Pukul dua siang.
Beberapa gadis remaja berseragam kaos warna putih tulang tampak menyeruak dari
gerbang pintu keluar kastil air: Tamansari. Di belakang mereka, serombongan
pemuda, sepasang kekasih (tampaknya begitu) dan beberapa orang bule beserta
pemandunya mengikuti. Tawa mereka riang, beberapa menenteng kamera DSLR dan melagkah
sedikit tergesa. Cuaca memang terik, meningkatkan suhu di sekitar pelataran
meski tidak berkepul debu karena angin tidak berhembus siang itu.
Hani mengurangi kecepatan motornya saat memasuki
pelataran. Tepat di depan pintu keluar, dia berbelok kanan. Sudah ada beberapa
tukang parkir menunggu di sana.
“Kiri.. kiri.. kiri..., yak...Op.” Seru seorang
bapak dengan seragam oranye-biru memandu Hani untuk parkir di tempat yang
tepat. “jangan dikunci stang ya.” Suara yangs ama, Hani hanya mengangguk. Ia
melepas helmnya dan menyandarkan pada spion sebelah kanan, memastikan motornya
terkunci aman, lalu melepas sarung tangan dan masker penutup muka,
memasukkannya dalam saku jaket. Tukang paskir menyobek tiket, memberikan
potongan kertas itu kepada Hani, yang menerimanya kemudian menyimpan di saku
yang lain bersama kunci. “Makasih pak,” Ujarnya sambil ngeloyor melewati Gedong
Sekawan, menuju pintu masuk.
“Berapa orang? Lokal semua?” Petugas di dalam
loket bertanya datar. Mungkin sudah cukup lelah, seharian ini sepertinya cukup
banyak pengunjung. Lapangan parkir tadi hampir penuh. Di dalam juga tampak
ramai, sementara di belakang Hani masih ada beberapa antrian yang menunggu
giliran.
“Satu bu. Berapa?” Jawab Hani singkat, sambil mempersiapkan
dompet.
“Bawa kamera?” Petugasnya bertanya lagi.
“Cuma HP.” Ia memperhatikan, ada dua orang yang
bertugas di loket ini.
“Lima ribu rupiah.” Hani mengangsurkan uang pas,
sambil menerima tiket lewat lubang loket.
Terima kasih hanya diucapkannya dalam hati. Menuju
pintu masuk, ada beberapa petugas berseragam biru dongker disana. Mereka
memeriksa tiket sambil mengobrol dengan kawannya.
Hani terus melangkah masuk. Pergi ke tempat ini
sendiri bukan berarti dia tak punya teman. Ada banyak sebenarnya yang bisa
diajaknya ikut serta, seperti rombongan yang dilihatnya tadi di pintu keluar,
juga rombongan-rombongan lain yang sedang menikmati keindahan kastil ini. Tapi
dia memilih sendiri. Berharap melihat keramaian tanpa perlu berkenalan akan
memperbaiki suasana hatinya.
Memasuki lingkungan kastil, sekitar dua puluh
anak tangga menyambutnya dengan pintu kecil tepat di tengah bangunan. “Lumayan,
olahraga.” Hatinya bersuara, sementara otaknya tidak membantah. Benar-benar
lumayan, setelah sejak pagi hanya berdiam di kamar, teggelam dalam tumpukan
referensi penelitiannya. Karena dia pergi sendiri dan berwajah lokal, tidak
seorangpun pemandu mendekatinya. Atau mungkin mereka sudah hafal sehingga tidak
perlu dipandu lagi? Ah, biar saja. Hani tidak sedang butuh pencerita. Hanya
sedeng ingin menikmati suasana. Dari pasiraman binangun ia tidak tertarik
memasuki umbul sari. Malah menuju Gapura Hageng, naik tangga lagi menuju
pelataran belakang dengan bangunan tinggi lengkap dengan ukiran menempel di
dindingnya. Hani ingin mengambil foto di situ. Tapi mau minta tolong sama
siapa?
Dia mengedarkan pandangan, melihat penjual es
degan, dahaganya terbit. Kakinya melangkah tanpa menunggu perintah. “Mas, es
setunggal njih, gendhis jawi.” Ucapnya dengan bahasa jawa kromo, yang dijawab
dengan anggukan. Pemuda penjual es itu memang belum tampak tua, tapi
penampilannya bersahaja dengan beskap pakaian khas jawa lengkap dengan blankon
di kepalanya. Hanya tidak menggunakan jarit. Dia menggunakan celana panjang
kain warna hitam tampak sedikit lusuh. Penampilan itulah yang membuat Hani
menggunakan bahasa kromo. Biasanya, bahasa itu hanya digunakan pada orang tua
atau orang terhormat, dan Hani menghormati penjual es Degan di hadapannya,
entah kenapa.
