Sunday, 7 May 2017

Pulang

| |



Harusnya aku pulang lebih awal, lalu menunggumu di sana. Harusnya kau katakan padaku kapan kau tiba, agar kita tak perlu banyak saling menunggu. Tapi tak apa, ini salahku. Masih ada banyak hal yang harus kuselesaikan lebih dulu, sebelum menunggu dan berharap bertemu, dirimu.

Banyak hal yang harus kita selesaikan lebih dulu, sebelum ada kesempatan kita untuk kembali saling menemukan. Aku tahu, engkaupun memendam rindu. Kuharap, itu rindu yang sama denganku. Rindu yang akan menuntun kita ke satu jalan, pulang. Aku selalu menunggumu. Namun waktu belum izinkan kita bertemu. Bertahun berlalu, tak satupun kesempatan hadir memberi detik dan menit untuk melepas rindu. Iya, aku rindu.

Pada langkahmu yang tampak terburu, pada senyummu yang mengulum beku. Aku rindu, pada kikuk sikapmu yang seperti ditawari api cemburu. Pada canda yang memutar memori masa lalu, bersamanya sering terbawa kenangan itu. Aku rindu.

Sadarkah engkau, bahwa ada satu ruang yang menunggu kita pulang? Ruang dimana kita pernah bercengkerama di sana, kini kosong tanpa suara. Masih ingatkah engkau jalan menuju rumah cerita? Atau sudah tertimbun kenangan lain yang datang membabi buta?

Saat itu pulang sekolah, engkau membawaku berbelok dari keriuhan semesta, menuju jalan setapak yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Aku mengikuti langkahmu, karena percaya bahwa engkau tak akan membawaku tersesat di sana. Engkau bagiku, seperti magnet yang berjarak tak kurang dari satu depa. Jalan sempit itu seperti lorong, diapit rapat tetumbuhan setinggi dua orang, sehingga kita tak dapat mengira apa yang ada di kanan dan kiri.

Langit berwarna biru, tepinya bersemu abu-abu seperti seragam teman-teman kita di sekolah seberang.  Engkau menunjukkan padaku ruang itu. Kita harus berjalan bergantian untuk mencapai pintunya. “Hanya ada satu ruang, tempat kita pulang,” katamu.  Aku mengangguk. Ya, mungkin karena kita tidak membutuhkan ruang yang lain untuk tetap bersama. Agar tak ada sekat yang memisahkan kita dalam rumah yang sama. Agar kita bisa saling percaya dan tak perlu menyimpan rahasia.

Satu ruang saja, cukup untuk kita. Orang mungkin berpikir, “Apakah tidak terlalu sempit?” Begitu juga aku, awalnya berpikir begitu sebelum menuruti inginmu untuk masuk dan menilai luasnya. Pintunya kecil, seperti puntu kebanyakan. Aku tak dapat mengira tingginya karena ketika mendongak, mataku silau diterpa mentari di atas sana. “Cepatlah masuk, kau bisa terpanggang matahari jika terlalu lama berdiri di luar,” suaramu terdengar meyakinkan. 

Aku masih ingin menakar luasnya, menengok samping kanan dan kiri. Rumah seluas apa yang jalan masuknya bisa dilalui seorang saja? Dan memang tampak sempit, dinding ruang di samping kanan dan kiri pintu melingkar ke belakang. Aku berasumsi, itu hanya ruang kecil saja, diameternya tidak lebih dari tiga meter, atau mungkin kurang? Entahlah. Kemudian aku melangkah masuk, tak ingin membuatmu menunggu lebih lama.

Aku menutup pintu, mengedarkan pandangan pada ruang yang terlalu besar untuk kita berdua, lalu menatapmu, hanya ingin menanyakan apakah kita baik-baik saja? Engkau melihat sekeliling, kosong. Hanya ada kita. Lalu menatapku lamat, menegaskan bahwa kita bisa saling percaya. Lalu aku duduk sembarangan di sana. Iya, tak ada kursi atau perabot yang tersisa. Bahkan alas serupa tikar atau yang semestinya juga tak tampak. Tapi kau ingat? Lantai ruang itu bersih tanpa debu, meski jendela di kanan kirinya terbuka menghembuskan angin perlahan, menimbulkan rasa nyaman.

Engkau ikut duduk di seberang, menyandarkan tubuh pada dinding yang warnanya mulai meluruh. Awalnya, saling tatap adalah cara kita melempar kata, menebar rasa saling menduga. Lalu entah bagaimana, kemudian kita saling bercerita apa saja. Tertawa bahkan saling mengejek tanpa terluka. Engkau biarkan aku tahu bahwa di luar sana, betapa banyak wanita menginginkanmu bersama mereka. Tapi nyatanya, engkau  cukup nyaman bersamaku di ruang yang sama. Aku membiarkan engkau tahu, bahwa di luar sana, seringkali aku tak bisa mengumbar rasa percaya. Lalu engkau tegaskan, bahwa tanpa rasa percaya kehidupan kita tak pernah baik-baik saja. Engkau memintaku untuk belajar bahwa hidup kita tak akan pernah mengkhianati rencana terbaik dari semesta.

Waktu begitu cepat berlalu, senja mulai menggantung di luar, seperti yang bisa kita lihat dari jendela. “Kita harus segera melanjutkan perjalanan, bukan?” Tanyaku. “Apa kau ingin masuk lebih dalam?” Mendengarmu bertanya begitu, aku baru sadar bahwa ada satu pintu lagi menuju ruang yang lain, tepat berseberangan dengan tempat kita masuk sebelumnya. “Bukalah,” pintaku. Engkau mendorongnya. “Jika kita masuk, kita tak perlu lagi peduli apa yang ada di luar sana. Kita bisa saling percaya hingga sampai di pintu berikutnya, lalu bebas memutuskan hendak kemana selanjutnya.” Engkau menjelaskan konsekwensi dengan detail, sebelum kuputuskan kemana kita akan mengambil langkah. 

“Berapa lama hingga kita sampai di ujung satunya?” Engkau hanya mengangkat bahu. “Tak ada yang tahu apa yang ada di dalam, sebelum kita mencoba. Tak seorangpun yang pernah masuk ke dalamnya punya cerita yang sama dengan yang lain. Di dalam sana, kita harus merangkai cerita sendiri, tanpa rencana atau peta. Apakah kau siap?” Engkau menegaskan.


5 comments:

Nychken Gilang said...

Siaaap ngggak yah ? hihi

Nazlah Hasni said...

Siap lanjutkeen ;)

Ciani Limaran said...

Huaaaa kereeeennnn... Ruang imajiner, full meaning nih..

Fitriani Nurul Izzati said...

Wow

MS Wijaya said...

Keren 😉

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©