“Maassss...........................”
“Hemmmmmmmmmmmmm”
Aku mengirim dua pesan sekaligs
saat iseng buka facebook meski dosen masih menerangkan materinya di kelas pagi
ini. Daripada ngantuk, kan? Dan kebetulan sekali, kulihat kakak online jam
segini. Sejak kembali dari rumah dan sms dari istrinya, aku belum pernah lagi
berkomunikasi dengannya. Sudah dua minggu yang lau, sepertinya. Aku tak sempat
bertanya tentang apa yang terjadi disana.
Kali ni, aku berharap
bukan istrinya lagi yang mengetik pesan.
Ohh, maafkan aku ya Allah.. apakah aku jahat jika berharap
kali ini dia tak lagi bersama istrinya? Sebenarnya aku ingin berprasangka baik
kepada mbak Finda, istrinya Mas Rahman. Aku tak ingin ikut-ikutan berfikir
buruk tentangnya meski mas Rahman sudah banyak bercerita. Sebagai sesama
wanita, aku masih berharap ia punya segudang cinta, setidaknya untuk anak
mereka, Hasna. Tapi cerita-cerita itu, sungguh menguras emosiku. Bagaimana
mungkin seorang alumni sekolah agama berbuat seculas itu kepada suami, yang
juga kakak kelasnya di SMA? Dan kemarin, sms seperti itu sama sekali tak pantas
ditulis seorang istri kepada teman suaminya, yang bahkan ia tak tahu siapa?!
Untuk apa, coba? Mau pamer aib suaminya? Oh, sayang, suaminya sudah lebih
dahulu memberitahuku tentangmu mbak. Dan semua itu, sesuai dengan perkiraanku.
Kau yang dahulu jadi seniorku di SMA, selalu ingin tampil
cantik dan elegan dihadapan teman, atau mahasiswa KKN yang kebetulan sedang
magang. Kau yang jarang menyapa adik kelas dengan ramah, atau penuh senyuman.
Sebaliknya, kau selalu banyak bicara dengan teman-temanmu, menceritakan model
baju, artis, sinetron yang sedang hits, atau sekedar membicarakan teman lelaki
atau senior yang kalian pikir akan tertarik dengan penampilan kalian. Jujur,
aku kasihan denganmu. Makan apa sih dirumah, sampai punya kepribadian semacam
itu? Aku yakin, ini bukan salah sekolah kita memberi pendidikan. Buktinya,
sama-sama sekolah disini aku tak segila itu, kan?yang aku heran, bagaimana
mungkin mas Rahman memilihmu jadi istrinya? Kalau saja ia tahu banyak sejak
awal, pasti tak akan begini jadinya. Tapi, sudahlah. Mungkinini takdir kalian.
Aku bisa apa?
Konsentrasiku kuliah
terpecah, antara memperhatikan penjelasan dosen, mengingat kepribadian mbak
Finda dan balasan SMS-nya, juga karena bunyi chatku mulai dibalas kakak.
“iya dek”
“Maasss....apa kabar? Gimana kondisi sekarang? Pean lagi
dimana? Baik-baik sajakah?” aku meberondongnya dengan pertanyaan. Lalu kembali
memperhatikan dosen.
“Alhamdulillah baik, ini baru pulang nebus obat. Tadi dari
RS trus ke apotek. Sekarang lagi di warnet, mau cari pembeli. Aku mau jual
tanah dek”
Balasan teks kakak
membuatku menahan nafas membacanya.
“Jual tanah?”
“Iya dek, buat makan. Uangku sudah habis. Bahkan buat beli
obat ini tadi ngga ketebus semua. Padahal total cuma 400 ribu. Aku ambil
setengahnya, sisanya nanti buat ongkos pulang dan makan. Makanya sekarang aku
mau jual tanah warisan bapak”
“Mas, yakin?”
“Gimana lagi, masa ga makan? Kasihan banget ya aku dek,
buat makan aja sampe harus jual tanah”
“Sebentar mas, BMT milik almarhum kakak sekarang siapa yang
pegang? Trus, ga ada pemasukan sama sekali kah dari yang lain? Kalau cuma buat
makan dan obat, apa harus jual tanah?”
“Engga dek, aku harus. BMT sudah kuserahkan ke sepupu. Aku
ngga mau ikut campur lagi. Sekarang yang kupegang cuma TPA di musholla dekat
rumah dek, buat bekal akhiratku nanti. Lainnya, aku ngga pegang sama sekali.”
“Mas, .... gapapa?”
“Doakan tanahnya cepat laku ya, biar aku bisa bertahan
hidup lebih lama.”
Air mataku sejenak
tertahan. Ingin sekali menguatkannya, tapi bagaimana? Sungguh, penjelasan dosen
lebih terdengar sebagai siaran radio sekarang.
“Mas, Hp mas siap ayang pegang?” Aku hati-hati bertanya. Lalu kembali berusaha memusatkan perhatian pada
penjelasan dosen. Mengumpulkan bahan untuk bertanya beberapa hal, biar ga
ketahuan kalau salah satu mahasiswanya cuma hadir dalam raga, tapi tidak
pikirannya. Sambil dalam hari berdo’a, semoga dugaanku salah soal SMS mbak
Finda tempo hari.
#Bersambung ke Surat Buat Hasna 9
#ODOP
1 comments:
Kasian kakak.
Post a Comment