Saat membaca kisah
teladan Rasul tercinta, yang menikahi bidadari pertamanya Khadijah Al Kubro, aku
tidak melihat pernikahan yang dimabuk asmara layaknya jalan cinta para remaja
umumnya. Pernikahan sakral, mereka abadikan dalam sejarah dengan sepenuh
keyakinan, bahwa dunia bukan tujuan kehidupan. Maka, perbedaan usia tak jadi masalah
diantara keduanya. Kesenjangan finansial bukan ganjalan bagi mereka. Tanpa status
pacaran sebelum pernikahan, tanpa rayuan yang memabukkan. Mereka merajut bidai
rumah tangga dengan satu tujuan: keridhaan Tuhan.
Menilik cerita cinta
Fatimah dan Ali yang terajut dalam diam, aku melihat cinta berpendar meski tak
terungkap sebelumnya. Bagaimana mereka menjaga sikap dan kehormatan, hingga
tiba saat takdir menyatukan dalam pernikahan. Hanya ungkapan maaf diucapkan
fatimah, karena pernah merasakan getaran yang berbeda sebelum pernikahan
diselenggarakan. Ali dengan menahan ego lelaki untuk tidak bertindak diluar
batas terhadap wanita yang ia cintai sepenuh hati, pasti ingin sekali meluap
emosi jika saja yang dicintai istrinya bukan sang suami, sanggup menahan
perasaan dengan satu pertanyaan, “siapa?”.
Dan saat sang istri memastikan
jawabannya dengan “Itu.. dirimu”. Maka gugurlah segala prasangka, berhambur
semua bentuk cinta di hati mereka. Lalu asa yang menyatu mengantar mereka pada
indahnya surga dunia.
Tidak, kehidupan
mereka tidak berjalan sempurna. Betapa kita dapati pula dalam buku sejarah,
bahwa ada masa dimana mereka harus menderita? Kala Khadijah dan Muhammad sang
manusia sempurna harus kehilangan putra kesayangan mereka, putri-putri yang juga
beranjak dewasa, mendahului menghadap tuhannya. Kesedihan saat kehilangan
harta, tak sebanding dengan kehilangan putra putri tercinta.
Lalu dalam kisah
Fatimah dan Ali, kita dapat melihat derita mereka menjalani hidup sederhana, jauh
dari kemewahan sebagai putra dan putri seorang kepala negara. Adakah sesal atau
keluh yang tersebut dalam kesulitan mereka menghadapi ujian hidup? Sebagai manusia
biasa, mungkin ada. Tapi sejarah tak pernah mencatat keraguan mereka akan
ketetapan Tuhan. Terbukti dari merekalah garis keturunan Nabi diteruskan.
Dan mendekati akhir
zaman, meski tak banyak, tapi ada beberapa rumah tangga yang dibangun diatas
keyakinan pada Tuhan. Bukan karena rupa, harta, atau nasab semata. Visi misi
dunia diabaikan karena telah sialau dengan tujuan yang lebih mulia di akhirat
sana. Tanpa perselisihan, pertengkaran, apalagi keinginan menang sendiri. Aku iri,
pada mereka yang mengutamakan cinta pada illahi. Aku iri, pada cinta yang tak
semata memandang materi. Aku iri, pada mereka yang mempu menepis nafsu duniawi.
Setiap cinta, pasti
akan menemukan muaranya. Jika Allah mampu satukan mereka dalam cintaNya, Allah
pasti juga mampu pertemukanku denganmu dalam cintaNya. Kamu, yang entah siapa dan
dimana. Kamu, yang mencintaiku bukan karena harta, rupa atau nasab semata. Kamu,
yang memilihku karenaNya. Dan kamu, iya hanya kamu. Yang mampu meyakinkanku
untuk menapaki sisa waktu bersamamu.
Bukan, bukan
tingginya jabatanmu yang kutunggu. Bukan pula deretan angka dalam daftar
investasimu. Apalagi mahalnya biaya resepsi pernikahan, meski jika kau tawarkan
mungkin aku mau. Tapi percayalah, kau hanya perlu meyakinkanku, untuk menjadi
bagian dari masa depanmu. Lalu biarkan waktu memandu kita, mencatatkan nama
dalam bingkainya.
#OneDayOnePost
1 comments:
Semoga sehera dipertemukan ya, de...aamiin
Post a Comment