Tuesday, 14 March 2017

Huakiau

| |



Pukul dua siang.

Beberapa gadis remaja berseragam  kaos warna putih tulang tampak menyeruak dari gerbang pintu keluar kastil air: Tamansari. Di belakang mereka, serombongan pemuda, sepasang kekasih (tampaknya begitu) dan beberapa orang bule beserta pemandunya mengikuti. Tawa mereka riang, beberapa menenteng kamera DSLR dan melagkah sedikit tergesa. Cuaca memang terik, meningkatkan suhu di sekitar pelataran meski tidak berkepul debu karena angin tidak berhembus siang itu.


Hani mengurangi kecepatan motornya saat memasuki pelataran. Tepat di depan pintu keluar, dia berbelok kanan. Sudah ada beberapa tukang parkir menunggu di sana.

“Kiri.. kiri.. kiri..., yak...Op.” Seru seorang bapak dengan seragam oranye-biru memandu Hani untuk parkir di tempat yang tepat. “jangan dikunci stang ya.” Suara yangs ama, Hani hanya mengangguk. Ia melepas helmnya dan menyandarkan pada spion sebelah kanan, memastikan motornya terkunci aman, lalu melepas sarung tangan dan masker penutup muka, memasukkannya dalam saku jaket. Tukang paskir menyobek tiket, memberikan potongan kertas itu kepada Hani, yang menerimanya kemudian menyimpan di saku yang lain bersama kunci. “Makasih pak,” Ujarnya sambil ngeloyor melewati Gedong Sekawan, menuju pintu masuk.

“Berapa orang? Lokal semua?” Petugas di dalam loket bertanya datar. Mungkin sudah cukup lelah, seharian ini sepertinya cukup banyak pengunjung. Lapangan parkir tadi hampir penuh. Di dalam juga tampak ramai, sementara di belakang Hani masih ada beberapa antrian yang menunggu giliran.

“Satu bu. Berapa?” Jawab Hani singkat, sambil mempersiapkan dompet.

“Bawa kamera?” Petugasnya bertanya lagi.

“Cuma HP.” Ia memperhatikan, ada dua orang yang bertugas di loket ini.

“Lima ribu rupiah.” Hani mengangsurkan uang pas, sambil menerima tiket lewat lubang loket.

Terima kasih hanya diucapkannya dalam hati. Menuju pintu masuk, ada beberapa petugas berseragam biru dongker disana. Mereka memeriksa tiket sambil mengobrol dengan kawannya.

Hani terus melangkah masuk. Pergi ke tempat ini sendiri bukan berarti dia tak punya teman. Ada banyak sebenarnya yang bisa diajaknya ikut serta, seperti rombongan yang dilihatnya tadi di pintu keluar, juga rombongan-rombongan lain yang sedang menikmati keindahan kastil ini. Tapi dia memilih sendiri. Berharap melihat keramaian tanpa perlu berkenalan akan memperbaiki suasana hatinya.

Memasuki lingkungan kastil, sekitar dua puluh anak tangga menyambutnya dengan pintu kecil tepat di tengah bangunan. “Lumayan, olahraga.” Hatinya bersuara, sementara otaknya tidak membantah. Benar-benar lumayan, setelah sejak pagi hanya berdiam di kamar, teggelam dalam tumpukan referensi penelitiannya. Karena dia pergi sendiri dan berwajah lokal, tidak seorangpun pemandu mendekatinya. Atau mungkin mereka sudah hafal sehingga tidak perlu dipandu lagi? Ah, biar saja. Hani tidak sedang butuh pencerita. Hanya sedeng ingin menikmati suasana. Dari pasiraman binangun ia tidak tertarik memasuki umbul sari. Malah menuju Gapura Hageng, naik tangga lagi menuju pelataran belakang dengan bangunan tinggi lengkap dengan ukiran menempel di dindingnya. Hani ingin mengambil foto di situ. Tapi mau minta tolong sama siapa?

Dia mengedarkan pandangan, melihat penjual es degan, dahaganya terbit. Kakinya melangkah tanpa menunggu perintah. “Mas, es setunggal njih, gendhis jawi.” Ucapnya dengan bahasa jawa kromo, yang dijawab dengan anggukan. Pemuda penjual es itu memang belum tampak tua, tapi penampilannya bersahaja dengan beskap pakaian khas jawa lengkap dengan blankon di kepalanya. Hanya tidak menggunakan jarit. Dia menggunakan celana panjang kain warna hitam tampak sedikit lusuh. Penampilan itulah yang membuat Hani menggunakan bahasa kromo. Biasanya, bahasa itu hanya digunakan pada orang tua atau orang terhormat, dan Hani menghormati penjual es Degan di hadapannya, entah kenapa.

