“Pak, aduh pak...
ini ulah siapa kaya gini ini? Aduh, nyebelin banget sih!! Paakk....sini
buruaannn..” Bu Parni teriak memanggil suaminya yang sedang mencangkul di ujung
ladang seberang. Mau tak mau ia harus berteriak agar suaminya mendengar.
“Ada apa toh bu? Kok
ribut-ribut?” Pak Pardi mendekati istrinya yang sudah berkacak pinggang dan
memasang muka masam.
“Ini loh pak,
lihat..lihat!! Ulah siapa kaya gini ini? Biji-biji padi yang kita tanam kemarin
habis di sini.” Ujarnya sambil menunjuk-nunjuk tanah di depannya bekas di
cakar-cakar, berantakan sekali.
Kemarin sore,
pasangan itu ke ladang untuk menanam biji padi. Di lahan yang tekstur tanahnya
layak disebut ladang (bukan sawah), biji-biji padi ditanam tanpa perlu di semai.
Teknik tanam seperti ini berbeda jika lahan yang ditanami adalah sawah yang
banyak air, jika padi di tanam di sawah maka perlu disemaikan dulu sampai
tinggi bibit sekitar 10-15 cm baru bisa ditanam. Harapan mereka, jika cuaca
baik dan keadaan mendukung pertumbuhan padi, maka panen bisa dilaksanakan
sekitar 3 bulan lagi. Tapi baru sehari biji-biji itu di sebar, sudah berantakan
sekali tanahnya. Pertanda bahwa sebagian biji yang mereka sebar kemarin sudah
tidak tinggal di sana.
“Loh, kok bisa ya
bu? kan baru kemarin kita tanam...” Pak Pardi masih berusaha tenang, meskipun
tentu saja beliau kesal karena hasil usahanya kemarin sia-sia. Lahan yang tidak
seberapa itu hasilnya tidak terlalu banyak jika panen. Kalau baru ditanam sudah
berantakan begini, alamat mereka harus mengulang pekerjaan, menanami lagi
dengan biji baru.
“Siapa lagi kalau
bukan ulah borokokok punya saudaramu itu?! Huh!!” Bu Parni masih bersungut.
Sementara itu Pak Pardi mengernyitkan dahi.
“Borokokok? Siapa?”
“Aduh pakkk.... itu
loh, borokokok yang suka maen kesiniii.... Udah ah aku mau pulang! Kesel aku!!
Kamu mau pulang atau tinggal?!” Bu Parni menatap tajam mata suaminya, amarahnya
semakin tidak terkendali.
Pak Pardi baru
sadar, rumah adiknya memang hanya berpagar tanaman dengan lahan miliknya.
Keluarga adiknya punya beberapa hewan peliharaan seperti sapi, kambing,
beberapa jenis unggas, salah satunya si borokokok itu. Ia dipanggil borokokok
karena gemar sekali berbunyi “kuruk kuk kuk..kok .. kok..kuuurrrr...” terutama
saat menggoda betina milik tetangga.
Binatang memang
sering main ke ladang, memakan biji-bijian yang di sebar. Entahlah, mungkin
pemiliknya kurang memberi makan, sehingga ia memilih mencari makan di luar
pekarangan. Namanya juga naluri hewan, bisa tahu dimana ada makanan.
“Loh, loh.. sabar
toh bu.. kita kan bersihin rumputnya baru setengah, nanggung setengah lagi...”
Pak Pardi berusaha menahan istrinya.
“Ngga ah! Dari pada aku
di sini maki-maki orang mending aku pulang, pak! Sudah ngga mood kerja aku
pak... Yaudah kalau kamu mau selesaikan, aku mau pulang aja sekarang!” Bu Parni
segera berbalik, mengumpulkan rumput yang tadi sempat ditinggalkan di seberang.
Ah, kenapa pula tadi harus melangkah ke sebelah sini dulu, jadi
tahu kalau borokokok bikin ulah, bikin males! Batinnya kesal.
“Sek to bu...
sabar... kita selesaikan dulu sebentar lagi. Nanti pulangnya kita mampir ke
rumah Markono, bilang baik-baik supaya si Borokokok itu dikandang saja. Supaya
ngga ganggu tanaman kita lagi..ya?” Pak Pardi memang sabar, yah apalagi sama
saudara sendiri, mau gimana lagi? Tidak mungkin menjebak si Borokokok di ladang
lalu menyembelihnya. Itu bukan pilihan yang baik, pikirnya. Masa mau menangkap
hewan peliharaan saudara sendiri?
“Oh, nanti mau
kerumah dia? Baguslah pak, sekalian bilang sama adik iparmu itu kalau punya
peliharaan dikasih makan biar ngga celamitan! Bukan ladang kita aja loh pak
yang jadi korban, itu puya Pak Giman di samping juga sama, dijarah borokokok!
Udah ah pak, aku pulang duluan ya? Mau masak juga. Nanti siang kita mau makan
apa kalau aku belum masak?”
“Ya sudah sana,
pulang..hati-hati di jalan.” Pak Pardi akhirnya mengalah, paling sekitar satu
jam lagi pekerjaannya sudah selesai. Nanti mampir sebentar, pulang sampai rumah
sekitar dhuhur, pas waktunya makan siang. Begitu pikirnya, lalu kembali
menekuni cangkul, menyingkirkan rumput yang menjalar sampai lahan itu tampak
bersih.
