Thursday, 22 December 2016

Kelas Terakhir

| |


Sudah jam 10.00, kamu belum datang. Kenapa? Kemana? Harusnya kamu  masuk hari ini. Pak Rudi sudah duduk manis di kursinya. Namun batang hidungmu tak tampak juga. Tidak biasanya kamu datang terlambat. Bahkan yang lebih sering terjadi adalah, kamu datang setengah jam atau minimal sepuluh menit sebelum dosen datang. Aku mulai cemas, kulirik kembali jam di tangan. Menunggumu datang, di kelas pertemuan terakhir.


Kamu mungkin tak tahu tentang apa yang kucemaskan. Meski ratusan sms dalam tiga semester ini telah kukirim ke nomormu. Kamu tidak tahu, dan itu salahku. Harusnya kukatakan terus terang tentang kekagumanku akan sosokmu. Kamu wanita istimewa, sejak pertama kita berjumpa. Perasaanku tak mungkin salah. Bukan, bukan sekedar kecantikan yang kuperhatikan. Kalaupun iya, pasti aku lebih mudah jatuh cinta pada dia, dia, atau dia yang biasa duduk di sebelah kanan dan kirimu. Tapi perhatianku tetap tertuju padamu.

Tidakkah kamu menyadarinya?

Baik, aku salah jika memintamu menerka. Bukankah wanita selalu butuh bukti nyata, bukan khayalan semata? Baik, hari ini, di kelas pertemuan terakhir kita, aku akan membuktikannya. Aku sudah siap dengan setiap konskwensi. Semoga kamu bisa mengerti.

10.10

Pintu terbuka, dan... kulihat wajahmu pucat. Kamu kenapa? Sementara dosen sudah mulai menjelaskan. Maafkan aku tidak bisa khusus memperhatikanmu. Sampai jumpa nanti di akhir kelas, ya. Setidaknya aku lega, hari ini akan kulewati beberapa waktu bersamamu.
***

Kelas manajemen dana pukul sepuluh pagi ini, di ruang empat.

Oh, tidak. Informasi terbaru di group kelas bilang bahwa ruang empat dipakai kelas lain, jadi harus pakai ruang satu, baiklah. Sekarang pukul sembilan lewat lima belas menit dan aku harus berangkat. Kecepatan normal jalanan lancar akan membawaku sampai di kelas dalam setengah jam. Itu artinya, sudah cukup untuk memikirkan pekerjaan rumah selain memasak. Tak ada waktu lagi, atau aku akan terlambat.

Kulirik sekilas speedometer di dashboard motor, enam puluh kilometer per jam, naik tujuh puluh kilometer per jam, sedikit lagi. Lma menit lagi pasti sudah masuk kawasan kota Yogya, tiga menit kemudian sampai di kampus.

Tak ada lagi waktu untuk memperhitungkan kecepatan kendaraan lain dan...

Aaaaaaaa.....................

Ciiiitttt............

BRAK!!!

“Opsss.. aduhh...” Aku hanya bisa merintih dalam diam. Masih untung, kesadaranku tidak hilang. Aku masih bisa mendengar suara laki-laki membentak, lalu sedetik kemudian...

BRAK!!

Ops, sepertinya bagian belakang motorku juga ditabrak. Syukurlah, tidak sampai menggeser posisiku sekarang. Bisa-bisa ada tulang yang remuk kalau sampai motor belakang menimpa tubuhku yang masih tertindih motorku sendiri. Ada apa ini? Kenapa motor depanku berhenti mendadak?

 Aku mencoba mengumpulkan ingatan. Tadi motor di depanku tiba-tiba mengerem tanpa peringatan, akupun terlambat menyadari sehingga harus menginjak dan menarik rem kuat-kuat. Tapi tetap saja, kecepatanku tak sebanding dengan kekuatan rem, sedetik sebelum terjadi tabrakan aku hanya bisa berfikir untuk mengurangi dampaknya. Motor di depanku pas pada posisi tengah ban depan. Jika terjadi tabrakan pasti akan terdorong kuat kedepan. Maka kubanting setir ke kiri, setidaknya itu akan mengurangi risiko kerusakan akibat tabrakan. Meski.. Arrgghh... Kakiku, sulit sekali digerakkan. 

Hiks,...

