Sudah
jam 10.00, kamu belum datang. Kenapa? Kemana? Harusnya kamu masuk hari ini. Pak Rudi sudah duduk manis di
kursinya. Namun batang hidungmu tak tampak juga. Tidak biasanya kamu datang
terlambat. Bahkan yang lebih sering terjadi adalah, kamu datang setengah jam
atau minimal sepuluh menit sebelum dosen datang. Aku mulai cemas, kulirik
kembali jam di tangan. Menunggumu datang, di kelas pertemuan terakhir.
Kamu
mungkin tak tahu tentang apa yang kucemaskan. Meski ratusan sms dalam tiga
semester ini telah kukirim ke nomormu. Kamu tidak tahu, dan itu salahku.
Harusnya kukatakan terus terang tentang kekagumanku akan sosokmu. Kamu wanita
istimewa, sejak pertama kita berjumpa. Perasaanku tak mungkin salah. Bukan,
bukan sekedar kecantikan yang kuperhatikan. Kalaupun iya, pasti aku lebih mudah
jatuh cinta pada dia, dia, atau dia yang biasa duduk di sebelah kanan dan
kirimu. Tapi perhatianku tetap tertuju padamu.
Tidakkah
kamu menyadarinya?
Baik,
aku salah jika memintamu menerka. Bukankah wanita selalu butuh bukti nyata,
bukan khayalan semata? Baik, hari ini, di kelas pertemuan terakhir kita, aku
akan membuktikannya. Aku sudah siap dengan setiap konskwensi. Semoga kamu bisa
mengerti.
10.10
Pintu
terbuka, dan... kulihat wajahmu pucat. Kamu kenapa? Sementara dosen sudah mulai
menjelaskan. Maafkan aku tidak bisa khusus memperhatikanmu. Sampai jumpa nanti
di akhir kelas, ya. Setidaknya aku lega, hari ini akan kulewati beberapa waktu
bersamamu.
***
Kelas
manajemen dana pukul sepuluh pagi ini, di ruang empat.
Oh,
tidak. Informasi terbaru di group kelas bilang bahwa ruang empat dipakai kelas
lain, jadi harus pakai ruang satu, baiklah. Sekarang pukul sembilan lewat lima
belas menit dan aku harus berangkat. Kecepatan normal jalanan lancar akan
membawaku sampai di kelas dalam setengah jam. Itu artinya, sudah cukup untuk
memikirkan pekerjaan rumah selain memasak. Tak ada waktu lagi, atau aku akan
terlambat.
Kulirik
sekilas speedometer di dashboard motor, enam puluh kilometer per jam, naik
tujuh puluh kilometer per jam, sedikit lagi. Lma menit lagi pasti sudah masuk
kawasan kota Yogya, tiga menit kemudian sampai di kampus.
Tak
ada lagi waktu untuk memperhitungkan kecepatan kendaraan lain dan...
Aaaaaaaa.....................
Ciiiitttt............
BRAK!!!
“Opsss..
aduhh...” Aku hanya bisa merintih dalam diam. Masih untung, kesadaranku tidak
hilang. Aku masih bisa mendengar suara laki-laki membentak, lalu sedetik
kemudian...
BRAK!!
Ops,
sepertinya bagian belakang motorku juga ditabrak. Syukurlah, tidak sampai
menggeser posisiku sekarang. Bisa-bisa ada tulang yang remuk kalau sampai motor
belakang menimpa tubuhku yang masih tertindih motorku sendiri. Ada apa ini?
Kenapa motor depanku berhenti mendadak?
Aku
mencoba mengumpulkan ingatan. Tadi motor di depanku tiba-tiba mengerem tanpa
peringatan, akupun terlambat menyadari sehingga harus menginjak dan menarik rem
kuat-kuat. Tapi tetap saja, kecepatanku tak sebanding dengan kekuatan rem,
sedetik sebelum terjadi tabrakan aku hanya bisa berfikir untuk mengurangi
dampaknya. Motor di depanku pas pada posisi tengah ban depan. Jika terjadi
tabrakan pasti akan terdorong kuat kedepan. Maka kubanting setir ke kiri,
setidaknya itu akan mengurangi risiko kerusakan akibat tabrakan. Meski..
Arrgghh... Kakiku, sulit sekali digerakkan.
Hiks,...
“Mbak,
ngga papa?” Seorang pemuda mendekatiku, entah dari mana. Mungkin di apengendara
di belakangku. Aku hanya sanggup menggeleng, membiarkannya membantu motorku
tegak kembali. Dia mencoba membantuku berdiri, tapi kutolak. aku berusaha
sendiri dan menyeret kaki ke trotoar. Motorku bisa berdiri meskipun kulihat
sekilas... hancur!
