Wednesday, 17 August 2016

Sembuh dengan “perasaan”

| |






Pernahkah anda mendapati orang yang sembuh dari penyakit kronis?
Atau melihat orang yang tetap “hidup” meski tubuhnya digerogoti penyakit mematikan?
Atau melihat orang yang tampaknya sehat tapi ternyata mengidap penyakit ganas?

Saya pernah, bertemu dengan seorang anak yang katanya mengidap leukemia stadium 4. Tapi ada yang aneh dari apa yang saya lihat, atau perasaan saya yang salah?

Anak lelaki berumur sekitar 10 tahun itu tampak biasa saja. Dia ceria bermain bersama adiknya. Senyumnya seolah tak pernah sirna. Ia bahkan merajuk pada ibunya untuk diizinkan bermain ping pong. Tapi ibunya menggeleng lemah. Kebetulan sekali ibunya memang rekan kerja saya. Saat dilarang, ia tak menangis atau merengek lebih jauh. Hanya ekspresi kecewa karena keinginannya tak terkabul, lalu ia beranjak pergi.
 
Di kesempatan lain, saya melihatnya sedang memasak di dapur. Iya, memasak! Ia menjadikan asisten rumah tangga sebagai gurunya. “Mbak, abis ini ditambah apa lagi? Trus kita nunggu berapa lama lagi sampai matang? Ini kutaruh sini ya... nanti mbak bagian nyuci. Heheheh...” ia terkekeh. Saya yang sedang berada diruang lain tak jauh dari dapur itu ikut tersenyum mendengar celotehnya. Dua tahun lebih kondisi leukemianya semakin memburuk. Ia harus bolak balik rumah sakit, seolah rumah sakit sudah menjadi pengganti rumah baginya. Hingga akhir desember kemarin menghembuskan nafas terakhir setelah 3 hari mengalami masa kritis.

Saya juga pernah bertemu dengan seorang nenek, menurut pengakuan, beliau sudah berumur sekitar 90 tahun. Anaknya sudah punya cucu, sehingga beliau ini sudah bercicit. Beberapa kali saya dengar nenek ini harus dirawat di rumah sakit, atau harus memanggil dokter kerumah untuk memeriksa dan memberinya obat. Konon beliau ini sakitnya sudah komplikasi, akibat kesenangan hidup yang dinikmatinya masa muda.

Sehingga kini (beliau masih hidup) beberapa penyakit sekaligus mengkhianati tubuhnya. Ada diabetes, jantung, sesak nafas, dan satu lagi penyakit bawaan orang tua: pelupa. Namun sungguh, nenek tua ini masih suka jalan-jalan. Jika cucunya bepergian, selalu saja ingin ikut. Meski sudah renta beliau ini masih semangat menjaga hubungan keluarga, berkunjung kemana-mana atau sekedar jalan-jalan untuk belanja. Setiap bertemu kerabat, satu hal yang selalu beliau ucapkan, “tolong doakan aku agar khusnul khotimah”. Maksudnya beliau hanya ingin meninggal dalam keadaan yang baik, tak ada lagi hutang dan urusan duniawi lain yang membebaninya.

Ada yang mengusik rasa ingin tahu saya ketika mendapati berbagai ragam cerita kehidupan. Sebagian manusia bertahan begitu lama dalam penderitaan, penyakit, dan kesengsaraan hidup. Sebagian yang lain tampak bahagia meski tak pernah menikmati nyamannya kemewahan. Dan sebagian yang lain lagi, harus menderita ditengah kemudahan fasilitas yang dimiliki.

Apa yang salah sebenarnya?

Bahkan semua orang mungkin sadar betul. Harta bukanlah segalanya. Apa artinya kaya jika menghirup udara segar masih terasa tersiksa? Tapi hidup juga tak akan mudah tanpa harta. Saat sakit tak bisa beli obat, sekedar makan susah, bagaimana bisa hidup terasa nyaman?

Hmm, dan pasti, setiap orang berharap bisa selalu merasa sehat. Bisakah?

Saya jawab: bisa!

Lalu, bagaimana caranya?