“Mbak, ngga papa?” Seorang pemuda mendekatiku, entah dari mana. Mungkin di apengendara di belakangku. Aku hanya sanggup menggeleng, membiarkannya membantu motorku tegak kembali. Dia mencoba membantuku berdiri, tapi kutolak. aku berusaha sendiri dan menyeret kaki ke trotoar. Motorku bisa berdiri meskipun kulihat sekilas... hancur!

Aduh ... rasanya gemetar, aku tahu ini shock. Kucoba menarik nafas panjang. Lalu berusaha mengambil botol minum dari tas. Ah, Sudah jam berapa ini? Aku tidak pakai jam tangan dan rasanya tidak sanggup membuka tas untuk melihat HP. Biarlah, sepertinya harus terlambat masuk kelas.

Orang-orang mulai riuh, saling menyalahkan.

Aku tak peduli, tak ingin terlambat lebih lama lagi.

Kucoba untuk berdiri sekali lagi, tertatih menghampiri motor. Ah, benar saja, bodi motor bagian kiri remuk. Hiks, bagaimana aku bisa sampai ke kampus?

Kucoba untuk menstarter, gagal. Tidak, harus bisa! Kucoba cara manual, satu, dua, tiga, empat kali, dan masih gagal. Aku hampir putus asa.

"Sini mba, biar saya coba.” Suara lelaki yang tadi. Aku menyerah.

Bbrrmm...Bbrrrmm... Dia menoleh padaku dan tersenyum. Lumayan manis, kata hatiku. Setelah mengucapkan terima kasih dan membalas senyumnya, aku coba malajukan motor pelan, menyibak kerumunan orang-orang yang masih saling menyalahkan.

Sampai di kampus, nyeri di kaki mulai terasa. Kelas hari ini ada di lantai dua. Mau tak mau, harus kuat. Aku harus kuat.

Setelah menapak tangga demi tangga, berjalan pelan, sampai juga di depan kelas. Ketemu ketua kelas yang rupanya sama, terlambat juga.

Benar, pak dosen sudah mulai menjelaskan. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas, dan menemukan tatapanmu penuh tanya. Maaf, tubuhku sakit. Jadi tak ada waktu untuk mengartikan tatapanmu. Apakah kamu ingin menyampaikan sesuatu? 

Semoga tidak. Aku tidak siap dengan pengakuan perasaanmu, di kelas terakhir ini.

Saat kutemukan kursi kosong dan berhasil mendudukinya, entah kenapa mataku kembali menemukanmu, yang masih melempar berjuta tanya, mungkin tentang keadaanku sekarang. Tapi tidak, aku harus fokus pada penjelasan dosen, untuk terakhir kali di kelas ini.
***

Aih, kenapa Andro dan Mei saling tatap begitu?

Mei memang teman dekat Hani. Tapi dia tidak tahu bahwa Hani menyukai Andro, bahkan sejak semester pertama, ketika Andro menjadi teman sekelompok Hani untuk menyelesaikan tugas ekonometri. 

Setelah kerja kelompok itu, Hani jadi lebih sering memperhatikan Andro. Lelaki ramah dan selalu penuh senyum itu memang menawan dimata Hani. Salahkah jika kemudian diam-diam Hani menyukainya? Tidak, Hani tidak menutup mata ketika ternyata Andro diam-diam menaruh perhatian lebih pada Mei. Hani sering memergokinya mencuri pandang ke arah Mei, ketika kuliah berlangsung. Meskipun Mei seperti tidak menyadarinya, atau pura-pura tak merasa?

Oh Tuhan, Hani benar-benar menyukai Andro. Sekarang dia ingin sekali Andro tahu bahwa ada rasa yang tak biasa untuknya. Tapi Hani juga tidak ingin menyakiti Mei. Setelah ini, mereka mungkin akan sangat jarang bahkan sulit bertemu. Tinggal proyek UAS dan tesis yang harus mereka selesaikan semester ini dan semester selanjutnya. Sayang, sampai sekarang lidah Hani kelu untuk mengungkapkan perasaan. Apa yang harus dia lakukan?

#OneDayOnePost

3 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

bagus dik saki...

Unknown said...

Wahhhh. Terus terus?

Sang Mahadewa said...

Masih fresh ya memory mbk Sakifah bikin setting cerita masa sekolah?
Saya sudah blank bikin beginian =D

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©