Segelas Es degan dengan gula merah tampak melelehkan air liur, Hani segera mengaduknya dan menyesap pelan setelah dalam heti mengucap basmallah. Air mukanya beruba, lebih cerah sekarang. Andai ada yang merekam perubahan ekspresinya, siapapun pasti bahagia melihat senyum manis Hani.

“Mas, saget nyuwun tulung mboten?” Entah ide dari mana, dia kembali mengusik penjual es yang sedang asik membaca buku tak jauh dari tempatnya duduk.

“Iya mbak, pripun?” Jawabnya heran.

“Nyuwun tulung njenengan foto kulo ten ngajeng Gapura punika, saget?” Hani mengutarakan maksudnya, minta tolong di foto di depan gapura. Pemuda itu sejenak bingung. Tidak biasanya pengunjung minta tolong foto, apalagi pembeli kedainya. Kebanyakan orang memang datang rombongan, atau bisa saja kan minta tolong sama pengunjung lain?

Tapi pemuda itu beranjak juga, membuat wajah Hani semakin cerah. Dia buru-buru meletakkan es degan yang baru diicipinya beberapa teguk, mengambil ponsel, sementara pemuda itu mengikuti langkahnya di belakang. Sampai di depan gapura, merek a berhenti. “Niki mas, landscape sama potrait ya?” Memastikan pemuda itu mengerti operasional kamera. Ah, ini kan biasa. Semoga hasilnya bagus deh. Ia memasang pose. Tersenyum dan membiarkan pemuda itu mengambil beberapa gambar.

Setelah puas, Hani kembali mendekat dan menerima HP-nya. “Mau gantian?” Tawarnya ramah. Meski tidak banyak bicara, aura pemuda itu menyenangkan. Entah mengapa Hani merasa begitu.

“Ngga mbak, makasih.” Ia tersipu, lalu melangkah kembali ke kedainya. Khawatir ada orang beli. Meninggalkan Hani yang tak lama kemudian juga kembali ke tempat semula.

Sambil memegang kembali gelas es-nya, Hani membuka hasil jepretan pemuda itu. “Wah, bagus banget mas, angel-nya pas. kok bisa gitu? Udah biasa motret ya?” Serunya kepada pemuda yang entah siapa namanya itu, yang sudah kembali tenggelam dalam buku. Demi menghormati pengunjung, pemuda itu mendekat, memindahkan kursinya tidak jauh dari tempat Hani duduk. Sambil tersenyum dia berkata, “Itu sih bukan saya yang pinter. Mbaknya aja yang fotogenik*. Makanya hasilnya bagus.”

“Masa sih, perasaan saya kalau selfie ngga ada bagus-bagusnya.” Hani membantah. Pemuda itu tetap memasang wajah lugu, berusaha meyakinkan Hani.

“Mbak ini orang huakiau* bukan? Tapi maaf kalau salah?” Pemuda itu bertanya jenaka. Hani melongo.

“Huakiau? Bukan kuetiauw kan?” Ia tergelak. Istilah macam apa itu?

“Yah, masa sih ngga tau mbak? Buka kamus aja ya. Saya ngga mau menjelaskan, biar mbaknya penasaran.” Ujar pemuda itu sambil berdiri, bersiap menyambut beberapa remaja yag datang mendekat. Sepertinya mereka akan membeli es. Hani tak mengerti. Tapi daripada mengganggu pemuda penjual es yang entah siapa namanya, ia berdiri. Esnya sudah tandas. Sebentar lagi adzan ashar pasti menggema. Setelah membayar lalu berpamitan, pulang. Menyimpan kosakata baru itu baik-baik dari kepalanya.

Huakiau...kuetiauw. Ah, entahlah.

Sampai di rumah, ia membuka kamus bahasa mandarin, tidak ada. Kamus bahasa inggris, pun tidak terdaftar kata itu. Lalu bahasa apa? Alternatif terakhir, bertanya pada google. Dan? Ia kembali tergelak. Mata sipitnya tampak hanya segaris.

*fotogenik= memiliki wajah dan sikap tubuh yang menghasilkan potret yang menyenangkan

*huakiau= cina perantauan.

3 comments:

irma said...

Asik . Keren. Aku belum buat

Unknown said...

Huakiau. Ahahaha.

Kak, ini tulisan keren. Aku sangat menikmati. Emosinya nyampe ke pembaca.
Emmm apa karena aku pernah ke tempat itu ya? Dan kapan2 pengen ke sana sendirian. Asik juga kayaknya. Haha.
Emmm, berdua deh gpp. Biar ada yg motoin. Ahaha.

Unknown said...

Keren-keren suka mbak Kifaaaaaa...

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©