Minggu ini, masih dalam
suasana libur panjang semester genap, beberapa pekan lagi sebelum masuk kedalam
kehidupan semester tiga yang katanya akan sedikit “hectic” dalam susana
persiapan tesis. Aku masih menikmati setiap detik liburan. Memanfaatkan kesempatan
ini untuk memaksimalkan kebaikan.
Beberapa hari yang lalu,
mataku terhenti di salah satu sudut rak buku yang berjejer rapi di gedung KPAD
Kabupaten Gunung Kidul. Seperti biasa, aku menyempatkan diri mengunjungi tempat
ini. Untuk apalagi, selain menggali informasi? Iya, memanfaatkan wifi untuk
update blog, download file, browsing, dan sebagainya. Lalu sebelum pulang,
kusempatkan menelusuri judul demi judl sebagai bahan bacaan saat dirumah. Dan
minggu ini, pilihanku jatuh pada karya om Adnan Katino. Novel kedua ini tak
kalah seru dengan novel pertamanya yang sempat masuk kategori best seller:
Menggapai Matahari.
Baik, mari kita mulai membahas
apa isinya.
Anakku Dipotret Malaikat.
Adalah judul yang dipilih penulis untuk menggambarkan keseluruhan isi cerita dalam
novel ini. Menurut beliau, hanya malaikat yang mampu memotret secara detil
setiap jeritan hati dan rintihan mereka, anak-anak ibu pertiwi. Yang tidak
semuanya merasakan kemerdekaan negeri ini. Bahkan tak dapat kita pungkiri,
hampir setiap hari mata dan telinga kita disuguhi berbagai informasi, kenyataan
yang harusnya tidak terjadi di negeri ini, ironi.
Mereka, adalah anak-anak ibu
pertiwi yang harus menjalani nasib perih akibat ulah para oknum di negeri ini.
Cerita dimulai dengan Asih, gadis desa yang baik, lugu, dan cantik. Namun kini
kecantikannya pudar, bukan karena ketdakmampuannya merawat diri. Asih harus
hidup terlunta-lunta di jalanan ibu kota, membawa beban berat janin dalam
perutnya, dan yang lebih membuatnya menderita adalah bahwa janin itu ada
sebagai wujud segala dendam yang menumpuk di hatinya.
Asih adalah korban kebiadaban
Mamat, lelaki yang dulu dicintainya sepenuh hati, diharapkan untuk menjadi
suami, ditunggu setiap purnama tampak berseri. Namun, Mamat yang awalnya hanya
pamit untuk merantau sementara berubah tabiatnya sepulang dari ibukota. Bahasa
lisannya tak lagi sopan layaknya orang desa, sikapnya tak lagi terjaga, bahkan
ia merenggut kehormatan gadis yang dicintainya tanpa rasa berdosa. Parahnya,
Asih yang terlanjur mengandung akibat perbuatan laknat itu tak mampu menahan
malu. Ia bertekad menyusul Mamat ke ibukota, menuntut tanggung jawab.
Tapi apa? Susah payah
dicarinya alamat, saat bertemu kenyataan jauh lebih menyayat. Mamat sedang
bersama wanita lain yang setengah telanjang. Terbayang betapa sakit hati Asih
menatap kenyataan, dendam dan perih dihatinya tak mampu membawanya pulang. Ia
membenci janin yang tumbuh dalam tubuhnya. Bahkan jika ia mati, ia tak sudi
mati bersama sang jabang bayi. Karena itulah, ia rela menanggung beban berat
ditubuhnya hingga sembilan bulan. Setelah itu ia bertekad menjemput kematian,
jika kematian enggan mengambil nyawanya.
Bayi itu lahir diantara
tumpukan sampah ibukota. Ditengah hujan deras dan lelah yang mendera tubuhnya.
Dan belum genap satu jam terpisah dari tubuh sang induk, bayi itu harus rela
ditinggalkan. Menyapa dunia dalam ketidakberdayaan, diantara tumpukan sampah.
Sementara sang ibu, memenuhi
janjinya. Pagi masih belum sempurna terbuka saat orang-orang menemukan jasad
seorang wanita muda tewas setelah jatuh dari lantai tiga salah satu mall di
Jakarta.
Sementara bayi itu, tidak
dibiarkan mati begitu saja. Tuhan membuatnya tetap hidup setelah ditemukan
pemulung sampah dan anak gadisnya. Mereka merawat bayi itu sepenuh jiwa, meski
kehidupan jelas tak berpihak pada mereka. Nama bayi itu: Nasib, sesuai nasib
yang membawanya lahir ke dunia seolah secara tiba-tiba, dan nasib juga yang
membuatnya bertahan meski tanpa orang tua. Mereka bukan keluarga yang sempurna,
bahkan sudah merasa mewah jika bisa memenuhi kebutuhan hidup yang seadanya. Serba
kekurangan, jarang makan, hingga diusir pemilik emperan.
