“Mas, cepet nikah sana” Ujar Mira pada Ucup, kakak
kelasnya yang sudah hampir kepala tiga namun masih jomblo.
“Wee... kamu tuh,
udah mau jadi perawan tua, pacar aja belom punya” Ucup memang ceplas ceplos,
apalagi sama teman yang sudah dianggapnya saudara seperti Mira, ngga peduli
bakal sakit hati atau gimana. Yang dituduh mau jadi perawan tua hanya melotot
sengit.
“Eh, mas.. inget
umur. Kamu kan udah berumur. Masa gebetan aja belom punya? Rugi deh, kamu itu
nunggu apa sih? Atau siapa? Haha,..” Mira bergeser tempat duduk tepat di depan
Ucup. Mereka sedang nongkrong di rumah Dedi, mumpung weekend. Biasa, mantan
anak mapala SMA kumpul bareng. Yang lain belum pada dateng. Sedangkan Dedi, masih mandi. “Tampang, ngga jelek2 amat. Kerjaan
punya, rumah udah ada. Kurang apa lagi coba?” Ujar Mira sambil sok
memperhatikan sosok lelaki cool di depannya.
Ucup memang cool,
sejak SMA tidak pernah terlihat sangat dekat dengan makhluk bernama perempuan. Padahal
teman-temannya suka merangkap beberapa pacar, ia sama sekali tak terpengaruh. Dan
saat ini, ketika temannya sudah banyak yang menikah, banyak yang heran kenapa
dia belum menikah juga? Mustahil kalau ngga ada satupun perempuan yang suka
padanya. Secara materi dia sudah cukup berada. Kendaraan, rumah pribadi sudah
tersedia. kesibukannya sebagai marketing di sebuah perusahaan ternama
membuatnya mampu secara ekonomi.
“Ntar, nunggu calon
yang pas Mir...” Ucup menatap serius mata Mira. Sementara gadis itu hanya
mengerjap tak paham. “Eh, yang pas itu yang gimana mas?” Rasa penasaran
memaksanya bertanya. “Yang cantik kaya Maudy, ada mbak Rara cinta sama mas gitu
eh ditolak. Ada yang kaya kemana-mana naik mobil, mbak Retno itu juga kamu
cuekin. Yang manja imut kaya boneka ada mba Niken juga kamu ngga peduliin. Nyari
yang gimana sih mas? Heran aku.” Mira nyerocos sambil mengupas kacang goreng
kesukaannya.
“Eh Mir, kamu pikir cantik, kaya, manja, imut aja cukup
buat jadi istriku? Hemmm, matangkan dulu pemikiranmu anak muda. Baru kita
bicara. Kalau gini, ngga nyambung. Yang ada kamu bakal nyalahin aku terus Mir,
kaya anak-anak itu yang bisanya cuma ngeledek.”
“Oh, gitu ya mas. Ceritain
dong, kriteria calon istri yang baik itu yang gimana? Kan biar aku belajar juga
mas, hehe..” Mira mulai tertarik dengan topik ini. Sementara ucup masih cuek,
menyeruput segelas kopi yang mulai
dingin.
“Hemm, yang dewasa Mir.
Sia-sia nanti umurku kalau dapet istri yang kekanakan.” Ucup menjawab santai.
“Eh, kok bisa? Bukannya
cowok itu suka cewek manja ya mas?” Mira menyimak dengan tampang serius. Ia benar-benar
penasaran.
“Ya ngga papa manja,
tapi tau waktu dan tempat. Aku sih ngga suka pamer mesra di tempat umum. jadi
kalau liat cewek yang model begitu males ih. Terus nih ya, kalau cewek itu
belum dewasa taunya cuma belanja. Ngga jelas visi misinya apa. Ogah ah.”
“Oh, berarti aku
ngga masuk kriteria ya mas? Aku kan suka manja. Maunya apa-apa tersedia..haha”
Mira tertawa lepas, menertawakan dirinya sendiri.
“Lah, emang Mira mau
jadi istriku?” Ucup balik bertanya heran.
“Eng, ngga juga sih
mas. Aku suka cowok romantis. Mas Ucup apa-apa dicuekin. Ogahlah aku.”
Ha ha ha...
ternyata, sama saja. Tapi mereka merasa lebih baik begini. Bisa saling berbagi tanpa
ada canggung antara keduanya. Cerita masih berlanjut...
“Kalau kamu Mir,
cowok macam apa yang mau kamu terima jadi suami?” Ucup balik bertanya pada makhluk
mungil di depannya. Bagi Ucup, Mira sudah dianggap seperti adiknya sendiri.
“Eng, ngga tau mas. Yang
aku ngerasa cocok aja lah. Selama ini yang deketin aku belum ada yang cocok
sih. Masa ngajakin aku keluar, tapi kusuruh minta ijin ayah ngga berani. Ada juga
yang sikapnya itu mas, duh...bikin dag dig dug tiap aku ketemu dia. Tapi apa? Ngga
pernah tuh bahas cinta. Yaudah daripada aku sakit hati kan mending dijauhi aja.
