sebenarnya. Aku sudah siap. Kamu juga harus siap-siap.” Katanya mantap, meski
aku tahu, suaranya mulai serak. Pertanda ada yang tertahan jauh di dalam sana,
di dalam hatinya.
“Iya...”
Aku hampir tak kuasa menatapnya.
“Tapi
aku harus tetap minta maaf mas..” Kataku meneruskan.
“Ngga
ada yang perlu dimaafkan. Anggap aja semua terjadi karena takdir. Aku ngga
pengen lihat kamu nangis. Jelek nanti...” Ia memaksaku tersenyum, lalu menghela
nafas dalam, lagi.
“Baiklah,
aku udah kenyang. Yuk pulang...?” kataku kemudian. Ia tertawa.
“Dasar,
anak kecil. Udah kenyang minta pulang...” Tawanya tampak begitu ceria. Aku senang
melihatnya.
“Dek..inget
ya?”
“Apa?”
Aku penasaran.
“Besok
kalau nikah, jangan sembarangan pilih suami.” Air wajahnya berubah serius.
“Iya..
tenang aja... besok aku tanya mas deh kalau mau nikah, ya?”
“Jangan....”
“Loh??”
#Bersambung ke Surat Buat Hasna 23
#Sedikit lagi
#ODOP
5 comments:
Nikah usahakan hanya untuk sekali. Hehe
Kifah Dengarr dan laksanakan y pesan masnya. Pilih suami jgn asal
Awas, salah pilih 😂
Nyesel belakangan
Sediih...
Sediih...
Post a Comment