Pernahkah anda mendapati orang yang sembuh dari penyakit kronis?
Atau melihat orang yang tetap “hidup” meski tubuhnya digerogoti
penyakit mematikan?
Atau melihat orang yang tampaknya sehat tapi ternyata mengidap
penyakit ganas?
Saya pernah, bertemu dengan seorang anak yang katanya mengidap
leukemia stadium 4. Tapi ada yang aneh dari apa yang saya lihat, atau perasaan
saya yang salah?
Anak lelaki berumur sekitar 10 tahun itu tampak biasa saja. Dia
ceria bermain bersama adiknya. Senyumnya seolah tak pernah sirna. Ia bahkan
merajuk pada ibunya untuk diizinkan bermain ping pong. Tapi ibunya menggeleng
lemah. Kebetulan sekali ibunya memang rekan kerja saya. Saat dilarang, ia tak
menangis atau merengek lebih jauh. Hanya ekspresi kecewa karena keinginannya
tak terkabul, lalu ia beranjak pergi.
Di kesempatan lain, saya melihatnya sedang memasak di dapur. Iya,
memasak! Ia menjadikan asisten rumah tangga sebagai gurunya. “Mbak, abis ini
ditambah apa lagi? Trus kita nunggu berapa lama lagi sampai matang? Ini kutaruh
sini ya... nanti mbak bagian nyuci. Heheheh...” ia terkekeh. Saya yang sedang
berada diruang lain tak jauh dari dapur itu ikut tersenyum mendengar
celotehnya. Dua tahun lebih kondisi leukemianya semakin memburuk. Ia harus
bolak balik rumah sakit, seolah rumah sakit sudah menjadi pengganti rumah
baginya. Hingga akhir desember kemarin menghembuskan nafas terakhir setelah 3
hari mengalami masa kritis.
Saya juga pernah bertemu dengan seorang nenek, menurut pengakuan,
beliau sudah berumur sekitar 90 tahun. Anaknya sudah punya cucu, sehingga
beliau ini sudah bercicit. Beberapa kali saya dengar nenek ini harus dirawat di
rumah sakit, atau harus memanggil dokter kerumah untuk memeriksa dan memberinya
obat. Konon beliau ini sakitnya sudah komplikasi, akibat kesenangan hidup yang
dinikmatinya masa muda.
Sehingga kini (beliau masih hidup) beberapa penyakit sekaligus
mengkhianati tubuhnya. Ada diabetes, jantung, sesak nafas, dan satu lagi
penyakit bawaan orang tua: pelupa. Namun sungguh, nenek tua ini masih suka
jalan-jalan. Jika cucunya bepergian, selalu saja ingin ikut. Meski sudah renta
beliau ini masih semangat menjaga hubungan keluarga, berkunjung kemana-mana
atau sekedar jalan-jalan untuk belanja. Setiap bertemu kerabat, satu hal yang
selalu beliau ucapkan, “tolong doakan aku agar khusnul khotimah”. Maksudnya
beliau hanya ingin meninggal dalam keadaan yang baik, tak ada lagi hutang dan
urusan duniawi lain yang membebaninya.
Ada yang mengusik rasa ingin tahu saya ketika mendapati berbagai ragam
cerita kehidupan. Sebagian manusia bertahan begitu lama dalam penderitaan,
penyakit, dan kesengsaraan hidup. Sebagian yang lain tampak bahagia meski tak
pernah menikmati nyamannya kemewahan. Dan sebagian yang lain lagi, harus
menderita ditengah kemudahan fasilitas yang dimiliki.
Apa yang salah sebenarnya?
Bahkan semua orang mungkin sadar betul. Harta bukanlah segalanya.
Apa artinya kaya jika menghirup udara segar masih terasa tersiksa? Tapi hidup
juga tak akan mudah tanpa harta. Saat sakit tak bisa beli obat, sekedar makan
susah, bagaimana bisa hidup terasa nyaman?
Hmm, dan pasti, setiap orang berharap bisa selalu merasa sehat.
Bisakah?
Saya jawab: bisa!
Lalu, bagaimana caranya?
Pertama, perasaan. Ya, merasa bahwa diri sendiri sedang sehat itu
penting. Setidaknya hal itu akan mengalirkan sugesti dan energi positif ke
seluruh tubuh, malancarkan pembuluh darah dan membuat tubuh merasa lebih baik.
