28-29 Desember 2016
Rencana agenda kelas kali ini tidak butuh banyak persiapan.
Kami hanya perlu memastikan berapa orang yang ikut, mencari sewaan tenda dan
sleeping bag, kemudian membeli beberapa makanan instan lalu berangkat setelah
beberap ajam saling menunggu.
Kelas Reguler Magister Keuangan dan Perbankan Syari’ah
Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga, adalah kelas dimana kami
belajar bersama hampir dua puluh orang selama tiga semester ini. Banyak suka
dan duka, perselisihan, ketidakcocokan satu sama lain, lengkap dengan canda
tawa bahagia dan acara makan bersama. Tidak terasa, tiga semester begitu cepat
berlalu bersam arangkaian tugas yang kemarin dulu terasa begitu mengganggu.
Sekarang, masa teori dan belajar di kelas sudah selesai,
kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa paper untuk nilai UAS dan tesis
sebagai syarat kelulusan. Saatnya menghela nafas sejenak, mengumpulkan tenaga
kembali setelah rutinitas tugas yang begitu menguras isi hati. Kami memilih
bukit Pengilon atas rekomendasi salah satu teman. Selain tempatnya yang masih
terjangkau di Gunung Kidul, dekat pantai, dan kami bisa menikmati tiga destnasi
wisata sekaligus: Pantai Siung, Air Terjun Banyu Tibo, dan Bukit Pengilon.
Empat belas orang yang akhirnya memutuskan ikut acara ini.
Kami berangkat dari kampus setelah shalat ashar, sampai di lokasi sekitar waktu
maghrib. Perjalanan kami memakan waktu sekitar 2-3 jam karena lalu lintas akhir
tahun di kota Jogja dan jalur ke Wonosari yang lumayan padat. Satu rombongan
naik mobil berisi tujuh cewek dan satu teman lelaki yang punya mobil. Enam
orang lainnya mengendarai motor. Kondisi jalan tentu tidak memungkinkan kami
selalu berdekatan. Apalagi kecepatan motor di jalan pegunungan berbeda dengan
mbil yang cenderung lambat.
Sayangnya, saat kami sampai di tempat tujuan,
ketiga motor yang dikendarai enam orang itu belum sampai! Sialnya, tidak satupun signal masuk ke HP kami. Rasa panik
mulai melanda, kemana mereka? Nyasarkah? Atau ada apa-apa? Khawatir dan rasanya
ingin sekali mencari mereka, tapi kemana? Upaya mencari signal kami lakukan
sampai harus mendaki bukit terdekat. Siapa tahu kan, di ketinggian ada signal?
Benar saja! Namun signal itu hanya cukup untuk mengirim SMS, tidak bisa untuk
melakukan panggilan, apalagi jaringan internet. Ahh ....
Terpaksa, kami hanya bisa menunggu. Beberapa teman mulai
bosan dan kami berinisiatif mendirikan tenda di bibir pantai. Tak lama
kemudian, rombongan mereka datang dan mengajak kami membereskan kembali tenda, “Buat
apa bawa tenda kalau cuma mau tidur di pantai?” Kata pak ketua sambil tertawa.
Oh, tentu saja bagi petualang, pantai sama sekali bukan
barang istimewa –kecuali soal pemandangannya- yang tentu saja mempesona. Enam
orang laki-laki dan delapan orang perempuan berhjab mulai bergerak naik. Diiringi
dengan satu dua atau berkali-kali keluhan keluar dari tubuh para wanita pendaki
pemula. Jalanan menuju bukit pengilon dari bibir pantai Siung memang menanjak,
melalui begitu banyak anak tangga yang cukup menghabiskan nafas pendaki pemula.
Setiap ada pondokan, kami berhenti. “Udah yuk, ngecamp di
sini aja?” Aku hanya tersenyum melihat wajah lelah mereka. Masih ingat beberap
ahari yang lalu hatiku juga mengeluhkan hal yang sama saat mendaki merbabu.
“Yok, siaapp ... Jalan!” Ketua kelas kembali meneriakkan
aba-aba. Tanpa banyak mengeluh kami kembali menata barisan.
“Ini masih jauh ngga sih? Tau kaya gini kita ngga ikut aja ...”
Sahut yang lain, antara ingin menyerah dan pasrah.
“Awas kanan jurang...hati-hati. Pegangan ya... Boleh
pegangan batu di sebelah kiri atau pohon yang ada. Pelan-pelan....” Pak Ketua
begitu “sabar” memaksa kami untuk terus melangkah, sampai entah kapan.

