![]() |
Foto ambil dari google |
“Ihh, lucunya... anak siapa ini?” Yani begitu excited melihat foto Amira menggendong seorang bayi. Kebiasaan Yani,
mengubek-ubek galery foto di HP sahabatnya tanpa permisi. Memang mereka sudah
bersahabat sejak SMA, sampai sekarang masih sering berjumpa setiap kali Amira
libur dan pulang ke rumah orang tuanya di daerah Tempel, ujung utara kota Jogja
yang istimewa.
Jadi wajar jika “hampir tak ada rahasia diantara keduanya. Seperti
sabtu sore ini, Amira sedang membersihkan taman di samping rumah ketika Yani datang.
Setelah mengucap salam dan cupika-cupiki,
ia langsung mengambil kursi di beranda sambil menunggu Amira menyelesaikan
pekerjaannya.
“Apa sih, Yan? Foto siapa?” Amira berseru sambil mencuci tangan di
pancuran pinggir taman. Yani baru sebulan menikah, untunglah ia dapat suami tak
jauh dari rumah, jadi ia masih bisa sering bertemu Amira, sahabatnya tercinta
yang masih jomblo meski hampir kepala tiga. Melihat foto bayi, mungkin membuatnya
ingin segera menimang buah hati.
“Ini loh, foto di screensaver kamu. Bukan anakmu kan? Kok ngga
rewel sih kamu gendong gitu? Ihh, lucu bangetttt....” kakinya
berjingkrak-jingkrak, ekspresif sekali. Amira hanya memandangnya heran, lalu
mendekat. “Oh, ini anaknya mba Ajeng. Seniorku di kantor. Cakep banget tuh
bocah. Pengen kubawa pulang aja kalau boleh.” Ujar Amira diiringi tawa
berderai.
“Ye, main bawa pulang anak orang. bikin sendiri sana!” Yani tak
kalah ramai menanggapi.
“Hah? Dikira bikin anak kaya bikin adonan gitu?” Mereka tak bisa
lagi tertawa pelan. Untung tak ada yang menegur mereka.
“Eh, ini anak pinter banget tau? Masa umur 3 bulan udah ngoceh banyak banget. Kayaknya
dia bakat jadi public speaking besok. Hihi” Ujar Amira meredakan tawa Yani. “Iya
iyalah, emaknya juga pinter ngomong kan?” karena ia tau, Mba Ajeng adalah
manajer HRD di kantor Amira. Pantaslah kalau anaknya pintar.
“Iya, kaya anaknya mba Rani yang umur 4 tahun itu. Pede abis kalau
ketemu orang. cakep pula. Pantes nanti kalau besar jadi public figure” Amira
masih bersemangat bercerita tentang anak kawan-kawannya. Ia tidak menyadari
ada sedikit perubahan di wajah sahabatnya.
“Iya ya, mereka pada pinter gitu. Nah anakku besok gimana ya?”
Ucapan Yani sejenak menyentak hati Amira. Apa maksudnya? Ia hanya mengernyit
tak paham.
“Mir, anakku besok gimana? Kan emak sama bapaknya pendiam. Mana bisa
jadi public figure gitu? Tampang juga pas-pasan.” Ujarnya datar. Tapi jelas,
Amira menyadari sahabatnya sedang merenungi nasib. Kalau tidak bisa dianggap
menyesali pernikahan yang masih bau kembang. Ah, apa-apaan sih ni anak? Batin Amira tak mengerti jalan pikiran
Yani.
“Hemm, buk buk...sadar woy... emang kamu pikir semua anak harus
pinter kaya mereka?” Amira mengguncang
bahu Yani, menatapnya dalam-dalam. Lalu duduk di kursi sebelahnya. Kini ganti
Yani yang tak mengerti.
“Ya kalik, kalau punya anak pinter kan keren Mir?” ia tak bisa menyembunyikan impiannya. Orang tua mana yang tak ingin anaknya pintar dan
membanggakan dengan prestasi?
“Oalah, hmm... gini ya Yani sayang, kamu ngga harus bikin anakmu
sama dengan anak orang lain.” Amira berusaha meyakinkan.
“Terus?” Yani meletakkan Hp Amira di meja, lalu malipat tangannya,
menyimak ucapan Amira baik-baik. Ia siap jadi murid sore ini.
“Jadi gini, setiap anak itu lahir dengan kecerdasan masing-masing. Ada
yang pinter matematika, ada yang pinter kimia, ada yang pinter otomotif, ada
yang pinter administrasi, dan sebagainya. Nah, tugas orang tua bukan bikin
mereka pinter di semua bidang itu. Tapi orang tua hanya bertugas menemukan
dimana potensi anaknya, lalu memaksimalkan potensi itu. Jadi, misal anakmu
besok ngga pandai matematika, ya harus tetap belajar sekedar biar dia ngerti. Tapi
ngga harus pinter di bidang itu. Temukan bakat lain, misal renang, otomotif,
atau lainnya...nah, kalau sudah ketemu maksimalkan saja. Kasih dia fasilitas. Kasih
dia kesempatan berkembang. Yakin deh, dia ngga bakal kalah sama anak lain yang
rangking satu di kelas.”
“Oh, ngga harus ya?”
“Ehemm..” Amira hanya mengangguk.
“Mir, kamu udah pantes itu punya anak. Nikah gih?” kalimat Yani
reflek membuat mata Amira membelalak lebar. Yani hanya meringis.
“Huh, kamu ini kaya ngga tau aku aja Yan” Amira pasang muka acuh
sekarang.
“Iya justru karena aku tahu. Makanya nyuruh kamu cepetan nikah. Ayolah,
biar anak kita nanti bisa temenan..hehe”
“Emang kamu udah hamil?” selidik Amira
“Belum, “ Yani pasang muka polos, “Makanya kalau kamu nikah cepet
siapa tau anak kita nanti sebaya. Jadi aku bisa nitip dan belajar mendidik anak
dari kamu” lanjutnya.
“Huwaa, baik banget sih kamu Yan... tapi engga deh, besok aku
pengen nikah dapet suami yang jauh aja.”
“Hah? Sama orang mana? Kamu ngga mau deket sama aku, ngga mau
ketemu aku lagi abis nikah?” Yani benar-benar merajuk sekarang.
“Eh, bukan... bukan gitu. Maksudku kalau kita tinggalnya jauhan kan
malah enak. Makin jarang ketemu makin kangen. Kalau ketemu jadi lebih berharga
rasanya. Ngga bakal bosen. Hahaha” Amira merasa menang sekarang.
“Awas aja kalau sampai ngga bisa kuhubungi. Eh emang kapan kamu mau
nikah sih? Kaya udah punya calon aja?” Yani mengejar Amira dengan banyak
pertanyaan.
“May, Maybe next week, maybe next month maybe next year, maybe
tomorrow after a few months” Jawab Amira enteng.
“Hah? Sebentar lagi dong? Kok kamu ngga bilang udah punya calon?”
“Ye, itu sih... rahasia!” Amira menatapnya serius, sedetik kemudian
tawanya pecah berderai, terdengar merdu di telinga yani.
“Ih curang....” Yani protes.
“Doain aja lancar ya sayang...” Amira mengerling nakal. Lalu beranjak
ke dapur. Meninggalkan Yani yang bengong sendiri.
#OneDayOnePost
#Parenting
5 comments:
Senang bacanya dik saki..
Keknya ini kisah nyatanya mbak kifa..😆😆😆#dukunabal-abal
Bagus de saki...
Ihiirrr,,, anakku jdi apa y
Ihiirrr,,, anakku jdi apa y
Post a Comment