Cerita terus berlanjut,
bagaimana Nasib bertahan hidup. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
menemui orang-orang dewasa yang tampak baik awalnya, namun sejatinya tidak
lebih berbahaya daripada ular berbisa. Nasib terus menekuni nasibnya untuk
hidup. Menemui keganjilan-keganjilan dan ironi kehidupan di negeri yang kata
orang adalah cermin surgawi.
Hingga suatu hari, saat hujan
kembali mengguyur bumi, ia dibawa paksa oleh dua orang tak dikenal. Mereka
sampai di sebuah rumah mewah. Dan disitulah, Nasib
melihat tubuhnya disayat-sayat kemudian dibiarkan begitu saja. Ia masuk ke
dimensi kehidupan lain.
Cerita belum usai. Di
kehidupan yang baru, Nasib disambut bak tamu agung di istana penantian. Satu
demi satu, orang-orang yang dia kenal baik dan mendahuluinya mati bisa ia temui
disini. Kakak perempuan yang pernah merawatnya sejak bayi, anak pemulung di
awal cerita. Seorang wanita yang kata kakaknya selalu mengikuti kemanapun Nasib
pergi sambil menangis, dan banyak orang yang tak ia kenal namun tapak begitu
antusias menyambutnya. Termasuk para pendiri negeri ini, yang dengan senang
hati memasukkan Nasib dalam perkumpulan para pejuang dan pahlawan negeri. Nasib
bertemu dengan Buya. Yang dalam imajinasiku beliau adalah Buya Hamka. Salah
satu pahlawan nasional kita.
Aneh, bukan? kau tidak akan
merasakan keanehan dalam cerita ini, sampai kau temukan sendiri maksud penulis
mengantarkan cerita ini.
Selanjutnya, Buya mengajak
Nasib mengelilingi Indonesia. Hanya dengan memejamkan mata sesaat mereka sudah
sampai ditempat yang diinginkan. Tentu saja itu mungkin dan mudah. Karena kini
mereka tidak lagi bermateri. Nasib menjajal semua fasilitas yang sempat
diinginkannya ketika masih hidup di dunia. Ia menikmati naik kereta eksekutif,
naik ke gedung tinggi, jalan-jalan dari satu tempat ke tempat lain. Senang?
Satu sisi hati Nasib merasakannya. Tapi rasa senang itu tidak berlangsung lama.
Karena sesaat kemudian Buya menunjukkan fakta betapa buruk kondisi negara ini
sebenarnya. Nasib muak melihat kondektur kereta api yang mudah disuap. Ia marah
melihat penjara para koruptor kosong karena penghuninya bisa melenggang bebas
keluar jalan-jalan. Nasib ingin menangis melihat para pemegang uang dapat bebas
menggunakan fasilitas mewah meski di dalam tempat bernama penjara.
Dan air matanya tak bisa
berhenti mengalir, ketika melihat persidangan seorang nenek yang harus menerima
hukuman akibat mencuri tiga gelondong kakao dari kebun sebuah perusahaan. Iya,
hanya tiga buah!!
Nasib juga miris melihat
rombongan jamaah haji yang tega memaki ibu-ibu pengemissetelah beliau
terserempet bis yang mereka tumpangi. Dimana esensi talbiyah yang beberapa
menit sebelumnya? Buya menerangkan kepada Nasib bahwa mereka yang berangkat
haji tidak sekali dua kali. Mereka lebih mengutamakan gengsi, tidak kasihan
pada mereka yang ingin menunaikan haji pertama kali. Mereka membiarkan antri
pendaftaran haji mengular hingga puluhan tahun.
Bukankah akan lebih baik jika
mereka menunakian haji sekali saja, untuk menunaikan kewajiban? Selebihnya kan
mereka bisa umrah setiap waktu. Maka orang-orang yang ingin menunaikan
kewajiban haji untuk pertama kali tidak perlu mengantri panjang hingga puluhan
tahun, bukan?
Perjalanan Nasib bersama Buya
terus berlanjut. Mereka sempat mampir ke gedung DPR, dimana seharusnya para
wakil rakyat berjuang menyuarakan aspirasi rakyat. Namun sekali lagi, Nasib
harus meluaskan hati untuk menerima kenyataan bahwa banyak diantara mereka yang
memilih tidur saat rapat. Alih-alih memikirkan pengentasan kemiskinan, mereka
malah berdebat soal perlu tidaknya membangun gedung baru. Sementara gedung yang
mereka tempati saat ini masih bisa dinilai sangat layak.