Segelas Es degan dengan gula merah tampak
melelehkan air liur, Hani segera mengaduknya dan menyesap pelan setelah dalam
heti mengucap basmallah. Air mukanya beruba, lebih cerah sekarang. Andai ada
yang merekam perubahan ekspresinya, siapapun pasti bahagia melihat senyum manis
Hani.
“Mas, saget nyuwun tulung mboten?” Entah ide
dari mana, dia kembali mengusik penjual es yang sedang asik membaca buku tak
jauh dari tempatnya duduk.
“Iya mbak, pripun?” Jawabnya heran.
“Nyuwun tulung njenengan foto kulo ten ngajeng
Gapura punika, saget?” Hani mengutarakan maksudnya, minta tolong di foto di
depan gapura. Pemuda itu sejenak bingung. Tidak biasanya pengunjung minta
tolong foto, apalagi pembeli kedainya. Kebanyakan orang memang datang
rombongan, atau bisa saja kan minta tolong sama pengunjung lain?
Tapi pemuda itu beranjak juga, membuat wajah
Hani semakin cerah. Dia buru-buru meletakkan es degan yang baru diicipinya
beberapa teguk, mengambil ponsel, sementara pemuda itu mengikuti langkahnya di
belakang. Sampai di depan gapura, merek a berhenti. “Niki mas, landscape sama
potrait ya?” Memastikan pemuda itu mengerti operasional kamera. Ah, ini kan
biasa. Semoga hasilnya bagus deh. Ia memasang pose. Tersenyum dan membiarkan
pemuda itu mengambil beberapa gambar.
Setelah puas, Hani kembali mendekat dan menerima
HP-nya. “Mau gantian?” Tawarnya ramah. Meski tidak banyak bicara, aura pemuda
itu menyenangkan. Entah mengapa Hani merasa begitu.
“Ngga mbak, makasih.” Ia tersipu, lalu melangkah
kembali ke kedainya. Khawatir ada orang beli. Meninggalkan Hani yang tak lama
kemudian juga kembali ke tempat semula.
Sambil memegang kembali gelas es-nya, Hani
membuka hasil jepretan pemuda itu. “Wah, bagus banget mas, angel-nya pas. kok
bisa gitu? Udah biasa motret ya?” Serunya kepada pemuda yang entah siapa
namanya itu, yang sudah kembali tenggelam dalam buku. Demi menghormati
pengunjung, pemuda itu mendekat, memindahkan kursinya tidak jauh dari tempat
Hani duduk. Sambil tersenyum dia berkata, “Itu sih bukan saya yang pinter.
Mbaknya aja yang fotogenik*. Makanya
hasilnya bagus.”
“Masa sih, perasaan saya kalau selfie ngga ada
bagus-bagusnya.” Hani membantah. Pemuda itu tetap memasang wajah lugu, berusaha
meyakinkan Hani.
“Mbak ini orang huakiau* bukan? Tapi maaf kalau salah?” Pemuda itu bertanya jenaka.
Hani melongo.
“Huakiau? Bukan kuetiauw kan?” Ia tergelak.
Istilah macam apa itu?
“Yah, masa sih ngga tau mbak? Buka kamus aja ya.
Saya ngga mau menjelaskan, biar mbaknya penasaran.” Ujar pemuda itu sambil
berdiri, bersiap menyambut beberapa remaja yag datang mendekat. Sepertinya
mereka akan membeli es. Hani tak mengerti. Tapi daripada mengganggu pemuda
penjual es yang entah siapa namanya, ia berdiri. Esnya sudah tandas. Sebentar
lagi adzan ashar pasti menggema. Setelah membayar lalu berpamitan, pulang.
Menyimpan kosakata baru itu baik-baik dari kepalanya.
Huakiau...kuetiauw. Ah, entahlah.
Sampai di rumah, ia membuka kamus bahasa mandarin,
tidak ada. Kamus bahasa inggris, pun tidak terdaftar kata itu. Lalu bahasa apa?
Alternatif terakhir, bertanya pada google. Dan? Ia kembali tergelak. Mata sipitnya
tampak hanya segaris.
*fotogenik= memiliki wajah dan sikap tubuh yang
menghasilkan potret yang menyenangkan
*huakiau= cina perantauan.
3 comments:
Asik . Keren. Aku belum buat
Huakiau. Ahahaha.
Kak, ini tulisan keren. Aku sangat menikmati. Emosinya nyampe ke pembaca.
Emmm apa karena aku pernah ke tempat itu ya? Dan kapan2 pengen ke sana sendirian. Asik juga kayaknya. Haha.
Emmm, berdua deh gpp. Biar ada yg motoin. Ahaha.
Keren-keren suka mbak Kifaaaaaa...
Post a Comment