“Kak, tulisanmu itu masih kebanyakan ‘pengakuan’. Karakternya
kurang kuat. Gregetnya kurang dapet. Nulis yang bener napa!” Suara adikku di
seberang telepon membuat telingaku sontak berdiri.
Bagaimana tidak, baru selesai menjawab salam sudah di katain gitu.
Bukannya nanya kabar atau sudah makan belom, ngga pakai basa basi langsung aja
nyerocos dia. Kebiasaan.
“Hahhh? Hhmmmmm, biarin!” Jawabku malas.
“Dih, di bilangin....” Bantahnya kesal. Eh, emang dia siapa? Kalau
ngga suka tulisanku ngga usah baca. Simpel kan? Batinku tak mau kalah.
“Iya, emang gitu. Kamu tau, suka tidaknya, baik jeleknya tulisan
itu tergantung apa?” Tak tahan juga akhirnya, aku tanggapi ucapannya.
“Apa?” ah, penasaran juga dia.
“Selera. Perasaan.” Jawabku asal.
Haha, dia diam. Memang tujuanku membuatnya diam, kali ini. Meski
kutahu dia tak setuju ucapanku.
Ah, adik. Aku tahu kau menyayangiku. Ingin aku menjadi penulis
bukan hanya untuk mereka, tapi juga untukmu. Tapi kau juga tau kapasitasku.
Belum sekeren penulis buku yang biasa kau lahap karyanya. Siapa itu? Pram,
hamka, maesa, siapa lagi? Tere liye? Bahkan otakmu lebih banyak terisi karya
mereka daripada otakku yang lebih banyak berkutat dengan jurnal dan modul.
Parah, ya?
Maka ku jawab singkat, biar saja.
Biar kesempatan yang datang sebisa mungkin kumanfaatkan. Menuangkan
pikiran dalam tulisan. Biar bacaan yang bisa kulahap habis ketika ada waktu
untuk menyelesaikan. Biar saja, aku mengalir bersama karyaku. Kau tahu, suatu
hari aku akan sampai pada titik maksimal potensi dan impianku, lalu menikmati
perjuangan untuk menyelesaikan setiap tantangan dalam tulisan. Menghirup udara
bebas dalam karya yang menyenangkan. Ah, kau tau saat itu aku ingin kau tetap
ada disampingku.
Iya, kuakui bahwa aku harus lebih banyak membaca, lebih banyak
menuliskan karya, lebih banyak belajar dalam berbagai suasana. Aku tak bisa
mengadakan pemakluman untuk setiap waktu yang bisa kuabaikan. Tak bisa
membenarkan kesempatan yang terlewat begitu saja tanpa pesan. Tak bisa
mengatakan “biar saja” sementara orang lain lebih banyak berkarya daripada
berprasangka.
Terima kasih, untuk setiap teguran, dukungan, juga keberadaan yang
tak pernah bisa ku abaikan. Walau jarak kelahiran kita tak sebatas usia belia,
kedewasaanmu tumbuh begitu sempurna.
Terima kasih telah menjadi saudara yang baik untukku, selamanya kau
harus begitu. Mendukungku saat benar, menegurku saat lalai, dan menyeretku
kembali ke jalan utama jika diperlukan. Semoga Allah mudahkan setiap urusan
kita. Menjadi mutiara di hati ayah bunda.
#Onedayonepost
1 comments:
Aamiin.. Semoga sampai cita-citanya.
Post a Comment