Perilaku sebagian penguasa
bangsa ini, begitu kentara ingin membuat kaya diri sendiri. Mereka tidak ingat
lagi janji yang ditebar manis saat pemilu. Tidak ingat bagaimana mereka merayu
rakyat untuk memilih. Yang lebih mereka ingat adalah berapa rupiah yang harus
mereka keluarkan untuk duduk di singgasana impian, lalu ketika sudah berhasil
disana, mereka berfikir keras bagaimana mengembalikan dana yang sudah
dikorbankan atau bagaimana mendapat keuntungan dari posisi sekarang.
Lalu, dimana sebenarnya esensi
kemerdekaan? Jika para penguasa tidak mampu menaklukkan diri sendiri dari rasa
ingin menguasai duniawi. Lalu jutaan rakyat negeri ini menjadi tidak lebih
berarti dari sepiring nasi yang ingin mereka nikmati.
Nasib kehabisan kata. Ia
bingung, kemana harusnya mencari teladan kehidupan? Jika para tokoh yang ada
sekarang, tidak layak dijadikan panutan? Tidak pemerintah, polisi, kondektur,
bahkan jamaah haji. Sebagian dari mereka sudah kehilangan naluri manusiawi.
Nilai-nilai luhur kehidupan perlahan tapi pasti telah luntur dari bangsa ini.
Koruptor yang menelan aset negara hingga trilyunan masih dapat melenggang bebas
menikmati berbagai fasilitas. Sementara rakyat kecil yang kedapatan mencuri
tiga buah kakao harus berhadapan dengan hukum yang siap menumpahkan amunisi di
kepalanya. Dimana letak keadilan sebenarnya?
Novel ini ditutup dengan
penuturan indah Buya. Bahwa memang tidak selayaknya kita menjadikan potret
buruk mereka sebagai panutan. Mereka bukan siapa-siapa. Lalu Buya mengenalkan
Nasib pada kehidupan para sahabat Rasulullah. Yang menjunjung tinggi hukum
Allah dan RasulNya. Buya mengenalkan Nasib pada Abu Dzar Al Ghifari, yang
berani menebaskan pedang ke leher mereka para penggemplang pajak. Abu Dzar yang
berhasil menjadi juru dakwah bagi kaumnya, yaitu kaum yang sebelumnya terkenal
kejam dan kasar sebagai penguasa padang pasir, sebagian besar dari mereka dengan sukarela menyatakan diri masuk islam
berkat penjelasan Abu Dzar. Dari tangan dan lisannya Islam meluas dan semakin
bersinar di bumi jazirah. Sangat kontras dengan kondisi iman sebagian manusia
yang hidup pada zaman sekarang.
Novel ini akan lebih terasa
berharga ketika dibaca langsung. Tapi semoga sedikit ulasan yang kutulis bisa
sedikit memupus rasa ingin tahu pembaca yang belum sama sekali menyentuhnya.
Atau semakin membuat penasaran untuk mengetahui detail isinya? Ah silahkan
saja. Karena hanya di novel inilah kita bisa menemukan nama Pramono Anung,
Gayus Tambunan, Susno Duaji, Chandra M.Hamzah, Adner Sirait, Ibrahim, Aulia
Pohan, Bibit Slamet Rianto, dan banyak tokoh bangsa ini dalam sebuah alur
cerita yang sayang dilewatkan.
Sayang, novel ini tidak dapat
menembus istana negara dan sudah terbit sejak 2012. Mungkin akan lebih seru
jika penulis berhasil menemus meja kepresidenan dan mencari tahu apa yang
terjadi dibelakang layar tentang kisah menteri 20 hari yang sesungguhnya. Tapi
ada baiknya juga, istana negara masih dianggap sakral dalam novel ini.
Setidaknya kesakralan itu bisa melindungi penulis dari berbagai macam tuduhan
dan pencekalan penerbitan, bukan?
Judul : Anakku Dipotret Mslsikst
Penulis : Adnan Katino
Tahun : 2012
Penerbit: Hikam Pustaka,
Yogyakarta
Tebal : 276 halaman
Be positive thinking.
Have a great day,
#OneDayOnePost
2 comments:
jadi Pengen baca keseluruhannya.
Kakak untuk keterangan judul buku, halaman, penerbit sebaiknya di atas.
Post a Comment