Pasal pertama,
dosen selalu benar
Pasal kedua,
jika dosen salah kembali ke pasal pertama
Masih ada kan,
type dosen seperti itu? Hayo, ngaku yang pernah ketemu?
Aku sih, iya.
Yah, walaupun tidak semua dosen yang memiliki karakter seperti itu tidak semua
mau mengakuinya. Tidak masalah, para pencari ilmu memang harus sabar dan patuh
kepada guru, biar ilmunya berkah. Kira-kira begitu.
Jika kita
membantah, bisa jadi bukan ilmu yang kita dapat. Tapi amarah, masih untung jika
tidak mendapat sumpah serapah. Aku pernah, dianggap tidak sopan mengirim pesan.
Padahal setiap pesan yang kukirim sudah menggunakan salam, permohonan maaf, dan
kalimat positif. Tidak ada konten negatif apalagi menyinggung SARA. Tapi bapak
dosen bilang bahasa pesanku terlalu “memaksa” beliau untuk menyediakan waktu
untukku. Lalu aku jadi bingung, apakah sama bertanya dengan memaksa?
Dalam kasus
yang lain, temanku yang sedang bimbingan tesis tiba-tiba tidak dilayani oleh
pembimbingnya. Padahal sebelumnya baik-baik saja. Hanya ada beberapa diskusi
terkait penelitian yang diusulkan oleh pembimbing dan dibantahnya dengan
argumen (jangan bayangkan dibantah sambil marah, ini dibantah baik-baik, tahu
kan etika akademik?). Nah, ternyata sang dosen pembimbing menganggap binaannya
ini tidak mau menuruti nasehatnya, terpaksa mahasiswa itu akhirnya minta ganti
pembimbing.
Lain lagi
cerita pengujiku, yang ketika kutanya kapan bisa kutemui lagi (untuk bimbingan
revisi), beliau berpesan jika kirim SMS, jangan tanya kapan saya ada waktu di
kampus (Loh?). Bagi beliau, lebih baik bilang saja mau ke kampus jam berapa,
nanti kalau beliau ngga bisa baru di balas. Kalau ngga di balas? Berarti
beliau bisa ditemui.
Ternyata,
bukan hanya desa, daerah, bahkan negara yang menuntut kita menyesuaikan diri
dengan adat setempat. Berinteraksi dengan orang lainpun, kita harus menyesuaikan
diri dengan pribadinya. Nah, menghadapi dosen dengan type spesial begini memang
harus menggunakan trik khusus. Kita tidak bisa sembarangan agar tidak masuk blacklist mahasiswa yang dianggap “kurang
ajar”.
Pertama,
pastikan dosen yang kita hadapi orang yang seperti apa. Supelkah? Kakukah?
Keraskah? Atau murah senyum dan suka berbagi? Ini akan memudahkan kita nanti
untuk menyesuaikan sikap. Orang yang kaku tidak bisa dihadapi sambil bercanda.
Bisa dikira kita menyepelekannya. Orang sensitif (baca: jutek) perlu kita
bawakan mahasiswa ganteng (jika beliau perempuan) atau mahasiswi cantik (jika
beliau laki-laki), bukan untuk menggoda. Hanya supaya tidak mendapat ujian “dijutekin”.
Tahu kan, sakitnya di mana? Haha
Kedua,
bersikaplah sesopan mungkin terhadap dosen manapun. Itu akan menunjukkan level
pergaulan kita di mata beliau. Biasanya, para dosen itu jauh lebih respek
terhadap kutu buku ketimbang mahasiswa yang hobi memancing keributan.
Ketiga, jika
dianggap salah, akui saja dan minta maaf. Tidak perlu membantah apalagi berargumen
macam-macam. Ingat pasal satu dan dua masih berlaku.
Sukses selalu
buat para pejuang titel di masa depan. Hehehe
1 comments:
Iya sama. Waktu kuliyah terus harus hadapi ibu pembimbing yang super cerewet. Bilangnya salah tapi gak pernah nampain betulnya gimana. Akhirnya skripsi salah-salah Dan jadi trauma juga krna gara2 itu hampir gak selesai kul 😅
Post a Comment