Merasa bahwa semua baik-baik saja itu bukan hal sulit kan? J hehe, disaat memang semua
baik-baik saja memang mudah. Tapi disaat banyak masalahpun, sebisa mungkin fokuskan
pikiran dan rasakan bahwa semua akan baik-baik saja. Kenapa? Karena tak ada
yang abadi di dunia, semua bersifat sementara. Begitu juga masalah dan semua
kesulitan hidup yang saat ini sedang harus dihadapi. Semua sementara dan akan
berlalu pada saatnya. Percaya saja. Sakit itu sementara, sedih juga sementara.
Bahagia sementara, sulit sementara. Semua sementara.
Kedua, keseimbangan. Apapun itu, jagalah keseimbangan. Alam semesta
ini diciptakan bukan tanpa rencana. Ilmu pengetahuan sudah membuktikan semua
yang bisa kita indera sesungguhnya berjalan sempurna. Planet beredar menurut
orbitnya, bumi berputar pada porosnya, bintang-bintang bertaburan tanpa perlu
bertabrakan. Pohon tumbuh karena air tersedia, pupuk cukup dari ranting dan
daun yang gugur disekitarnya. Hewan yang mati di alam liar pun menjadi makanan
bagi para tumbuhan. Dan didalam tubuh kita, setiap sistem dirancang berjalan
dengan sempurna. Darimana makanan harus masuk, kemudian diproses beberapa
tahap, melalui berbagai perlakuan dan akhirnya tubuh mendapatkan sari makanan.
Sementara sisa pencernaan tak perlu nyasar kemana ia harus pergi.
Makanlah secukupnya, jangan berlebihan hingga kekenyangan. Lebih
baik jika punya banyak makanan bagikan kepada tetangga agar tidak ada dari
mereka yang kelaparan sementara kita kelebihan makanan. Bekerjalah sebatas
kemampuan. Jika berlebihan pasti tubuh merasa tersiksa kelebihan beban.
Berinteraksi sosial seperlunya, jika terlalu banyak hanya menambah rasa penasaran
akan kehidupan orang lain dan jika terlalu ekslusif juga kurang baik dipandang
masyarakat.
Jika semua berjalan seimbang, tak ada yang perlu tersakiti. Tapi
bayangkan ketika nafsu kita berkhianat, misalnya mencicipi makanan pedas
terlalu banyak. Lidah dan mulut masih tahan karena sensasinya yang melenakan.
Tapi, lambung harus bekerja keras menaklukkan gejolak panas dengan memproduksi
lebih banyak asam. Lalu apa yang terjadi di sesi pencernaan berikutnya, adalah
akibat dari ketidak seimbangan yang diawali oleh sebuah keinginan “makan
pedas”. Dan jika ketidak seimbangan itu terjadi semakin sering, semakin banyak
tubuh akan merasa dikhianati. Bisa dipastikan, rasa sakit disana sini tak akan
bisa dihindari.
Ketidak seimbangan itu bisa saja terjadi bukan hanya karena
makanan. Tapi juga beban pikiran. Tiba-tiba mendapati kemarahan atasan atas
sesuatu yang tidak sengaja dilakukan, misalnya. Rasa bersalah itu membuat nafsu
makan menurun, sehingga tubuh yang harusnya mendapat asupan makanan cukup
“terpaksa” berpuasa dan merasa tersiksa. Selanjutnya, salah siapa kalau ada
anggota tubuh yang menuntut haknya?
Kedua hal itu, perasaan dan keseimbangan, adalah kunci mendapatkan
kesehatan yang sejati. Maka jagalah kedua hal tersebut jika ingin selalu merasa
sehat. Bagaimana bisa? Apakah kedua hal itu juga bisa menyembuhkan? Jika
sekarang sudah merasa “sakit” lalu bagaimana membuat hati merasa “sedang
sehat”?
Hemmm, begini cara kerjanya. Perasaan sejatinya adalah hasil
keputusan. Tak percaya? Coba saja putuskan bahwa hari ini saya akan merasa
bahagia sepanjang hari, tak peduli apapun yang terjadi. Lalu disetiap kejadian
yang anda alami, ingat selalu keputusan itu. Anda akan bisa, atau setidaknya
terus belajar untuk memandang sisi positif dari setiap kejadian. Sebaliknya, jika
perasaan berjalan tanpa diputuskan maka seolah anda sedang membiarkan energi
positif menyita perhatian anda. Bisa jadi hari itu anda mengalami sesuatu yang
buruk, anda akan merasa sedih dan menangis. Merasa bahwa dunia telah runtuh
menimpa anda sendiri. Padahal sejatinya, apakah benar dunia runtuh?
