Harusnya aku
pulang lebih awal, lalu menunggumu di sana. Harusnya kau katakan padaku kapan
kau tiba, agar kita tak perlu banyak saling menunggu. Tapi tak apa, ini
salahku. Masih ada banyak hal yang harus kuselesaikan lebih dulu, sebelum
menunggu dan berharap bertemu, dirimu.
Banyak hal yang
harus kita selesaikan lebih dulu, sebelum ada kesempatan kita untuk kembali saling
menemukan. Aku tahu, engkaupun memendam rindu. Kuharap, itu rindu yang sama
denganku. Rindu yang akan menuntun kita ke satu jalan, pulang. Aku selalu
menunggumu. Namun waktu belum izinkan kita bertemu. Bertahun berlalu, tak
satupun kesempatan hadir memberi detik dan menit untuk melepas rindu. Iya, aku
rindu.
Pada langkahmu
yang tampak terburu, pada senyummu yang mengulum beku. Aku rindu, pada kikuk
sikapmu yang seperti ditawari api cemburu. Pada canda yang memutar memori masa
lalu, bersamanya sering terbawa kenangan itu. Aku rindu.
Sadarkah
engkau, bahwa ada satu ruang yang menunggu kita pulang? Ruang dimana kita
pernah bercengkerama di sana, kini kosong tanpa suara. Masih ingatkah engkau
jalan menuju rumah cerita? Atau sudah tertimbun kenangan lain yang datang
membabi buta?
Saat itu pulang
sekolah, engkau membawaku berbelok dari keriuhan semesta, menuju jalan setapak
yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Aku mengikuti langkahmu, karena
percaya bahwa engkau tak akan membawaku tersesat di sana. Engkau bagiku,
seperti magnet yang berjarak tak kurang dari satu depa. Jalan sempit itu
seperti lorong, diapit rapat tetumbuhan setinggi dua orang, sehingga kita tak
dapat mengira apa yang ada di kanan dan kiri.
Langit berwarna
biru, tepinya bersemu abu-abu seperti seragam teman-teman kita di sekolah
seberang. Engkau menunjukkan padaku
ruang itu. Kita harus berjalan bergantian untuk mencapai pintunya. “Hanya ada
satu ruang, tempat kita pulang,” katamu.
Aku mengangguk. Ya, mungkin karena kita tidak membutuhkan ruang yang
lain untuk tetap bersama. Agar tak ada sekat yang memisahkan kita dalam rumah
yang sama. Agar kita bisa saling percaya dan tak perlu menyimpan rahasia.
Satu ruang
saja, cukup untuk kita. Orang mungkin berpikir, “Apakah tidak terlalu sempit?”
Begitu juga aku, awalnya berpikir begitu sebelum menuruti inginmu untuk masuk
dan menilai luasnya. Pintunya kecil, seperti puntu kebanyakan. Aku tak dapat
mengira tingginya karena ketika mendongak, mataku silau diterpa mentari di atas
sana. “Cepatlah masuk, kau bisa terpanggang matahari jika terlalu lama berdiri
di luar,” suaramu terdengar meyakinkan.
Aku masih ingin menakar luasnya,
menengok samping kanan dan kiri. Rumah seluas apa yang jalan masuknya bisa
dilalui seorang saja? Dan memang tampak sempit, dinding ruang di samping kanan
dan kiri pintu melingkar ke belakang. Aku berasumsi, itu hanya ruang kecil
saja, diameternya tidak lebih dari tiga meter, atau mungkin kurang? Entahlah.
Kemudian aku melangkah masuk, tak ingin membuatmu menunggu lebih lama.
Aku menutup
pintu, mengedarkan pandangan pada ruang yang terlalu besar untuk kita berdua,
lalu menatapmu, hanya ingin menanyakan apakah kita baik-baik saja? Engkau
melihat sekeliling, kosong. Hanya ada kita. Lalu menatapku lamat, menegaskan
bahwa kita bisa saling percaya. Lalu aku duduk sembarangan di sana. Iya, tak
ada kursi atau perabot yang tersisa. Bahkan alas serupa tikar atau yang
semestinya juga tak tampak. Tapi kau ingat? Lantai ruang itu bersih tanpa debu,
meski jendela di kanan kirinya terbuka menghembuskan angin perlahan,
menimbulkan rasa nyaman.
Engkau ikut
duduk di seberang, menyandarkan tubuh pada dinding yang warnanya mulai meluruh.
Awalnya, saling tatap adalah cara kita melempar kata, menebar rasa saling
menduga. Lalu entah bagaimana, kemudian kita saling bercerita apa saja. Tertawa
bahkan saling mengejek tanpa terluka. Engkau biarkan aku tahu bahwa di luar
sana, betapa banyak wanita menginginkanmu bersama mereka. Tapi nyatanya,
engkau cukup nyaman bersamaku di ruang
yang sama. Aku membiarkan engkau tahu, bahwa di luar sana, seringkali aku tak
bisa mengumbar rasa percaya. Lalu engkau tegaskan, bahwa tanpa rasa percaya
kehidupan kita tak pernah baik-baik saja. Engkau memintaku untuk belajar bahwa
hidup kita tak akan pernah mengkhianati rencana terbaik dari semesta.
Waktu begitu
cepat berlalu, senja mulai menggantung di luar, seperti yang bisa kita lihat
dari jendela. “Kita harus segera melanjutkan perjalanan, bukan?” Tanyaku. “Apa
kau ingin masuk lebih dalam?” Mendengarmu bertanya begitu, aku baru sadar bahwa
ada satu pintu lagi menuju ruang yang lain, tepat berseberangan dengan tempat
kita masuk sebelumnya. “Bukalah,” pintaku. Engkau mendorongnya. “Jika kita
masuk, kita tak perlu lagi peduli apa yang ada di luar sana. Kita bisa saling
percaya hingga sampai di pintu berikutnya, lalu bebas memutuskan hendak kemana
selanjutnya.” Engkau menjelaskan konsekwensi dengan detail, sebelum kuputuskan
kemana kita akan mengambil langkah.
“Berapa lama hingga kita sampai di ujung
satunya?” Engkau hanya mengangkat bahu. “Tak ada yang tahu apa yang ada di
dalam, sebelum kita mencoba. Tak seorangpun yang pernah masuk ke dalamnya punya
cerita yang sama dengan yang lain. Di dalam sana, kita harus merangkai cerita
sendiri, tanpa rencana atau peta. Apakah kau siap?” Engkau menegaskan.
5 comments:
Siaaap ngggak yah ? hihi
Siap lanjutkeen ;)
Huaaaa kereeeennnn... Ruang imajiner, full meaning nih..
Wow
Keren 😉
Post a Comment