Ada lagi nih, yang ngajak kenalan tapi aku tanya, udah siap nikah? Dia jawab
belum. Kalau model begini sih biar jadi temen aja mas. Aku males ambil pusing
sama orang yang ngga mau serius.”
“He, baguslah itu. Percaya
aja, pasti ada. Nanti akan hadir yang terbaik di saat yang tepat. Yang penting
satu, kalau cari suami atau istri itu cari yang beneran “mateng”. Jangan yang
hasil ‘karbitan’. Hahaha.. “ Ucup tergelak dengan kata-katanya sendiri. Sementara
Mira menatapnya heran, tak mengerti.
“Mateng? Karbitan? Ngga
mudeng aku mas”
“Oalah nduk, kamu
kuliah sampai sarjana kok yang begini aja ngga paham?” Ucup menggodanya.
“Serius mas, yang
begini ngga ada di bangku kuliah. Apalagi jurusan akuntansi. Hehehe” Mira tersipu.
Dia benar-benar tidak paham apa maksudnya mateng dan karbitan.
“Hem,, kamu kan tau
anak jaman sekarang. Ngakunya udah siap nikah. Anak-anak gadis baru lulus SMA,
kerja beberapa bulan udah pulang minta nikah. Remaja laki-laki baru kerja
setahun, kredit motor aja masih ditanggung orang tua, sudah minta nikah. Lalu ketika
benar-benar menikah, mereka punya anak. Iya kalau masih rukun dan baik-baik saja
sama istrinya. Ngga sedikit loh yang hampir tiap hari bertengkar karena hal
sepele...” Ucup bicara panjang lebar. memang demikian yang sering ia lihat di
lingkungan rumah dan kerjanya. Pasangan muda yang bertengkar, akhirnya cerai,
padahal usia pernikahan mereka baru seumur jagung.
“Terus mas? Apa hubungannya
mateng sama karbitan?” Mira masih tak paham.
“Jadi gini,
pasangan-pasangan remaja yang mengaku siap nikah itu ujiannya ya setelah nikah.
Mampu ngga mereka membuktikan kesiapannya? Ngga sedikit diantara mereka yang
sebenarnya belum siap punya anak. Ketika menikah, punya anak, ya mendidik anak
sekedarnya aja. Ngga paham ilmunya. Asal nurut apa kata tetangga. Anak tetangga
ikut bimbel, anaknya suruh berangkat. Anak tetangga beli sepeda, ikutan, begitu
seterusnya dan seterusnya. Yang udah jadi bapak sama saja. Ketika mereka belum
cukup dewasa mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga, yang ada capek
kerja, dirumah ketemu anak yang rewel bisanya marah. Istrinya jadi sasaran
pula. Coba, yang begitu berlangsung setiap hari, mau jadi apa anaknya nanti? Kasihan
kan mereka jadi korban. Mereka inilah yang aku bilang “dewasa karbitan”, hasil
pendidikan instan. Beda dengan yang mateng beneran. Yah, mereka yang jauh hari
sudah mempersiapkan diri sebagai ayah dan ibu. Sudah tau bagaimana harusnya
menyikapi suami, mendidik anak, mengatur keuangan keluarga. Yah semua pasti
perlu belajar dan perlu proses. Tapi usahakan jangan milih yang produk instan.”
“Oh, karbitan,
instan. Iya juga ya. Hehe.. tapi mas, kan setiap orang juga butuh waktu. Apalagi
karakter tiap orang pasti beda?”
“Iya, beda orang
beda cerita pastinya. Tapi ya diusahakan saja mendapat yang terbaik. Maka kita
juga harus belajar menjadi yang terbaik buat pasangan kita. Begitu kan yang
Allah tetapkan? Lelaki yang baik untuk perempuan yang baik. Itu ayat dari kitab
suci Mir, jangan dianggap sepele. Itu standar
kebenaran. Bukan kata orang.”
“He, iya mas iya...”
Mira mengangguk. Ia mengerti, begitu juga hidupnya selama ini. Tak mudah
menyerah pada lelaki bukan berarti ia tak ingin segera menikah dan
menyempurnakan agama, tapi lebih dari itu, ia sedang mempersiapkan diri.
Sementara Ucup tak
lagi peduli, ia sudah menekuni buku yang ia temukan di rak meja dekat TV, pasti
milik Dedi: Jalan Cinta Para Pejuang, karya Ust. Salim A.Fillah.
#OneDayOnePost
#Cerita
#Doa
9 comments:
Ini aslinya habis wawancarai siapa dik saki
Hihi..ngga ada mbak. Lg ngetem dirumah nerjemahin jurnal. Kepikiran itu...tulis aja..hehe
keren kayak aku cowoknya ahaha
Jadi tipe kak saki yg kayak gmn?
Yang 'matang' dari pohon. :D
Yang matang disimpan di kolong dipan, ehehehe
Yang matang disimpan di kolong dipan, ehehehe
Eh buset, 90% tulisan dialog semua. Tapi bacanya nggak bikin bosen. Harus belajar sama ahlinya nih. Keren
Eh buset, 90% tulisan dialog semua. Tapi bacanya nggak bikin bosen. Harus belajar sama ahlinya nih. Keren
Post a Comment