Sunday, 21 May 2017

Ketika Semua Merasa Benar

| |





Dewasa ini dunia literasi kembali diguncang. Ah, pasti sudah pada baca tulisan yang viral itu kan? Satu artikel bebas yang cukup panjang namun mengundang perhatian sehingga dengan mudah dibagikan oleh para pengikut dan pemirsa dunia maya. Sebagian pro, sebagian lagi kontra. Tentu dengan dasar masing-masing. Apakah tulisan ini bermaksud menanggapinya? Tidak. Saya tidak cukup berminat membahas pemahaman yang berbeda dengan apa yang saya yakini. Malas memicu pro dan kontra. Apalagi sampai berlarut dengan idealisme yang menjauhkan dari peta kehidupan.


Saya juga tidak ingin merasa sok pintar dengan menyelesaikan tulisan ini dan mempublikasikannya di blog pribadi. Apalagi terkenal? Oh, tolong. Buang jauh-jauh segala prasangka tanpa dasar yang benar. Saya menulis hanya karena saya merasa perlu menulis, karena merasa bahwa tulisan saya perlu dibaca. Itu saja. Terlepas akhirnya nanti dibaca atau tidak, yang penting saya sudah menulis dan mempublikasikannya.

Setidaknya, sebagai muslim saya sudah menunaikan kewajiban untuk menyampaikan. Cukup. Saya juga tidak bisa bermain dalil karena memang bukan ahlinya, lagipula dalil ada bukan untuk dipermainkan. Catat!

Seseorang bisa mengatakan A benar karena bla bla bla. Sedangkan B boleh beda pendapat, mengatakan bahwa C benar karena begini dan begitu. Lain lagi  D, boleh juga mengatakan E paling benar karena memang dianggap benar oleh F,G,H, I, J, dan seterusnya. Ini wajar, atas nama hak asasi manusia “katanya”. Semua berhak meng-klaim kebenaran.

Betul begitu?

Faktanya, ada lebih dari tujuh miliar nyawa menjadi penduduk bumi saat ini. Bisa jadi, setiap nyawa memiliki pandangan dan standar kebenaran yang berbeda antara satu dengan yang lain. Boleh, kan? Tentu saja, atas nama kebebasan dan hak asasi manusia, tidak ada yang berhak menyalahkan. Masalah baru timbul ketika satu pendapat menyalahkan pendapat lain yang berbeda. Menganggap pendapat sendiri benar adalah sah. Tapi menyalahkan pendapat lain, ini memicu konflik.

Kita beruntung, manusia yang hidup di dunia ini tidak semuanya menyukai konflik. Masih ada orang-orang yang berbeda pendapat dan memilih diam karena tahu ketika mengutarakan pendapat yang berbeda dengan orang lain, hanya akan memperkeruh suasana dan membuat konflik semakin nyata. Masih ada orang-orang yang lebih mengutamakan persaudaraan ketimbang memperuncing perbedaan.

Meskipun tidak bisa kita pungkiri, tidak sedikit orang-orang yang suka berdebat, berusaha mengunggulkan suatu pendapat dan menganggap orang lain yang memiliki pandangan berbeda harus dimusnahkan. Kita termasuk yang mana?

Sungguh beruntung orang-orang yang menghindari perdebatan sekalipun merasa benar. Karena dengan begitu, perselisihan dapat dihindari dan kedamaian bisa lebih di jaga. Maka omong kosonglah orang-orang yang mengaku ingin menyebarkan kedamaian tapi menyebarluaskan tulisan-tulisan yang mengundang pro dan kontra. Besar sekali kebohongan orang-orang yang mengaku ingin menjaga keutuhan bangsa sementara berbicara agama tanpa dasar agama. Berbicara tentang kebenaran tapi lupa bahwa diri sendiri melakukan kesalahan.

Wajar, jika akhirnya orang-orang yang tidak tahu apa-apa, harus terombang-ambing dalam arus ketidakjelasan. Sayang sekali, ada banyak sekali orang-orang yang seperti ini.

Kita sesama manusia, atas dasar apa merasa paling benar? Okelah kalau kita menggunakan hukum negara, prinsip moral, bahkan ilmu pengetahuan untuk mendukung pendapat yang sudah kita yakini kebenarannya. Tapi sebatas apa sih dasar-dasar itu bisa digunakan sebagai landasan kebenaran?

Jadi begini, logika sederhana sesama manusia itu memiliki batas. Sedangkan jika kita ingin berpegang pada kebenaran yang bisa dianggap paling benar, maka kita tidak bisa berpegang pada keterbatasan.

Contohnya dalam sebuah program permainan, ada pemain dan berbagai properti pendukung. Siapa yang berhak menentukan peraturan, yang bisa dianggao benar oleh semua pemain? Pemain itu sendiri? Ah, bisa dipastikan setiap pemain akan membuat peraturan yang menguntungkan diri sendiri. Lantas siapa? Wasit? Dalam program game, siapakah yang paling adil ditunjuk sebagai wasit? Salah satu pemain? Impossible.

Lantas?

Jelas, satu-satunya yang berhak menentukan peraturan adalah sang programmer. Bukan orang lain, apalagi pemain. Kenapa? Tentu saja hanya programmer yang paling tahu seluk beluk permainan. Pemain mana tahu ada trade off yang bisa terjadi di salah satu atau beberapa sudut arena? Ya, KARENA PROGRAMMER YANG PALING TAHU.

Apa hubungannya dengan kehidupan manusia? Jelas. Bumi dan isinya ini ibarat arena game. Pemainnya semua manusia. Propertinya ada banyak sekali, hewan, tumbuhan, air, gempa, gunung, gedung, udara, dan sebagainya dan seterusnya. Bisa kan menyebutkan sendiri isi bumi? Termasuk Mbak Kunti? Bolehlah dimasukkan dalam daftar penghuni tak bermateri.

Jelas. Manusia adalah pemain utamanya. Ketika manusia membuat peraturan, saling memimpin, mengutarakan pendapat, dan sebagainya, ini adalah bagian dari permainan. Bolehkah? Tentu saja boleh, wajar. Permainan di bumi tidak sesempit program game yang hanya bergerak dalam layar 14 inch. Meski seandainya satu game bisa dimainkan oleh seluruh penduduk di bumi secara bersamaan, tetap saja tidak bisa lebih luas dari bumi itu sendiri. Belum ada kan, game yang bisa dimainkan oleh penduduk bumi dan luar angasa sekaligus? Begitulah.

Dalam hal ini, bumi dan isinya adalah arena, manusia adalah pemain utama. Semoga semua setuju. Lantas siapa yang paling berhak menentukan peraturan? Tentu saja sang pencipta bumi dan isinya, termasuk manusia. Siapa? Ayolah, tak usah berlagak bodoh dan berpikir keras karena aku yakin kau sudah tahu jawabannya.

Apa yang terjadi ketika pemain tidak menaati aturan dari programmer? Jelas: kacau. Sayangnya, manusia bukanlah program komputer yang bisa di shut down sewaktu-waktu atau dinyalakan kembali saat diinginkan, dan inilah yang terjadi saat ini. Manusia kacau ketika tidak mau menuruti peraturan sang pencipta, merasa benar dan menyalahkan orang lain, menganggap bahwa mereka yang tidak sependapat wajib disingkirkan. Ah, buruk sekali tabiat manusia, kan.

Silahkan diteruskan.

Dari saya, lanjut kapan-kapan.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©