“Senter awas yang bawa senter, arahkan ke jalan ya jangan ke
depan atau samping. Kalau ngga bisa bawa senter kasihkan temannya!” Teriak
ketua dari ujung paling depan. Aku masuk barisan belakang, sambil berjaga jika
sesuatu terjadi di depan.
Tanjakan, turunan, beberapa jalan landai, kami lalui tanpa
tahu dimana ujung jalan ini. Hampir tiga jam kami melangkah, dengan beberapa
kali berhenti, melintasi gemuruh suara air, kemudian menanjak lagi. Kami juga
sempat berhenti menunaikan shalat isya’ ketika menemukan toilet dekat gemuruh
suara air. Setelah itu berjalan lagi, menanjak dan akhirnya kami sampai di
tanah lapang.
Rasanya, “inilah bukit pengilon”. Terdengar deburan ombak di
bawah sana, tak jauh dari tempat kami berdiri. Setelah menimbang beberapa
tempat, memeriksa keadaan sekitar termasuk bukit yang ada di depan kami, di
sana ada beberapa tenda yang sudah berdiri. Kami memutuskan mendirikan tenda di
lembah tadi.
Tenda tidak bisa langsung didirikan, karen akami harus
memasukkan benang penghubung kerangka tenda yang putus dari asalnya. Cukup
memakan waktu, hingga sebagian sudah tertidur tenda baru bisa berdiri, tengah
malam. Rasa lelah tidak juga mengantar mata ke peraduan. Beberapa dari kami
malah memilih bermain kartu sebelum tidur. Seolah kami khawatir kehabisan waktu
hanya untuk tidur malam ini. Meski akhirnya tubuh tak bisa dibohongi, satu per
satu roboh dan menjemput mimpu dalam sleeping bag masing-masing. Kecuali beberapa
yang sulit tidur di tempat terbuka, sempat mengganggu teman yang sudah tidur
duluan. Ah, setiap detik yang terjadi disana adalah kenangan indah, kawan.
Kasihan para cowok, satu tenda kami tertinggal dalam mobil
sehingga mereka harus tidur beratap langit. Menjelang subuh, tiba-tiba hujan
turun. Mereka langsung pontang-panting mencari tempat berteduh. Beruntung,
dekat tempat kami mendirikan tenda ada gubug yang sepertinya jika siang dipakai
sebagai warung makanan. Mereka langsung melanjutkan mimpi, disana.
Pagi menyapa kami lembut, setelah shalat shubuh kami baru
menyadari, bahwa lembah ini berada diantara dua bukit kembar. Tenda kami
berdiri diantara dua palung laut, indah tak terperi. Siapa yang bisa menyesali
perjalanan semalam jika melihat pemandangan seindah ini? Bahkan para cewek
tidak lupa merias diri, sebelum kemudian mengambil banyak gambar dari berbagai
sudut.
Indah, mengesankan, menenangkan, meskipun melelahkan. Hanya
ada beberapa potong roti dan susu untuk sarapan kami pagi ini. Tidak mengapa,
karena itupun cukup membuat kami tersenyum setiap melihat lensa kamera mengarah
pada kami.
Pukul 07.30, kami mulai membereskan tenda dan merapikan
barang-barang pribadi. Setelah puas dengan foto, kami beranjak turun dan
menyadari betapa semalam perjalanan kami memang benar-benar melalui tepian
jurang yang dalam. Ah, untunglah malam menyembunyikan rasa takut kami, jika
tidak mungkin bukit pengilon hanya tersimpan dalam mimpi.
Camping ini, mungkin menjadi moment terakhir kebersamaan
kami tahun ini. Camping yang mengajarkan kami untuk saling berbagi, saling
mengerti sifat pribadi. Alam selalu bijak menasehati, agar kami tidak egois
terhadap diri sendiri, menilai tanpa menghakimi, dan mengerti arti teman
sejati.
Perjalanan kami tutup dengan makan siang sederhana di rumah.
Maaf ya, sudah tidak berdaya untuk masak macam-macam makanan. Hanya ada sayur
dan lauk sekedarnya. Namun semoga cukup mengenyangkan untuk mengobati kerinduan
perut pada nasi. Cukuplah untuk bekal sampai ke Jogja dan istirahat di kamar
masing-masing.
Terima kasih untuk kebersamaan ini, maafkan setiap salah
yang mngkin terjadi.
Tepi jurang, tampak air terjun banyu tibo |
Malam tahun baru, kita mau kemana dan jam berapa, kawan?
Hahaha...
0 comments:
Post a Comment