Maka, putuskan saja anda ingin merasa seperti apa. Sebelum energi
negatif itu menyita habis perasaan anda, maka ada baiknya perasaan sudah
terjaga untuk selalu merasa baik, bahagia, dan semua berjalan baik-baik saja.
Perasaan memiliki kekuatan luar biasa. Ia bisa jadi menguatkan, karena kekuatan
energi positif yang dibawanya. Tapi bisa jadi juga menghancurkan, saat energi
negatif lebih dominan menguasai tubuh.
Ada seorang ibu dari 4 orang anak. Dua diantara anaknya sudah
menikah, dua lagi masih usia sekolah. Sejak anaknya kecil, suaminya yang
seorang berpangkat sering sekali menyakiti hati sang istri. Entah itu lewat
perkataan, perbuatan, hingga perselingkuhan. Sebagai istri dan wanita biasa,
wajar jika hatinya tersiksa. Banyak penyakit yang sering mampir ke tubuhnya.
Kanker servix pernah membuat dokter harus mengangkat kandungannya, sel itu
kemudian mematikan satu buah paru-parunya, hingga sekarang pernafasannya harus
dibantu selang oksigen 24 jam.
Setiap orang yang melihatnya akan iba. Bukan ingin menyalahkannya
karena tak bisa bahagia, tapi meratapi nasibnya yang begitu menderita untuk
waktu lama. Apakah sebenarnya yang membuatnya begitu tersiksa? Saya kira
perasaannya yang terlanjur luka. Karena ada saat dimana ia berhasil
mengendalikan perasaannya, kondisinya stabil. Tidak sesak nafas dan wajahnya
tampak cerah. Tapi ketika beliau mendengar berita yang mengganggu fikiran,
kondisinya langsung drop seperti sedang meregang nyawa. Begitu hebatnya
perasaan, mengendalikan tubuh manusia.
Selanjutnya, jagalah keseimbangan hidup. Tak peduli dimanapun atau
kapanpun dan dengan cara apapun. Menjadi agen keseimbangan minimal untuk diri
sendiri dan lingkungan. Membuang sampah
pada tempatnya, membersihkan kamar mandi, merapikan kamar, menyalurkan
hobi, olahraga ringan, hal-hal kecil semacam itu bisa jadi sarana untuk menjaga
kesembangan hidup. Selain hal-hal besar yang mungkin juga bisa anda lakukan.
Misalnya, membiarkan saudara merasa kaya dan ikut bahagia setelah ia membeli
mobil baru, damai melihat tetangga yang kerjanya jalan-jalan atau belanja
sesuka hati, itu termasuk hal besar karena membutuhkan keluasan hati untuk
ikhlas berbahagia dengan kesenangan orang lain. Tanpa keluasan hati, mungkin
yang ada hanya rasa iri dan ingin memiliki hal yang sama dengan apa yang orang
lain miliki. Bukankah mungkin belum saatnya kita memiliki? Atau memang lebih
baik jika kita tidak memiliki. Karena dengan tanpa mobil, kita bisa memberi
peluang rezeki untuk para sopir angkot, ojek, atau taksi?
Percayalah, semua yang ada di alam ini sudah di desain sedemikian
rupa agar seimbang. Tugas kita menjaga keseimbangan itu selama kita hidup.
Masalah umur, tentu bukan urusan kita. Berapa banyak dokter yang salah
perhitungan terhadap umur pasiennya? Atau berapa banyak nyawa yang tiba-tiba
melayang tanpa pertanda sebelumnya? Jadi bukan soal penyakitnya apa dan mati
kapan, karena nyawa itu urusan pemilik kehidupan.
Selama kita hidup menjaga perasaan tetap tenang apapun yang terjadi
dan menjaga keseimbangan atau menyeimbangkan kehidupan, maka “merasa sehat” dan
“sehat yang sejati” itu bisa jadi nyata.
Selamat mencoba
#ODOP
Note: Pic from google
3 comments:
Setujuuu..benar sekali
Setujuuu..benar sekali
Gimana kalo aku merasa besok aku akan menikah??#ehh😂😂😂
Post a Comment