Aduh
... rasanya gemetar, aku tahu ini shock. Kucoba menarik nafas panjang. Lalu
berusaha mengambil botol minum dari tas. Ah, Sudah jam berapa ini? Aku tidak
pakai jam tangan dan rasanya tidak sanggup membuka tas untuk melihat HP.
Biarlah, sepertinya harus terlambat masuk kelas.
Orang-orang
mulai riuh, saling menyalahkan.
Aku
tak peduli, tak ingin terlambat lebih lama lagi.
Kucoba
untuk berdiri sekali lagi, tertatih menghampiri motor. Ah, benar saja, bodi
motor bagian kiri remuk. Hiks, bagaimana aku bisa sampai ke kampus?
Kucoba
untuk menstarter, gagal. Tidak, harus bisa! Kucoba cara manual, satu, dua,
tiga, empat kali, dan masih gagal. Aku hampir putus asa.
"Sini
mba, biar saya coba.” Suara lelaki yang tadi. Aku menyerah.
Bbrrmm...Bbrrrmm...
Dia menoleh padaku dan tersenyum. Lumayan manis, kata hatiku. Setelah
mengucapkan terima kasih dan membalas senyumnya, aku coba malajukan motor
pelan, menyibak kerumunan orang-orang yang masih saling menyalahkan.
Sampai
di kampus, nyeri di kaki mulai terasa. Kelas hari ini ada di lantai dua. Mau
tak mau, harus kuat. Aku harus kuat.
Setelah
menapak tangga demi tangga, berjalan pelan, sampai juga di depan kelas. Ketemu
ketua kelas yang rupanya sama, terlambat juga.
Benar,
pak dosen sudah mulai menjelaskan. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang
kelas, dan menemukan tatapanmu penuh tanya. Maaf, tubuhku sakit. Jadi tak ada
waktu untuk mengartikan tatapanmu. Apakah kamu ingin menyampaikan sesuatu?
Semoga tidak. Aku tidak siap dengan pengakuan perasaanmu, di kelas terakhir
ini.
Saat
kutemukan kursi kosong dan berhasil mendudukinya, entah kenapa mataku kembali
menemukanmu, yang masih melempar berjuta tanya, mungkin tentang keadaanku
sekarang. Tapi tidak, aku harus fokus pada penjelasan dosen, untuk terakhir
kali di kelas ini.
***
Aih, kenapa Andro dan Mei
saling tatap begitu?
Mei
memang teman dekat Hani. Tapi dia tidak tahu bahwa Hani menyukai Andro, bahkan
sejak semester pertama, ketika Andro menjadi teman sekelompok Hani untuk menyelesaikan
tugas ekonometri.
Setelah kerja kelompok itu, Hani jadi lebih sering memperhatikan Andro. Lelaki ramah dan selalu penuh senyum itu memang menawan dimata Hani. Salahkah jika kemudian diam-diam Hani menyukainya? Tidak, Hani tidak menutup mata ketika ternyata Andro diam-diam menaruh perhatian lebih pada Mei. Hani sering memergokinya mencuri pandang ke arah Mei, ketika kuliah berlangsung. Meskipun Mei seperti tidak menyadarinya, atau pura-pura tak merasa?
Setelah kerja kelompok itu, Hani jadi lebih sering memperhatikan Andro. Lelaki ramah dan selalu penuh senyum itu memang menawan dimata Hani. Salahkah jika kemudian diam-diam Hani menyukainya? Tidak, Hani tidak menutup mata ketika ternyata Andro diam-diam menaruh perhatian lebih pada Mei. Hani sering memergokinya mencuri pandang ke arah Mei, ketika kuliah berlangsung. Meskipun Mei seperti tidak menyadarinya, atau pura-pura tak merasa?
Oh
Tuhan, Hani benar-benar menyukai Andro. Sekarang dia ingin sekali Andro tahu bahwa ada rasa yang tak
biasa untuknya. Tapi Hani juga tidak ingin menyakiti Mei. Setelah ini, mereka mungkin akan sangat jarang bahkan sulit bertemu. Tinggal proyek UAS dan tesis
yang harus mereka selesaikan semester ini dan semester selanjutnya. Sayang, sampai
sekarang lidah Hani kelu untuk mengungkapkan perasaan. Apa yang harus dia lakukan?
#OneDayOnePost
3 comments:
bagus dik saki...
Wahhhh. Terus terus?
Masih fresh ya memory mbk Sakifah bikin setting cerita masa sekolah?
Saya sudah blank bikin beginian =D
Post a Comment