Pertama, perasaan. Ya, merasa bahwa diri sendiri sedang sehat itu penting. Setidaknya hal itu akan mengalirkan sugesti dan energi positif ke seluruh tubuh, malancarkan pembuluh darah dan membuat tubuh merasa lebih baik. Merasa bahwa semua baik-baik saja itu bukan hal sulit kan? J hehe, disaat memang semua baik-baik saja memang mudah. Tapi disaat banyak masalahpun, sebisa mungkin fokuskan pikiran dan rasakan bahwa semua akan baik-baik saja. Kenapa? Karena tak ada yang abadi di dunia, semua bersifat sementara. Begitu juga masalah dan semua kesulitan hidup yang saat ini sedang harus dihadapi. Semua sementara dan akan berlalu pada saatnya. Percaya saja. Sakit itu sementara, sedih juga sementara. Bahagia sementara, sulit sementara. Semua sementara.

Kedua, keseimbangan. Apapun itu, jagalah keseimbangan. Alam semesta ini diciptakan bukan tanpa rencana. Ilmu pengetahuan sudah membuktikan semua yang bisa kita indera sesungguhnya berjalan sempurna. Planet beredar menurut orbitnya, bumi berputar pada porosnya, bintang-bintang bertaburan tanpa perlu bertabrakan. Pohon tumbuh karena air tersedia, pupuk cukup dari ranting dan daun yang gugur disekitarnya. Hewan yang mati di alam liar pun menjadi makanan bagi para tumbuhan. Dan didalam tubuh kita, setiap sistem dirancang berjalan dengan sempurna. Darimana makanan harus masuk, kemudian diproses beberapa tahap, melalui berbagai perlakuan dan akhirnya tubuh mendapatkan sari makanan. Sementara sisa pencernaan tak perlu nyasar kemana ia harus pergi.

Makanlah secukupnya, jangan berlebihan hingga kekenyangan. Lebih baik jika punya banyak makanan bagikan kepada tetangga agar tidak ada dari mereka yang kelaparan sementara kita kelebihan makanan. Bekerjalah sebatas kemampuan. Jika berlebihan pasti tubuh merasa tersiksa kelebihan beban. Berinteraksi sosial seperlunya, jika terlalu banyak hanya menambah rasa penasaran akan kehidupan orang lain dan jika terlalu ekslusif juga kurang baik dipandang masyarakat.

Jika semua berjalan seimbang, tak ada yang perlu tersakiti. Tapi bayangkan ketika nafsu kita berkhianat, misalnya mencicipi makanan pedas terlalu banyak. Lidah dan mulut masih tahan karena sensasinya yang melenakan. Tapi, lambung harus bekerja keras menaklukkan gejolak panas dengan memproduksi lebih banyak asam. Lalu apa yang terjadi di sesi pencernaan berikutnya, adalah akibat dari ketidak seimbangan yang diawali oleh sebuah keinginan “makan pedas”. Dan jika ketidak seimbangan itu terjadi semakin sering, semakin banyak tubuh akan merasa dikhianati. Bisa dipastikan, rasa sakit disana sini tak akan bisa dihindari.

Ketidak seimbangan itu bisa saja terjadi bukan hanya karena makanan. Tapi juga beban pikiran. Tiba-tiba mendapati kemarahan atasan atas sesuatu yang tidak sengaja dilakukan, misalnya. Rasa bersalah itu membuat nafsu makan menurun, sehingga tubuh yang harusnya mendapat asupan makanan cukup “terpaksa” berpuasa dan merasa tersiksa. Selanjutnya, salah siapa kalau ada anggota tubuh yang menuntut haknya?

Kedua hal itu, perasaan dan keseimbangan, adalah kunci mendapatkan kesehatan yang sejati. Maka jagalah kedua hal tersebut jika ingin selalu merasa sehat. Bagaimana bisa? Apakah kedua hal itu juga bisa menyembuhkan? Jika sekarang sudah merasa “sakit” lalu bagaimana membuat hati merasa “sedang sehat”?

Hemmm, begini cara kerjanya. Perasaan sejatinya adalah hasil keputusan. Tak percaya? Coba saja putuskan bahwa hari ini saya akan merasa bahagia sepanjang hari, tak peduli apapun yang terjadi. Lalu disetiap kejadian yang anda alami, ingat selalu keputusan itu. Anda akan bisa, atau setidaknya terus belajar untuk memandang sisi positif dari setiap kejadian. Sebaliknya, jika perasaan berjalan tanpa diputuskan maka seolah anda sedang membiarkan energi positif menyita perhatian anda. Bisa jadi hari itu anda mengalami sesuatu yang buruk, anda akan merasa sedih dan menangis. Merasa bahwa dunia telah runtuh menimpa anda sendiri. Padahal sejatinya, apakah benar dunia runtuh?

