Tuesday, 28 June 2016

Biarkan aku iri

| |



Saat membaca kisah teladan Rasul tercinta, yang menikahi bidadari pertamanya Khadijah Al Kubro, aku tidak melihat pernikahan yang dimabuk asmara layaknya jalan cinta para remaja umumnya. Pernikahan sakral, mereka abadikan dalam sejarah dengan sepenuh keyakinan, bahwa dunia bukan tujuan kehidupan. Maka, perbedaan usia tak jadi masalah diantara keduanya. Kesenjangan finansial bukan ganjalan bagi mereka. Tanpa status pacaran sebelum pernikahan, tanpa rayuan yang memabukkan. Mereka merajut bidai rumah tangga dengan satu tujuan: keridhaan Tuhan.

Menilik cerita cinta Fatimah dan Ali yang terajut dalam diam, aku melihat cinta berpendar meski tak terungkap sebelumnya. Bagaimana mereka menjaga sikap dan kehormatan, hingga tiba saat takdir menyatukan dalam pernikahan. Hanya ungkapan maaf diucapkan fatimah, karena pernah merasakan getaran yang berbeda sebelum pernikahan diselenggarakan. Ali dengan menahan ego lelaki untuk tidak bertindak diluar batas terhadap wanita yang ia cintai sepenuh hati, pasti ingin sekali meluap emosi jika saja yang dicintai istrinya bukan sang suami, sanggup menahan perasaan dengan satu pertanyaan, “siapa?”. 

Dan saat sang istri memastikan jawabannya dengan “Itu.. dirimu”. Maka gugurlah segala prasangka, berhambur semua bentuk cinta di hati mereka. Lalu asa yang menyatu mengantar mereka pada indahnya surga dunia.

Tidak, kehidupan mereka tidak berjalan sempurna. Betapa kita dapati pula dalam buku sejarah, bahwa ada masa dimana mereka harus menderita? Kala Khadijah dan Muhammad sang manusia sempurna harus kehilangan putra kesayangan mereka, putri-putri yang juga beranjak dewasa, mendahului menghadap tuhannya. Kesedihan saat kehilangan harta, tak sebanding dengan kehilangan putra putri tercinta.

Lalu dalam kisah Fatimah dan Ali, kita dapat melihat derita mereka menjalani hidup sederhana, jauh dari kemewahan sebagai putra dan putri seorang kepala negara. Adakah sesal atau keluh yang tersebut dalam kesulitan mereka menghadapi ujian hidup? Sebagai manusia biasa, mungkin ada. Tapi sejarah tak pernah mencatat keraguan mereka akan ketetapan Tuhan. Terbukti dari merekalah garis keturunan Nabi diteruskan.

Dan mendekati akhir zaman, meski tak banyak, tapi ada beberapa rumah tangga yang dibangun diatas keyakinan pada Tuhan. Bukan karena rupa, harta, atau nasab semata. Visi misi dunia diabaikan karena telah sialau dengan tujuan yang lebih mulia di akhirat sana. Tanpa perselisihan, pertengkaran, apalagi keinginan menang sendiri. Aku iri, pada mereka yang mengutamakan cinta pada illahi. Aku iri, pada cinta yang tak semata memandang materi. Aku iri, pada mereka yang mempu menepis nafsu duniawi.

Setiap cinta, pasti akan menemukan muaranya. Jika Allah mampu satukan mereka dalam cintaNya, Allah pasti juga mampu pertemukanku denganmu  dalam cintaNya. Kamu, yang entah siapa dan dimana. Kamu, yang mencintaiku bukan karena harta, rupa atau nasab semata. Kamu, yang memilihku karenaNya. Dan kamu, iya hanya kamu. Yang mampu meyakinkanku untuk menapaki sisa waktu bersamamu.

Bukan, bukan tingginya jabatanmu yang kutunggu. Bukan pula deretan angka dalam daftar investasimu. Apalagi mahalnya biaya resepsi pernikahan, meski jika kau tawarkan mungkin aku mau. Tapi percayalah, kau hanya perlu meyakinkanku, untuk menjadi bagian dari masa depanmu. Lalu biarkan waktu memandu kita, mencatatkan nama dalam bingkainya.

#OneDayOnePost

1 comments:

Lisa Lestari said...

Semoga sehera dipertemukan ya, de...aamiin

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©