Cerita ini adalah
lanjutan dari Surat Buat Hasna 3.
Berat rasanya untuk
melanjutkan. Tapi hidup harus terus bergerak maju. Waktu terus bergulir, tanpa
peduli siapa dan dimana kita. Bukankah dari setiap kejadian, kita harus
mengambil pelajaran?
Bersyukurlah, saat
masih bisa belajar dari kehidupan orang lain. Karena jika kehidupan itu telah
menjelang kematian, rasanya semakin dekat dengan perpisahan. Ada kegamangan
tersendiri saat kita harus menghadapi kematian. Meski orang bilang kematian
hanyalah gerbang kehidupan yang menjanjikan keabadian. Dan ketika kematian itu
menjadi kenyataan, akan ada kerinduan yang menyeruak tak terbendung oleh
harapan. Karena kau tahu, setelah ketiadaan nyawa harapan hanya bisa bergantung
pada yang tersisa. Bukan pada dia yang telah pergi selamanya.
Kakak.
Bukan kakak kandung,
karena aku tak punya. Aku anak pertama, sejak dahulu sekali sering aku merasa
iri. Iya, iri pada merek ayang punya kakak. Biasa dimanja, dituruti
permintaannya, disayang dan dilindungi. Lalu aku? Kenapa harus jadi anak
pertama?
Lalu dalam perjalanan
panjang kehidupanku, Tuhan berbaik hati memberiku sosok kaka, meski beberapa
datang dan pergi tanpa permisi. Dan kali ini, datang sosok kakak yang baik
bagiku. Tapi haruskah ia pergi secepat ini dengan permisi? Sungguh, rasanya
mengiris hati.
Biarlah aku
menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Kakak yang kusayangi dengan sepenuh hati.
Aku tak peduli pada istrinya yang mungkin saja cemburu jika tahu cerita ini.
Toh dia sendiri yang sudah mengajukan cerai? Aku tak merasa perlu meminta
izinnya untuk menjadi bagian berharga dari kehidupan kakak. Toh aku juga tak
minta apa-apa darinya. Hanya rasa memiliki, cukuplah jadi pemupus rindu akan
hadirnya.
Hari terus berganti.
Tak banyak cerita
yang ia bagi. Online tak sesering biasanya. Aku yakin, bukan karena ia tak
ingin berbagi cerita. Hanya saja kesibukannya pasti membuat jarak yang diluar
rencana. Aku juga tak ingin mengganggunya.
Rindu.
Aku mulai merasa ada
yang kurang, ingin rasanya mengirim pesan, menanyakan kabarnya. Sedang apa
disana? Bagaimana kondisinya? Apa yang dirasakannya?
Sementara tugas
kuliah terus menggunung, menyisakan sedikit waktu untuk memikirkannya.
Bagaimanapun, aku ingin menyelesaikan studi ini tepat waktu. Kalau bisa lebih
cepat dari seharusnya. Empat semester, bukan waktu yang lama. Tapi kalau bisa
tiga saja, bukankah lebih bahagia rasanya? Baik, aku harus berbagi waktu,
pikiran, tenaga, dan sebagainya.
Beberapa minggu
berlalu, masih tak ada kabar darinya. Apa yang terjadi sebenarnya?
Mas, apa kabar?
“ “
Tak ada balasan. Hanya dibaca.
Mas, aku mau pulang. Sekalian ke Surabaya. Sebenarnya aku perlu
bantuan mas, gimana?
“ “
Apa kakak marah
padaku?
#ODOP
1 comments:
Adek mulai Baper..#eh Rindu
Post a Comment