Maka, putuskan saja anda ingin merasa seperti apa. Sebelum energi negatif itu menyita habis perasaan anda, maka ada baiknya perasaan sudah terjaga untuk selalu merasa baik, bahagia, dan semua berjalan baik-baik saja. Perasaan memiliki kekuatan luar biasa. Ia bisa jadi menguatkan, karena kekuatan energi positif yang dibawanya. Tapi bisa jadi juga menghancurkan, saat energi negatif lebih dominan menguasai tubuh.

Ada seorang ibu dari 4 orang anak. Dua diantara anaknya sudah menikah, dua lagi masih usia sekolah. Sejak anaknya kecil, suaminya yang seorang berpangkat sering sekali menyakiti hati sang istri. Entah itu lewat perkataan, perbuatan, hingga perselingkuhan. Sebagai istri dan wanita biasa, wajar jika hatinya tersiksa. Banyak penyakit yang sering mampir ke tubuhnya. Kanker servix pernah membuat dokter harus mengangkat kandungannya, sel itu kemudian mematikan satu buah paru-parunya, hingga sekarang pernafasannya harus dibantu selang oksigen 24 jam.

Setiap orang yang melihatnya akan iba. Bukan ingin menyalahkannya karena tak bisa bahagia, tapi meratapi nasibnya yang begitu menderita untuk waktu lama. Apakah sebenarnya yang membuatnya begitu tersiksa? Saya kira perasaannya yang terlanjur luka. Karena ada saat dimana ia berhasil mengendalikan perasaannya, kondisinya stabil. Tidak sesak nafas dan wajahnya tampak cerah. Tapi ketika beliau mendengar berita yang mengganggu fikiran, kondisinya langsung drop seperti sedang meregang nyawa. Begitu hebatnya perasaan, mengendalikan tubuh manusia.

Selanjutnya, jagalah keseimbangan hidup. Tak peduli dimanapun atau kapanpun dan dengan cara apapun. Menjadi agen keseimbangan minimal untuk diri sendiri dan lingkungan. Membuang sampah  pada tempatnya, membersihkan kamar mandi, merapikan kamar, menyalurkan hobi, olahraga ringan, hal-hal kecil semacam itu bisa jadi sarana untuk menjaga kesembangan hidup. Selain hal-hal besar yang mungkin juga bisa anda lakukan. Misalnya, membiarkan saudara merasa kaya dan ikut bahagia setelah ia membeli mobil baru, damai melihat tetangga yang kerjanya jalan-jalan atau belanja sesuka hati, itu termasuk hal besar karena membutuhkan keluasan hati untuk ikhlas berbahagia dengan kesenangan orang lain. Tanpa keluasan hati, mungkin yang ada hanya rasa iri dan ingin memiliki hal yang sama dengan apa yang orang lain miliki. Bukankah mungkin belum saatnya kita memiliki? Atau memang lebih baik jika kita tidak memiliki. Karena dengan tanpa mobil, kita bisa memberi peluang rezeki untuk para sopir angkot, ojek, atau taksi?

Percayalah, semua yang ada di alam ini sudah di desain sedemikian rupa agar seimbang. Tugas kita menjaga keseimbangan itu selama kita hidup. Masalah umur, tentu bukan urusan kita. Berapa banyak dokter yang salah perhitungan terhadap umur pasiennya? Atau berapa banyak nyawa yang tiba-tiba melayang tanpa pertanda sebelumnya? Jadi bukan soal penyakitnya apa dan mati kapan, karena nyawa itu urusan pemilik kehidupan.

Selama kita hidup menjaga perasaan tetap tenang apapun yang terjadi dan menjaga keseimbangan atau menyeimbangkan kehidupan, maka “merasa sehat” dan “sehat yang sejati” itu bisa jadi nyata.   

Selamat mencoba 
#ODOP 
Note: Pic from google

3 comments:

Lisa Lestari said...

Setujuuu..benar sekali

Lisa Lestari said...

Setujuuu..benar sekali

Sasmitha A. Lia said...

Gimana kalo aku merasa besok aku akan menikah??#ehh😂😂😂

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©