“Dek, aku punya kenalan baru. Sepertinya dia
menyukaiku.” Perempuan yang telah kuanggap seperti kakak sendiri itu bercerita
padaku suatu hari.
“Oh ya, apa
buktinya kalau dia beneran suka? Kakak sudah dilamar?” Tanyaku tak kalah
antusias. Dalam persepsiku, definisi “suka” antara lawan jenis yang belum
menikah dan sudah cukup dewasa, tidak bisa dibuktikan hanya denganpernyataan
suka. Harus ada aksi nyata, betul kan?
“Ya ngga
gitu, dia baik dek. Enak pula diajak ngobrol. Kami nyambung satu sama lain.”
Aku hanya mendengarkan, sampai dia melanjutkan, “Sikapnya itu, dewasa banget.
Tapi sayang, ngga jelas. Dia terlalu suka bercanda. Tapi aku suka, bersamanya
seperti hilang semua masalah yang ada.”
“Terus?
Kakak maunya gimana, serius atau main-main sama dia?” Tanyaku tak kalah santai.
“Ya,
gimana. Masa cewek mastiin maunya gimana. Dia kalau diajak ngomong serius malah
bercanda terus. Ya aku jadi kebawa, akhirnya ngga tau mau gimana?” Sorot
matanya mulai lemah menatapku. Seperti meminta kejelasan harus bagaimana, tapi
memangnya aku siapa? Kenal orang yang dia maksud saja tidak. Ah, kakak ini
ada-ada saja.
“Hemmm,
kalau ngga bisa dijelaskan ya sudah. Ikhlaskan saja kalau akhirnya dia ngga
jadi siapa-siapa.” Aku tahu, seketika ekspresinya berubah seperti tidak terima.
Tapi apa aku salah ngomong gitu? Syukurlah, dia tidak benar-benar protes.
Begitulah,
salah satu dilema usia menjelang dewasa. Saat hati mulai dipenuhi keinginan dan
mimpi. Perempuan, biasa ingin mendapat kejelasan perasaan. Sementara lelaki,
sebagian dari mereka sekedar menikmati perjalanan. Lalu bagaimana mempertemukan
rasa penasaran tentang kejelasan sebuah hubungan?
Ikhlaskan.
Meski tidak
semudah diucapkan, memang itu yang harus dilakukan. Lelaki dan perempuan
memiliki dunia yang berbeda, pola pikir yang berbeda, dan tentu saja cara
mengambil keputusan yang berbeda pula. Perempuan cenderung tergoda dengan
perasaan. Diberi harapan sedikit saja, sudah melambung tidak karuan. Sementara
lelaki, masik asyik sendiri menikmati hari-hari. Mereka mendominasi keputusan
dan sikap di atas logika. Ya, meski tidak semua lelaki berbuat demikian. Ada
juga kan lelaki yang emosional, mengambil keputusan berdasar pada keinginan
semata?
Mengikhlaskan
bukan berarti membiarkan sebuah hubungan berjalan tanpa kejelasan. Tapi lebih
dari itu, adalah pekerjaan hati untuk menyiapkan segala bentuk perasaan yang
mungkin terjadi nanti. Tawakkal, pasrah, namun tidak menyerah.
Lepaskan.
Jadi
perempuan itu harus tegas, tidak bisa hanya mengandalkan sikap manja dan sok
imut untuk mencuri perhatian. Kita bukan boneka yang hanya bisa dijadikan
mainan. Apalagi hiasan yang hanya bisa dipandang, diteliti, kalau itu artefak
bisa jadi lebih memiliki nilai. Dijual dengan harga tinggi. Nah ini?
Jika ada
lelaki yang mendekati tanpa bisa menjelaskan hakikat sebuah hubungan, lalu buat
apa dipertahankan? Kecuali wahai perempuan, engkau siap diombang-ambing oleh
ketidakjelasan perasaan. Jangan menaruh perasaan sembarangan, jika tak ingin dicuri
tanpa permisi. Dan engkau duhai lelaki, tidak bisakah sedikit menata diri untuk
tidak sembarangan memberi harapan kepada makhluk bernama perempuan? Jika tidak
ingin menjalin hubungan serius, maka tegaslah memberi jarak.
Memang,
meski tawakkal dipasang sejak awal sebagai tameng diri, perasaan bisa diserang
tanpa pertahanan yang berarti. Ah, perempuan.
3 comments:
Keren Kali tulisanmu dek
Tulisan yg bikin jleb dan skak mat
Keren Kali tulisanmu dek
Tulisan yg bikin jleb dan skak mat
Aku lebih sering datar kalo itu mah .
Post a Comment