***
“Assalamu’alaikum...
No... “ Pak Pardi memanggil adiknya dari belakang rumah. Biasanya, sang adik
sudah pulang dari mengantar daun kayu putih ke pabrik, kecuali stok daun sedang
melimpah maka butuh dua atau tiga kali angkut ke pabrik penyulingan minyak kayu
putih. Setelah mengulang salam, yang menyahut istri adiknya. Ternyata Markono
sedang ada urusan lain, tidak dirumah saat itu. Terpaksa Pak Pardi mengutarakan
maksud kedatangannya pada adik iparnya yang menyuruh duduk di teras belakang.
“Ada apa pakde? kok
tumben?” Tanya Tini, adik iparnya yang lebih gemuk dari Bu Parni itu dengan
tatapan sedikit curiga. Tini memang kurang ramah, siapapun yang pernah
berbincang dengannya pasti sepakat soal ini. Dia jarang sekali tersenyum,
apalagi bercanda.
“Ini lho dek, aku
cuma mau minta tolong si borokokok di kandang saja sampai kira-kira satu bulan
gitu. Karena kalau tidak, kasihan biji-biji padi yang sudah kami tanam dia
makan. Satu bulan lagi kan sudah agak tinggi padinya, jadi aman. Nanti kalau
musim panen di kurung lagi biar ngga ganggu tanaman, gitu.” Pak Pardi menjelaskan
pelan-pelan. khawatir adik iparnya itu tersinggung.
“Loh, ya terserah
saya toh pakde.. itu Si Jalu namanya pade, bukan Borokokok! Dia kan memang
punya kaki, jadi biar saja kemana-mana. Di rumah juga sudah kami beri makan,
tapi kalau setelah itu keluyuran ya biar saja. Lagi pula memang sulit ditangkap
itu Jalu. Tingkahnya gesit kaya belut. Pakde ngga ikhlas padinya dimakan Si
Jalu? ini kami ganti saja, ada padi sekitar 1 kg sisa tanam juga kemarin. Cukup
kan?” Ujar Tini ketus.
Tanpa pamit, Pak
Pardi memilih pulang. Kesal rasanya ditanggapi seperti itu. Untung tadi
istrinya tidak ikut. Coba kalau ikut, bisa cakar-cakaran kedua wanita itu, cuma
gara-gara si borokokok, batinnya.
***
“Udah mateng bu?
Jadi masak apa?” Pak Pardi menghampiri istrinya ke dapur. Wanita yang
dicintainya sedang menata piring di meja. Bau masakan wangi menyengat,
menerbitkan rasa lapar. Apalagi ditambah melihat penampilan istrinya yang sudah
rapi. Meski tanpa make up, istrinya itu tetap terlihat cantik dimatanya,
terutama saat rambut basahnya tergerai sebahu begitu. Manis sekali.
“Udah pak, ini tadi
pengen nasi thiwul, kayaknya dengar ibu cerita masak thiwul kemaren enak
banget, jadi aku masak sekalian. Tapi kalau bapak ngga mau nasi putih juga ada
kok. Lengkap sama “jangan lombok” plus krecek,
kuluban daun tayuman, sama ikan laut goreng kesukaan bapak. Sini tak
ambilin nasi porsi biasa ya, nanti kalau mau tambah sendiri. Wong aku masak banyak, nanti kalau
anak-anak pulang biar lahap makannya, si Anggi kan suka banget ikan goreng. Aku
juga *ODObuat sambal bawang mentah kalau dia nanti ngga mau sayur lombok.”
Menu makan siang
mereka kali ini adalah masakan khas Gunungkidul. Nasi thiwul adalah nasi yang
berasal dari singkong, warnanya agak kehitaman, tapi tidak kalah gurih dengan
nasi dari beras padi. Sayur lombok biasa
disebut “jangan lombok” adalah sayur santan yang didominasi irisan cabai hijau,
ditambah irisan tempe dan krecek (kulit sapi goreng), makan sayur ini biasanya
harus dilengkapi dengan kuluban (sayur rebus) daun tayuman (bentuknya seperti
kupu-kupu) yang masih muda, direbus dengan garam saja lalu dperas. Lauknya tergantung
selera. Bisa dengan ayam, ikan goreng, atau sekedar tahu dan tempe gorengpun
sudah terasa nikmat.
Pak Pardi tidak
menyahut, hanya tersenyum sambil mengangsurkan piring kosongnya. Begini rupanya
rasa surga dunia, memiliki istri cantik di depan mata itu menentramkan jiwa,
batinnya.
“Eh, bapak kok
senyum-senyum gitu kenapa? Tadi jadi ke rumah Markono? Gimana, mereka mau
ngandangin si borokokok nyebelin itu ngga?” Pertanyaan Bu Parni mengingatkan Pak
Pardi akan sambutan tidak ramah adik iparnya tadi.
“Besok kita jadikan
lauk saja si borokokok itu ya, bu” Sahut Pak Pardi.
“Eh?” Bu Parni
melongo.
#ODOP Challenge
0 comments:
Post a Comment