Dewasa ini
dunia literasi kembali diguncang. Ah, pasti sudah pada baca tulisan yang viral
itu kan? Satu artikel bebas yang cukup panjang namun mengundang perhatian
sehingga dengan mudah dibagikan oleh para pengikut dan pemirsa dunia maya.
Sebagian pro, sebagian lagi kontra. Tentu dengan dasar masing-masing. Apakah
tulisan ini bermaksud menanggapinya? Tidak. Saya tidak cukup berminat membahas
pemahaman yang berbeda dengan apa yang saya yakini. Malas memicu pro dan
kontra. Apalagi sampai berlarut dengan idealisme yang menjauhkan dari peta
kehidupan.
Saya juga
tidak ingin merasa sok pintar dengan menyelesaikan tulisan ini dan
mempublikasikannya di blog pribadi. Apalagi terkenal? Oh, tolong. Buang
jauh-jauh segala prasangka tanpa dasar yang benar. Saya menulis hanya karena
saya merasa perlu menulis, karena merasa bahwa tulisan saya perlu dibaca. Itu
saja. Terlepas akhirnya nanti dibaca atau tidak, yang penting saya sudah
menulis dan mempublikasikannya.
Setidaknya,
sebagai muslim saya sudah menunaikan kewajiban untuk menyampaikan. Cukup. Saya juga
tidak bisa bermain dalil karena memang bukan ahlinya, lagipula dalil ada bukan
untuk dipermainkan. Catat!
Seseorang
bisa mengatakan A benar karena bla bla bla. Sedangkan B boleh beda pendapat,
mengatakan bahwa C benar karena begini dan begitu. Lain lagi D, boleh juga mengatakan E paling benar
karena memang dianggap benar oleh F,G,H, I, J, dan seterusnya. Ini wajar, atas
nama hak asasi manusia “katanya”. Semua berhak meng-klaim kebenaran.
Betul begitu?
Faktanya,
ada lebih dari tujuh miliar nyawa menjadi penduduk bumi saat ini. Bisa jadi,
setiap nyawa memiliki pandangan dan standar kebenaran yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Boleh, kan? Tentu saja, atas nama kebebasan dan hak asasi
manusia, tidak ada yang berhak menyalahkan. Masalah baru timbul ketika satu
pendapat menyalahkan pendapat lain yang berbeda. Menganggap pendapat sendiri
benar adalah sah. Tapi menyalahkan pendapat lain, ini memicu konflik.
Kita
beruntung, manusia yang hidup di dunia ini tidak semuanya menyukai konflik.
Masih ada orang-orang yang berbeda pendapat dan memilih diam karena tahu ketika
mengutarakan pendapat yang berbeda dengan orang lain, hanya akan memperkeruh
suasana dan membuat konflik semakin nyata. Masih ada orang-orang yang lebih
mengutamakan persaudaraan ketimbang memperuncing perbedaan.
Meskipun
tidak bisa kita pungkiri, tidak sedikit orang-orang yang suka berdebat,
berusaha mengunggulkan suatu pendapat dan menganggap orang lain yang memiliki
pandangan berbeda harus dimusnahkan. Kita termasuk yang mana?
Sungguh
beruntung orang-orang yang menghindari perdebatan sekalipun merasa benar.
Karena dengan begitu, perselisihan dapat dihindari dan kedamaian bisa lebih di
jaga. Maka omong kosonglah orang-orang yang mengaku ingin menyebarkan kedamaian
tapi menyebarluaskan tulisan-tulisan yang mengundang pro dan kontra. Besar
sekali kebohongan orang-orang yang mengaku ingin menjaga keutuhan bangsa
sementara berbicara agama tanpa dasar agama. Berbicara tentang kebenaran tapi
lupa bahwa diri sendiri melakukan kesalahan.
Wajar, jika
akhirnya orang-orang yang tidak tahu apa-apa, harus terombang-ambing dalam arus
ketidakjelasan. Sayang sekali, ada banyak sekali orang-orang yang seperti ini.
Kita sesama
manusia, atas dasar apa merasa paling benar? Okelah kalau kita menggunakan
hukum negara, prinsip moral, bahkan ilmu pengetahuan untuk mendukung pendapat
yang sudah kita yakini kebenarannya. Tapi sebatas apa sih dasar-dasar itu bisa
digunakan sebagai landasan kebenaran?
Jadi
begini, logika sederhana sesama manusia itu memiliki batas. Sedangkan jika kita
ingin berpegang pada kebenaran yang bisa dianggap paling benar, maka kita tidak
bisa berpegang pada keterbatasan.
Contohnya
dalam sebuah program permainan, ada pemain dan berbagai properti pendukung. Siapa
yang berhak menentukan peraturan, yang bisa dianggao benar oleh semua pemain? Pemain
itu sendiri? Ah, bisa dipastikan setiap pemain akan membuat peraturan yang
menguntungkan diri sendiri. Lantas siapa? Wasit? Dalam program game, siapakah yang paling adil ditunjuk
sebagai wasit? Salah satu pemain? Impossible.
Lantas?
Jelas,
satu-satunya yang berhak menentukan peraturan adalah sang programmer. Bukan orang
lain, apalagi pemain. Kenapa? Tentu saja hanya programmer yang paling tahu
seluk beluk permainan. Pemain mana tahu ada trade
off yang bisa terjadi di salah satu atau beberapa sudut arena? Ya, KARENA
PROGRAMMER YANG PALING TAHU.
Apa
hubungannya dengan kehidupan manusia? Jelas. Bumi dan isinya ini ibarat arena
game. Pemainnya semua manusia. Propertinya ada banyak sekali, hewan, tumbuhan,
air, gempa, gunung, gedung, udara, dan sebagainya dan seterusnya. Bisa kan
menyebutkan sendiri isi bumi? Termasuk Mbak Kunti? Bolehlah dimasukkan dalam
daftar penghuni tak bermateri.
Jelas.
Manusia adalah pemain utamanya. Ketika manusia membuat peraturan, saling
memimpin, mengutarakan pendapat, dan sebagainya, ini adalah bagian dari
permainan. Bolehkah? Tentu saja boleh, wajar. Permainan di bumi tidak sesempit
program game yang hanya bergerak dalam layar 14 inch. Meski seandainya satu
game bisa dimainkan oleh seluruh penduduk di bumi secara bersamaan, tetap saja
tidak bisa lebih luas dari bumi itu sendiri. Belum ada kan, game yang bisa
dimainkan oleh penduduk bumi dan luar angasa sekaligus? Begitulah.
Dalam hal
ini, bumi dan isinya adalah arena, manusia adalah pemain utama. Semoga semua
setuju. Lantas siapa yang paling berhak menentukan peraturan? Tentu saja sang
pencipta bumi dan isinya, termasuk manusia. Siapa? Ayolah, tak usah berlagak
bodoh dan berpikir keras karena aku yakin kau sudah tahu jawabannya.
Apa yang
terjadi ketika pemain tidak menaati aturan dari programmer? Jelas: kacau.
Sayangnya, manusia bukanlah program komputer yang bisa di shut down sewaktu-waktu atau dinyalakan kembali saat diinginkan, dan
inilah yang terjadi saat ini. Manusia kacau ketika tidak mau menuruti peraturan
sang pencipta, merasa benar dan menyalahkan orang lain, menganggap bahwa mereka
yang tidak sependapat wajib disingkirkan. Ah, buruk sekali tabiat manusia, kan.
Silahkan
diteruskan.
Dari saya, lanjut kapan-kapan.
0 comments:
Post a Comment